Bersamaan dengan meningkatnya tingkat adopsi teknologi digital akibat pandemi Covid-19, daya saing ekonomi digital juga kian merata di Indonesia. Modal ini dinilai dapat melambungkan daya saing Indonesia seusai pandemi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bersamaan dengan meningkatnya tingkat adopsi teknologi digital akibat pandemi Covid-19, daya saing ekonomi digital juga kian merata di Indonesia. Modal ini dinilai dapat melambungkan daya saing Indonesia seusai pandemi.
Pemerataan daya saing digital ini terlihat dari meningkatnya angka median atau angka tengah pada skor daya saing digital (East VenturesDigital Competitiveness Index/EV-DCI) 34 provinsi di Indonesia yang diumumkan pada Senin (15/3/2021) di Jakarta.
Studi ini digelar oleh perusahaan modal ventura East Ventures yang bekerja sama dengan Katadata Insight Center.
EV-DCI dihimpun melalui lebih dari 50 indikator; dari rasio penduduk yang memiliki akses internet, jumlah program studi terkait digitalisasi, hingga tingkat gangguan listrik, rasio desa yang mendapat sinyal 4G, dan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) sektor informasi dan komunikasi daerah tersebut.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa skor median EV-DCI 2021 meningkat dari 27,9 pada 2020 menjadi 32,1 pada 2021.
Cofounder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, hal ini dimungkinkan karena fondasi ekonomi digital di Indonesia yang kian tumbuh positif, baik dari sisi infrastruktur maupun kemauan adopsi oleh masyarakat.
Skor EV-DCI untuk infrastruktur pada 2021 tumbuh 7,5 poin menjadi 54,3 akibat meluasnya jaringan 3G/4G dan pembangunan jaringan fiber optik di Indonesia.
Dari sisi adopsi juga tecermin pada skor pengeluaran masyarakat untuk teknologi informasi dan komunikasi. Skor 2021 berada pada angka 39,5 atau meningkat 6,3 poin dari 2020. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kepemilikan telepon seluler dan pengeluaran untuk pulsa.
”Adanya pandemi sedikit mengerem pertumbuhan pesat ekonomi digital Indonesia. Namun, pandemi juga membantu mengakselerasi adopsi layanan digital di Indonesia,” kata Willson.
Resilensi ekonomi digital Indonesia juga dinilai tangguh pada masa pandemi Covid-19. Melalui studi e-Conomy Southeast Asia yang digelar oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia tetap berhasil tumbuh dua digit, yakni 11 persen.
Di antara negara kawasan, hanya Vietnam yang mampu melampaui Indonesia dengan 16 persen. Negara lain, seperti Malaysia dan Filipina, hanya 6 persen; bahkan Singapura minus 24 persen.
Studi tersebut meyakini, pada 2025, Indonesia akan menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai 124 miliar dollar AS atau Rp 1.784,5 triliun.
Beri akses
Meski menunjukkan progres dalam pemerataan, ketimpangan juga masih terlihat. Dibandingkan 2020, tiga provinsi dengan daya saing digital tertinggi masih sama, yakni DKI Jakarta (77,6), Jawa Barat (57,1), dan Jawa Timur (48,0). Dua posisi terbawah pun tetap dipegang Sulawesi Barat (22,9) dan Papua (22,0).
Di sisi lain, Bali dan Kepulauan Riau menjadi dua provinsi dengan peningkatan terbesar, yakni meningkat 7,1 poin dari skor 2020 masing-masing. Willson melihat ini adalah hasil dari adanya konsentrasi sumber daya manusia digital yang tinggi di dua daerah ini.
Adanya pandemi sedikit mengerem pertumbuhan pesat ekonomi digital Indonesia. Namun, pandemi juga membantu mengakselerasi adopsi layanan digital di Indonesia.
Nongsa Digital Park di Batam dan ekosistem digital nomad di Bali, menurut Willson, telah menciptakan spill over effect ke komunitas di sekelilingnya. Oleh karena itu, menurut dia, daerah lain perlu meniru bagaimana menciptakan akses dan ekosistem digital yang menarik di daerahnya.
”Daerah lain ini perlu lebih terbuka dan membuka akses. Contoh sederhana, keberadaan bandara akan membuka akses sehingga investor, pekerja digital, ataupun inovator bisa membuat pergerakan lebih baik,” kata Willson.
Dalam laporan EV-DCI ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pemerintah berpandangan infrastruktur sebagai tulang punggung transformasi digital. Oleh karena itu, ia terus mendorong peningkatan akses internet di seluruh Indonesia, dari jaringan fiber optik hingga cakupan satelit.
”Kami mendorong pembangunan fiber optic di wilayah barat sampai timur Indonesia. Kemudian, konektivitas dari satelit multifungsi atau satelit Satria diperluas sampai ke daerah Timur,” kata Airlangga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu program prioritas 2021 adalah penyediaan konvektivitas untuk 20.000 desa yang belum terkoneksi internet. ”Salah satu prioritas kami pada 2021 adalah meningkatkan anggaran infrastruktur. Di luar anggaran infrastruktur yang mencapai lebih dari Rp 415 triliun, ada anggaran yang dedicated berhubungan dengan TIK sebesar Rp 29,6 triliun,” ujarnya.
Investasi lebih besar daripada hasil
Dari studi ini juga terlihat bahwa upaya investasi atau input dari provinsi terhadap sektor digital masih belum diimbangi dengan output atau manfaat ekonomi yang diterima. Skor input antara lain adalah tingkat pengeluaran TIK rumah tangga, jumlah program studi digitalisasi, rasio penduduk pengakses internet dari laptop, dan 14 indikator lainnya.
Skor output di sisi lain adalah PDRB sektor informasi dan komunikasi, volume transaksi uang elektronik, dan jumlah tenaga kerja sektor terkait digitalisasi, serta 20 indikator lainnya.
Jawa Barat, misalnya, memiliki disparitas skor input-output yang terbesar. Skor input-nya mencapai 66,3, tetapi output-nya hanya 43,8. Ini bukan kasus yang tidak biasa. Hanya DKI Jakarta dan Sulawesi Barat yang output-nya lebih besar daripada input.
Menurut Willson, pendidikan menjadi hal penting untuk meningkatkan output. Jika sumber daya manusia di suatu daerah memiliki skill dan pendidikan yang memadai, perusahaan dan UMKM di daerah tersebut akan mulai mengadopsi teknologi.
”Jadi, dengan skil dan education, setiap provinsi dan UMKM-nya itu bisa merasakan manfaatnya dengan go digital,” kata Willson.