Pemanfaatan limbah abu batubara mesti dipastikan keamanannya bagi lingkungan dan kesehatan melalui pengujian. Untuk memperketat pengawasannya, limbah itu semestinya tetap masuk kategori bahan beracun dan berbahaya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya kasus pencemaran lingkungan dan masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan di sekitar lokasi tambang batubara menunjukkan bahwa limbah abu batubara tergolong sebagai bahan beracun dan berbahaya. Tanpa dikeluarkan dari kategori bahan beracun dan berbahaya, limbah abu batubara sebenarnya juga dapat dimanfaatkan kembali, tetapi harus melalui serangkaian pengujian.
Hal tersebut disampaikan perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dari sejumlah daerah dalam konferensi pers secara daring, Minggu (14/3/2021). Mereka pun mendesak agar limbah abu batubara (fly ash dan bottom ash/FABA) dimasukkan kembali ke dalam daftar limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menyampaikan, setiap tahun masyarakat yang tinggal di sejumlah lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang ada di Cilegon dan Pandeglang, Banten, kerap mengalami pencemaran lingkungan dari FABA. Hal ini disebabkan FABA tersebut tidak dikelola dengan baik oleh pihak PLTU.
”Dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3 ini membuat masyarakat Banten dan Jakarta, yang juga terpapar polusi PLTU di Banten, tidak memiliki kepastian akan kualitas lingkungan hidup, terutama hak mendapatkan udara bersih,” ujarnya.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Tumpukan limbah batubara di Segara Makmur, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
Dampak FABA terhadap lingkungan dan kesehatan juga dirasakan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi PLTU di Cilacap, Jawa Tengah. Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jateng Fahmi Bastian menyatakan, produksi FABA dari aktivitas PLTU Cilacap tercatat sekitar 26.000 ton per tiga bulan.
Dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3 membuat masyarakat Banten dan Jakarta, yang terpapar polusi PLTU di Banten, tidak memiliki kepastian akan mutu lingkungan hidup.
Kondisi itu dinilai berkorelasi terhadap peningkatan jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Cilacap. Menurut Fahmi, angka kasus ISPA di Cilacap pada 2018 sebanyak lebih dari 8.000 orang. Pada 2019, penderita penyakit ini meningkat menjadi lebih dari 10.000 orang.
”Catatan Walhi Jateng menunjukkan, pada tahun 2010 ada satu orang meninggal pada umur 25 tahun yang rumahnya berjarak 100 meter dari kolam abu. Tahun 2019 muncul kembali kasus warga umur 39 tahun yang meninggal dengan jarak rumah 200 meter dari penampungan abu batubara. Ada juga sekitar 15 anak terkena bronkitis di perkampungan yang jaraknya 100 meter dari penampungan abu,” katanya.
Kasus lain di Jepara, mengakibatkan warga di sekitar lokasi penampungan FABA menderita gatal-gatal. Bahkan, pihaknya menerima aduan bahwa air dari penampungan FABA masuk ke sumur-sumur warga sehingga warga mengalami gatal-gatal saat air digunakan untuk mandi ataupun mencuci.
RISMANTO UNTUK KOMPAS
Kondisi debu hitam batubara yang menempel di dinding dan lantai rumah warga Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (10/2/2021). Debu hitam batubara membuat sejumlah warga mengalami ISPA hingga membuat produktivitas tambak menurun dan tanaman layu.
Fahmi menegaskan, dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3 dikhawatirkan menambah beban polusi dan jumlah kasus ISPA di permukiman terdekat lokasi penampungan. Kekhawatiran ini meningkat karena pihak PLTU Cilacap dinilai belum dapat mengelola FABA dengan baik.
Penghapusan FABA dari kategori jenis limbah B3 tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pemanfaatan FABA
Dari catatan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kementerian ESDM, FABA berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan refraktori cor dan bahan penimbunan dalam kegiatan reklamasi tambang. Selain itu, FABA bisa dikembangkan sebagai bahan substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang ataupun bahan pembenah lahan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sayid Muhadhar menegaskan, PP No 22/2021 mengatur secara ketat pengelolaan dan pemanfaatan FABA. Dalam Pasal 460 disebutkan, pemanfaatan limbah non-B3 dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan teknologi, standar produk, dan baku mutu lingkungan hidup.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Warga berunjuk rasa di depan kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap karena debu batubara dari PLTU mencemari lingkungan, Senin (30/9/2019) di Cilacap, Jawa Tengah.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati memaparkan, tak hanya limbah non-B3, pada dasarnya menurut ketentuan dari peraturan pemerintah sebelumnya hingga PP No 22/2021, limbah B3 bisa dimanfaatkan kembali. Namun, pemanfaatan limbah B3 harus melalui pengujian toksikologi hingga karakteristik bahaya yang ditimbulkan.
”Sebelum dimanfaatkan, limbah yang masuk kategori B3 tersebut unsur-unsur racun dan bahaya yang harus diminimalkan agar saat dimanfaatkan sudah aman. Dengan tidak dimasukkannya sebagian FABA ke dalam limbah B3, pengujian itu tak ada lagi dan ini meningkatkan risiko karena tidak diketahui lagi kandungan apa saja yang ada pada limbah itu,” ungkapnya.