Aturan Pengelolaan Limbah Abu Batubara Dilonggarkan
Meski tak lagi berstatus B3, pengelolaan limbah abu batubara hasil pembakaran di pembangkit listrik tenaga uap wajib mengikuti prosedur pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghapusan limbah batubara hasil pembakaran dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun dinilai bertentangan dengan upaya perlindungan pada masyarakat dan lingkungan hidup. Aturan tersebut perlu segera dikaji ulang serta mekanisme pengawasan dan penegakan hukum harus diperkuat. Kemudian, aturan juga harus lebih mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, limbah abu batubara yang menjadi limbah non-bahan beracun dan berbahaya (B3) hanya yang berasal dari pembakaran batubara di luar fasilitas tungku industri (stoker boiler). Limbah dari tungku industri tetap masuk dalam kategori limbah B3.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Fajri Fadhillah, Jumat (12/3/2021), di Jakarta, berpendapat, berbagai konsekuensi buruk bisa terjadi dengan dikeluarkannya limbah abu batubara dari daftar limbah B3. Hal itu, antara lain, terdapat risiko abu batubara dimanfaatkan tanpa diketahui potensi pencemarannya dan tidak ada lagi prioritas pemanfaatan abu batubara yang paling aman.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, abu batubara (fly ash dan bottom ash/FABA) tidak lagi dikategorikan sebagai jenis limbah B3. Dalam lampiran XIV, abu batubara terdaftar sebagai limbah non-B3.
Fajri menyatakan, peraturan tersebut juga berdampak pada hilangnya kewajiban pelaku usaha pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk memiliki sistem tanggap darurat dalam pengelolaan abu batubara. Pada pengelolaan limbah non-B3, sistem tanggap darurat tidak wajib dimiliki.
Karena itu, jika terjadi pencemaran lingkungan hidup akibat adanya keadaan darurat dari abu batubara, sistem yang siap untuk menanggulangi dan memulihkan pencemaran tersebut tidak tersedia.
Fajri menambahkan, batubara mengandung berbagai jenis unsur racun, termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batubara dibakar di pembangkit listrik, unsur beracun tersebut akan terkonsentrasi pada hasil pembakaran yang berupa FABA. Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun, seperti arsenik, timbal, dan merkuri, akan terlepas ke lingkungan.
Beberapa kasus menunjukkan pemilik izin membuang abu secara ilegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, dan tanah kosong dekat rumah penduduk ataupun memberikan kepada penduduk sebagai material uruk.
”Pelonggaran regulasi mengenai pengelolaan abu batubara akan semakin mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Unsur pada abu batubara bersifat karsinogenik serta beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Seharusnya, pemerintah memperkuat pengawasan dan sanksi untuk menekan risiko paparan, bukan justru melonggarkan aturan,” tuturnya.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyampaikan, keberadaan tambang dan PLTU berbahan batubara selama ini memberikan dampak buruk bagi masyarakat sekitar. Selain paparan debu batubara, tidak sedikit masyarakat yang mengalami gangguan pernapasan, paru-paru menghitam, dan kanker.
”Kondisi ini menunjukkan negara tidak punya kekuatan untuk mengatur dan meregulasi kepastian pengelolaan limbah yang baik. Apalagi, dengan sekarang dilepaskannya limbah abu batubara dari kategori limbah B3,” ujarnya.
Merah menyatakan, ketika abu batubara masih berstatus sebagai limbah B3, para penghasil abu ataupun pihak ketiga yang mengelola abu belum betul-betul mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis dalam pengelolaan limbah abu batubara. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan pemilik izin membuang abu secara ilegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, dan tanah kosong dekat rumah penduduk ataupun memberikan kepada penduduk sebagai material uruk.
Ia juga menyebutkan, kasus perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur yang divonis bersalah karena pengelolaan FABA yang buruk. Namun, tidak dilakukan pemulihan di lapangan dan denda sangat kecil.
Tetap perlu patuh
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK Rosa Vivien Ratnawati menuturkan, meski abu batubara dinyatakan sebagai limbah non-B3, penghasil limbah non-B3 tetap berkewajiban memenuhi standar dan persyaratan teknis dalam persetujuan dokumen lingkungan. Misalnya, persyaratan teknis dan tata cara penimbunan FABA.
”Dengan begitu, prinsip kehati-hatian untuk perlindungan lingkungan tetap wajib dipatuhi penghasil ataupun pengelola limbah,” ujarnya. Rosa pun menekankan pencemaran lingkungan akibat pengelolaan abu batubara tetap mendapatkan sanksi hukum administrasi ataupun sanksi pidana.