Pengesahan Revisi UU Penanggulangan Bencana Ditargetkan April 2021
Payung hukum penanggulangan bencana mendesak diterbitkan. Hal itu bertujuan mendukung upaya mitigasi bencana dan pemulihan pascabencana.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana perlu disikapi dengan penguatan regulasi guna mendukung mitigasi dan pemulihan pasca-kejadian. Revisi Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai tonggak regulasi yang tengah dalam pembahasan ditargetkan bisa disahkan pada April 2021.
Ketua Panitia Kerja Revisi UU Penanggulangan Bencana Ace Hasan Syadzily dalam rapat koordinasi nasional penanggulangan bencana tahun 2021 di Jakarta, Rabu (10/3/2021), menyampaikan, pemerintah dan DPR bertanggung jawab menyelesaikan revisi UU Penanggulangan Bencana. Itu dilakukan seiring evaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
”Kami berkomitmen revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 bisa diselesaikan pada masa persidangan tahun ini. Bahkan mungkin pada April ini kita harapkan bisa disahkan dalam rapat paripurna DPR. Jadi, itu target kami,” ujar Ace yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi VIII DPR.
Menurut Ace, ketentuan dalam UU Penanggulangan Bencana belum menjelaskan upaya adaptasi jenis-jenis bencana baru yang muncul saat ini seperti fenomena likuefaksi atau pencairan tanah hingga bencana non-alam karena penyakit zoonosis atau bersumber binatang. Karena itu, dalam revisi undang-undang yang baru perlu mengatur mitigasi bencana maupun kejadian tersebut.
Ace menekankan, orientasi penanggulangan bencana di Indonesia harus difokuskan pada aspek mitigasi. Sebab, selama ini penanggulangan bencana cenderung dilakukan setelah kejadian. Karena itu, dokumen analisis risiko bencana juga harus menjadi rujukan utama dalam setiap upaya mitigasi.
Kami berkomitmen revisi Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 bisa diselesaikan pada masa persidangan tahun ini.
”Setiap kita ingin membuat sebuah kebijakan, maka pendekatan kebencanaan harus dikedepankan. Tidak akan ada artinya jika membuat proyeksi pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek bencana,” tuturnya.
Selain itu, kata Ace, hasil evaluasi DPR menyatakan pentingnya penguatan pada aspek kelembagaan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar lebih responsif terhadap penanganan bencana. Salah satu penguatan peran BNPB bisa dilakukan dengan membentuk satuan kerja di tingkat daerah sesuai kebutuhan dan peraturan perundang-undangan.
Aspek kedua yang perlu dikuatkan, lanjut Ace, terkait anggaran yang saat ini dinilai belum cukup menangani bencana, khususnya upaya mitigasi. Dalam RUU yang baru, alokasi anggaran penanggulangan bencana oleh pemerintah pusat dan daerah ditetapkan sebesar 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dokumen mitigasi
Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rudy Soeprihadi Prawiradinata mengemukakan, upaya mitigasi bencana menjadi bagian perencanaan dan pembangunan Indonesia ke depan. Sebab, dampak bencana sangat signifikan dari sisi ekonomi maupun sosial.
Landasan hukum untuk memasukkan mitigasi bencana dalam dokumen perencanaan telah dikeluarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044. Rencana induk itu disusun Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan BNPB.
”Ke depan bagaimana upaya kita terus mengingatkan pemerintah daerah maupun kementerian dan lembaga lain untuk mengutamakan masalah bencana ini dalam perencanaan. Hal ini penting karena bencana alam seperti gempa bumi dan gunung meletus itu sulit diprediksi,” katanya.
Menurut Rudy, pemerintah daerah perlu mendorong upaya mitigasi bencana terkait perilaku manusia seperti longsor dan banjir. Semua pihak juga mesti memastikan kualitas dan daya dukung lingkungan hidup terus terjaga guna mengurangi dampak longsor dan banjir.
Terkait anggaran, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan, dari pengalaman saat menangani bencana tsunami Aceh pada tahun 2004 lalu, proses pendanaan dapat disesuaikan kondisi yang dihadapi. Saat itu, Indonesia terpaksa menunda kewajiban pelunasan hutang luar negeri karena penanganan tsunami Aceh membutuhkan dana amat besar.
”Anggaran yang seharusnya digunakan untuk cicilan bunga hutang luar negeri bisa alihkan dari APBN untuk menangani bencana. Kedua, setiap tahun kita mencanangkan anggaran antara Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun untuk kebutuhan pendanaan bencana ini,” ujarnya.