Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup dengan Gangguan Ginjal
Kondisi kesehatan penderita gangguan ginjal perlu dijaga agar tak mengalami perburukan gejala. Selain menimbulkan beban kesehatan bagi pasien, masalah ginjal menurunkan mutu hidup keluarga yang mendampingi penderita.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penderita gangguan ginjal, terutama pada stadium lanjut, membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal yang harus dijalani seumur hidup. Partisipasi aktif serta pemahaman yang baik untuk menjaga kesehatan pasien perlu dibangun agar kualitas hidup terjaga.
Menurut Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia Aida Lydia, pasien penyakit ginjal kronis pada stadium lanjut yang harus menjalani terapi pengganti ginjal tidak mudah menjalani pengobatan. Berbagai keluhan biasanya muncul ketika mereka harus melakukan terapi dialisis atau cuci darah.
”Terkadang ada keterbatasan fisik dari pasien yang memperberat penyakitnya. Namun, semua itu seharusnya tidak akan menghalangi pasien untuk tetap hidup berkualitas. Karena itu, pemberdayaan pasien dan keluarga untuk berpartisipasi aktif menjaga kesehatannya amat dibutuhkan,” ujarnya dalam konferensi pers dalam rangka Hari Ginjal Sedunia 2021 yang diikuti secara virtual di Jakarta, Rabu (10/3/2021).
Ia menuturkan, pemahaman yang baik perlu dibangun pada pasien dan keluarga mengenai cara menjaga kesehatan meski harus menjalani terapi seumur hidup. Hal itu terkait pemahaman tentang penyakit ginjal, mengatur diet yang baik, cara minum obat secara teratur, cara menjalani terapi, serta beraktivitas fisik sesuai kondisi tubuh.
Berdasarkan data Indonesian Renal Registry, jumlah pasien baru dan pasien aktif hemodialisis (terapi cuci darah di luar tubuh) terus meningkat tiap tahun. Pada 2015 jumlah pasien baru 21.050 orang dan pasien aktif 30.554 orang.
Terkadang ada keterbatasan fisik dari pasien yang memperberat penyakitnya. Namun, semua itu seharusnya tidak akan menghalangi pasien untuk tetap hidup berkualitas.
Jumlah itu naik pada 2016 menjadi 25.446 pasien baru dan 52.835 pasien aktif, pada 2018 sebanyak 66.433 pasien baru dan 135.486 pasien aktif, serta pada 2019 sebanyak 69.124 pasien baru dan 185.901 pasien aktif.
Aida memaparkan, beban kesehatan akibat penyakit ginjal kronis tidak hanya dapat menurunkan kualitas hidup pasien, tetapi juga pendamping ataupun keluarga. Penurunan mutu hidup ini bisa berdampak pada hasil pengobatan klinis pasien.
Karena itu, pengelolaan pasien dengan penyakit ginjal kronis mesti komprehensif, mulai dari aspek medis, pertimbangan penilaian harapan hidup, tujuan, hingga target pengobatan pasien.
”Sekitar sepertiga pasien dengan penyakit ginjal kronis belum mengetahui benar mengenai penyakitnya, progresivitas ataupun perjalanan penyakitnya, serta modalitas terapi setelah menderita penyakit ginjal tahap akhir atau gagal ginjal terminal. Pasien dan keluarga perlu lebih banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas kondisi kesehatannya,” katanya.
Pemerataan layanan kesehatan
Aida menambahkan, tantangan lain yang dihadapi adalah distribusi layanan kesehatan untuk gangguan ginjal tak merata. Akses terbatas ini menghambat pelayanan. Terapi yang diberikan pun terlambat sehingga terjadi perburukan kondisi kesehatan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan Rita Rogayah menyampaikan, upaya meningkatkan akses ke fasilitas kesehatan terus dilakukan melalui perbaikan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia pendukung.
”Yang penting bagaimana masyarakat mendapatkan layanan bermutu di fasilitas kesehatan terkait sarana prasarana, alat kesehatan, serta obat-obatan yang diberikan. Kemudian, sistem rujukan harus memenuhi kaidah akreditasi yang memastikan layanan penyakit ginjal kronis terstandar,” katanya.
Selain itu, pemerintah kini berupaya memperbaiki sistem rujukan pasien gangguan ginjal. Melalui aturan yang disiapkan, setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) bisa melaksanakan rujukan berdasarkan kompetensi fasilitas kesehatan tingkat lanjut agar rujukan tak berjenjang. Artinya, FKTP bisa langsung merujuk pasien ke fasilitas kesehatan kelas A atau B dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Menurut Rita, aturan ini diperlukan agar layanan pada pasien lebih cepat diberikan. Keselamatan pasien bisa ditingkatkan, sekaligus mencegah perburukan kondisi yang meningkatkan risiko kematian.
Direktur Utama Dewan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyampaikan, pencegahan dan deteksi dini penyakit ginjal perlu ditingkatkan. Intervensi mulai dari hulu lebih mudah dilakukan dengan pembiayaan lebih sedikit.
Dari catatan BPJS Kesehatan, gagal ginjal merupakan penyakit dengan biaya terbesar keempat setelah jantung, kanker, dan stroke. Total pembiayaan pelayanan kesehatan dengan diagnosis gagal ginjal pada 2018-2020 mencapai Rp 6,4 triliun.