Lima varian baru SARS-CoV-2 telah menyebar di sejumlah negara. Selain lebih menular, keberadaan varian baru itu bisa mempersulit upaya pengendalian pandemi Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah varian baru SARS-CoV-2 hasil mutasi bermunculan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Selain lebih menular dan berpotensi meningkatkan kematian, sejumlah varian baru itu juga berpotensi menurunkan efektivitas vaksin.
”Mutasi ini menjadi tantangan terbesar saat ini, kita harus lebih hati-hati,” kata Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat (5/3/2021).
Menurut David, sebagai virus RNA (ribonucleic acid), SARS-CoV-2 akan terus bermutasi secara acak. Mutasi juga merupakan bagian dari virus ini untuk mencoba bertahan menginfeksi manusia. Sebagian mutasi itu bersifat netral dan terutama yang menguntungkan bagi virusnya untuk bertahan akan cenderung dipertahankan dan diwariskan.
Di antara ribuan mutasi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi perhatian khusus terhadap lima varian baru yang menyebar dengan cepat dan dikhawatirkan berdampak serius terhadap upaya pengendalian. Salah satunya adalah varian B.1.1.7 yang pertama kali dideteksi di Inggris pada November 2020 dan saat ini telah ditemukan di 94 negara, termasuk Indonesia, yang melaporkan pada 2 Maret 2021.
Varian berikutnya adalah B.1.351 yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan pada Oktober 2020 dan saat ini telah menyebar di 48 negara. Keberadaan varian B.1.351 ini sudah dilaporkan di Filipina pada awal Maret 2021.
Berikutnya, varian P.1 atau B.1.1.28.1 yang pertama kali diidentifikasi di kota Manaus, Brasil, pada awal Desember 2020 dan saat ini menyebar di 25 negara. Selain itu, ada varian A.23.1 yang pertama diidentifikasi di Uganda pada Oktober 2020 dan saat ini ada di 17 negara. Ada juga varian B.1.525 yang muncul secara paralel di sejumlah tempat sejak Desember 2020 dan menyebar di 23 negara.
Menurut David, varian B.1.1.7 tidak banyak memengaruhi efektivitas vaksin. Namun, varian B.1.351 dari Afrika Selatan diketahui melalui sejumlah penelitian telah menurunkan efektivitas berbagai vaksin.
”Mutasi ini ’berpotensi’ menyebabkan vaksin less efficient (kurang efisien), tetapi bukan berarti inefficient (tidak efisien). Dengan satu mutasi atau bahkan tiga mutasi, diharapkan antibodi akan tetap mengenali varian ini,” ujarnya.
Menurut David, saat ini kita harus berupaya semakin cepat mengendalikan wabah, salah satunya dengan mempercepat cakupan vaksinasi. ”Semakin banyak orang yang divaksinasi, semakin sedikit penularan virusnya. Ini harus diikuti upaya lain, seperti menaati protokol kesehatan,” kata David.
Penguatan surveilans
Menurut David, kemunculan varian-varian baru ini juga menuntut penguatan surveilans, khususnya surveilans molekuler. ”Kuncinya surveilans untuk deteksi dini dan mencegah penyebaran lebih luas. Tidak harus WGS (whole genome sequencing) karena biayanya akan mahal dan lebih lama. Tetapi, bisa dengan menyasar pada gen yang menyandi perubahan proteinspike (paku) atau selubungnya. Itu berarti perlu modifidikasi tes PCR,” ungkapnya.
Semakin banyak orang yang divaksinasi, semakin sedikit penularan virusnya. Ini harus diikuti upaya lain, seperti menaati protokol kesehatan.
Peneliti dari Aligning Bioinformatics dan anggota Konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, juga mengingatkan pentingnya penguatan surveilans. Meremehkan varian-varian baru ini bakal memicu gelombang wabah lebih hebat, seperti terjadi di Brasil saat ini.
Penelitian epidemiolog dari Imperial College London, Nuno Faria, yang dirujuk Nature menunjukkan, varian P.1 memiliki 17 mutasi yang mengubah protein SARS-CoV-2, termasuk di antaranya mengubah protein lonjakan yang dikaitkan dengan peningkatan transmisi dan penghindaran kekebalan.
Dengan memodelkan penyebaran P.1 dan kemungkinan efeknya selama gelombang kedua di kota Manaus, Brasil, para peneliti memperkirakan varian itu 1,4-2,2 kali lebih mudah ditularkan daripada garis keturunan lain. Selain itu, varian ini mampu menghindari beberapa kekebalan yang diberikan oleh infeksi sebelumnya, termasuk kekebalan dari vaksin.
Studi ahli virologi dari University of São Paulo, William M de Souza, yang diunggah di The Lancet pada 1 Maret 2021 menunjukkan, varian P.1 mampu menyiasati antibodi penetral yang dihasilkan dari rangsangan dari luar. Disebutkan, kapasitas penetralan dari plasma konvalesen berkurang enam kali lipat saat menghadapi varian P.1 dalam proses eksperimen.
Selain itu, yang patut jadi perhatian di Indonesia juga, dalam percobaan Souza, plasma dari individu yang mendapat imunisasi CoronaVac dari Sinovac gagal menetralkan isolat garis keturunan P.1 secara efisien. Meski demikian, masih diperlukan kajian untuk melihat dampak varian ini pada subyek yang divaksin.