Penggunaan ruang maupun perubahan tata guna lahan dan hutan serta sistem hidrologi meningkatkan potensi limpasan air. Ini perlu diantisipasi untuk mencegah bencana banjir dan longsor.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam mencapai perkembangan perkotaan yang berketahanan bencana pada 2035, Indonesia akan menghadapi tantangan seperti banjir, longsor, maupun kekeringan. Upaya mengurangi limpasan air ke sungai perlu terus digalakkan ditengah terjadinya perubahan penggunaan lahan dan sistem hidrologi yang dapat memicu terjadinya bencana semakin parah.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Djarot Widyoko menyampaikan, kerangka kerja khusus untuk perkembangan perkotaan untuk tahun 2025 diharapkan memiliki prinsip-prinsip kota layak huni. Sedangkan untuk tahun 2035, pengembangan perkotaan diharapkan dapat mencapai aspek berkelanjutan dan berketahanan dalam menghadapi bencana.
Dalam mencapai perkembangan perkotaan tersebut, kata Djarot, Indonesia akan menghadapi tantangan berupa bencana seperti banjir, longsor, maupun kekeringan. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan penggunaan lahan dan sistem hidrologi sehingga membuat volume limpasan air di sungai kian meningkat saat terjadi hujan deras.
Pembangunan daerah tetap berjalan tetapi ada warna konservasi yang menyertainya sehingga ada sinergi antara pemanfaatan dengan konservasi. (Saparis Soedarjanto)
“Dengan adanya perubahan catchment area (daerah tangkapan hujan), sungai-sungai yang ada sudah tidak bisa menampung aliran air. Padahal, sungai tidak pernah ada yang bertambah lebar sendiri kecuali kita melakukan pelebaran,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hari ketiga, Jumat (5/3/2021).
Dengan kondisi saat ini, menurut Djarot, air yang tertahan di daerah aliran sungai (DAS) tinggal 10 sampai 15 persen. Ini menunjukkan bahwa limpasan air di sungai semakin membesar dan trennya meningkat setiap tahun. Pada akhirnya, sungai dengan kondisi kritis juga akan semakin meningkat setiap tahun.
“Kami memberikan rekomendasi untuk sungai bagian tengah dan hulu dimana muka air tanah masih dalam, semaksimal mungkin perlu menahan air dan memasukan air ke bumi serta perbanyak embung atau situ. Tetapi jika sudah di bagian hilir, air perlu dipercepat untuk mengalir sampai ke laut,” katanya.
Djarot pun mengapresiasi sejumlah ide dari BNPB untuk merehabilitasi DAS dengan membersihkan dan menamam pohon. Upaya tersebut juga diharapkan dapat dilakukan di wilayah DAS lainnya dengan dukungan dari pemerintah daerah sehingga dapat mengurangi limpasan air ke sungai. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya menamam pohon, tetapi juga dapat dengan cara membuat biopori, sumur resapan, embung, maupun situ.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Saparis Soedarjanto mengatakan, dari analisis kejadian banjir di Kalimantan Selatan beberapa waktu yang lalu, dihasilkan sejumlah rekomendasi yakni perlunya rehabilitasi hutan dan lahan.
Selain itu, rekomendasi lainnya untuk menanggulangi bencana khususnya banjir antara lain perbaikan kapasitas tampung atau pengaliran air, oprimalisasi fungsi saluran drianase, relokasi permukiman, hingga revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW). Perlu juga melakukan intervensi bangunan konservasi tanah dan air, baik skala besar yang dilakukan Kementerian PUPR maupun skala kecil di hulu DAS dengan kewenangan KLHK.
“Pada prinsipnya, konteksnya kita tidak mengubah tata ruang, tetapi memberi warna. Sebab, tata ruang merupakan ekspresi dari pembangunan daerah. Jadi pembangunan daerah tetap berjalan tetapi ada warna konservasi yang menyertainya sehingga ada sinergi antara pemanfaatan dengan konservasi,” ucapnya.
Mekanisme water bombing
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang 2020 mengalami penurunan hingga 81 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara pada Januari 2021 tercatat 173 kejadian karhutla yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara hingga Papua.
Mahfud menjelaskan, penanggulangan karhutla dilakukan dengan tiga upaya yakni pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca-kejadian. Salah satu upaya pemadaman dilakukan dengan cara menurunkan air secara langsung dari helikopter atau pesawat ke wilayah dengan titik api atau water bombing.
Meski demikian, kata Mahfud, mayoritas pesawat untuk water bombing masih didatangkan dari luar negeri seperti Rusia, Australia, dan AS sehingga tidak dapat langsung digunakan saat terjadinya karhutla. Oleh karena itu, pemerintah tengah mempertimbangkan untuk mengubah mekanisme pengajuan untuk menyiagakan pesawat-pesawat tersebut sehingga penggunaannya tidak memerlukan waktu yang lama.
“Saya sudah berdiskusi dengan Pak Doni Monardo (Kepala BNPB) untuk membuat kebijakan tentang tempat parkir pesawat ini. Kita membutuhkan hal ini sebagai bentuk pencegahan dini dan juga pemadaman karhutla,” tuturnya.
Selain itu, Mahfud menegaskan, penanggulangan juga dilakukan dengan mengefektifkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana karhutla sekaligus pembayaran ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan. Pembayaran ganti rugi tersebut digunakan untuk rehabilitasi pemulihan kondisi hutan dan lahan.