75 Persen Infrastruktur Dasar di Zona Rentan Bencana
Capaian pembangunan tak akan berarti apabila semuanya hancur karena bencana. Penguatan mitigasi diperlukan mengingat mayoritas infrastruktur dasar berada di zona rentan bencana.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 75 persen infrastruktur dasar di Indonesia berada di zona rentan bencana. Tanpa upaya mitigasi dan pencegahan yang memadai, bencana akan memicu kerugian ekonomi dan memundurkan capaian pembangunan.
”Kalau saya overlay (tumpang susun) peta ancaman bencana di Indonesia, terutama gempa bumi dan tsunami, sedikitnya 75 persen infrastruktur dasar di Indonesia, seperti jalan, jembatan, listrik, bandara, dan pelabuhan, berada di zona rentan bencana,” kata peneliti senior Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Andi Eka Sakya, dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2021 hari kedua, Kamis (4/3/2021).
Andi yang juga mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ini menjadi penanggap atas paparan yang disampaikan sejumlah menteri dalam rapat koordinasi ini. Dia mengingatkan, ancaman bahaya ini harus disikapi dengan penguatan mitigasi dan pencegahan. Selain mengenali sumber ancaman, perlu juga melihat respons masyarakat dan penguatan sistem peringatan dini.
Karena tidak ada yang bisa mengatur gempa ini kapan terjadi. Jadi, kita wajib waspada selalu.
”Dari seluruh penelitian terkait bencana yang ada, sebanyak 72 persen bicara mengenai sumber, 13 persen bagaimana masyarakat menghadapinya, dan 5 persen sistem peringatan dini,” katanya.
Sementara itu, ahli gunung api yang juga mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, sebagian besar ancaman bencana di Indonesia, khususnya terkait gunung api, sebenarnya telah diketahui. Meski demikian, kelemahan utama yang menyebabkan bencana terus menelan korban jiwa dan kerugian materi adalah lemahnya tata ruang berbasis risiko ataupun kurangnya mekanisme pengawasan.
Koordinasi
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, ”Jadi, tidak ada kata tidak siap. Kita harus siap menghadapi ancaman bencana. Jangan nantinya kita menangisi sesuatu karena kita tidak siap.”
Ia pun mengingatkan agar semua kepala daerah di Indonesia menyadari ancaman bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Mitigasi bencana harus menjadi program kepala daerah, terutama bagi mereka yang memimpin di wilayah berisiko tinggi.
”Jangan sekali lagi karena tidak ada bencana, setahun tidak ada, atau tiga tahun tidak ada, lantas besok tidak ada. Jangan berpikir seperti demikian. Besok bisa saja ada, ataupun setelah ini pun bisa ada. Karena tidak ada yang bisa mengatur gempa ini kapan terjadi. Jadi, kita wajib waspada selalu,” ucap Luhut.
Menurut Luhut, sistem mitigasi Indonesia telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2019 tentang penguatan dan pengembangan sistem informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. ”Kita harus wujudkan sinergi yang lebih intensif antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Jangan merasa ada egosektoral karena, tanpa ada sinergi, tidak akan sempurna hasilnya,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, telah melakukan pemetaan sarana prasarana dan jaringan pelayanan yang dianggap rawan terjadi bencana. ”Kemenhub memiliki rencana aksi, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, sebagai upaya mitigasi bencana. Namun, itu tidak ada artinya tanpa kita melakukan koordinasi dan kolaborasi yang baik,” ujarnya.
Saat membuka rakornas ini pada Rabu (3/2), Presiden Joko Widodo telah mengingatkan bahwa kunci utama dalam pengurangan risiko adalah pencegahan dan mitigasi. Namun, dua aspek ini dinilai masih lemah, terbukti dengan terus jatuhnya korban jiwa dan kerugian material dalam setiap kejadian bencana. Presiden juga menekankan agar kebijakan nasional dan daerah harus sensitif bencana.
Data BNPB, dari awal Februari 2020 hingga akhir Februari 2021 telah terjadi 3.253 bencana. Statistik dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ada 1.183 jiwa meninggal karena bencana dan kerugian ekonomi mencapai Rp 22,8 triliun per tahun. Bank Dunia juga menyebutkan, Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko ancaman bencana paling tinggi di dunia.