Aturan Turunan UU Cipta Kerja Dinilai Kian Mengancam Lingkungan
Sejumlah pihak menilai aturan turunan UU Cipta Kerja belum bisa menjawab kekhawatiran akan kerusakan lingkungan yang berpotensi terjadi akibat regulasi yang kontradiktif ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai hanya menekankan kemudahan dalam menjalankan sejumlah agenda pembangunan dan menguntungkan korporasi besar. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, aturan turunan tersebut justru berpotensi kian merusak lingkungan dan sumber daya alam.
Hal itu terangkum dalam kertas kebijakan ”Catatan Akhir dan Evaluasi 100 Hari UU Cipta Kerja” yang disusun oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (Huma) serta diluncurkan secara daring, Kamis (4/3/2021).
Nadya Demadevina dari tim penyusun kertas kebijakan tersebut mencatat, terdapat sejumlah agenda pembangunan atau sektor yang paling dimudahkan dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya. Agenda itu, antara lain, Proyek Strategis Nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), lumbung pangan (food estate), usaha ekstraktif, dan pariwisata.
Jalan yang diciptakan dari UU Cipta Kerja sudah abai terhadap corporate citizenship yang seharusnya peduli terhadap lingkungan dan hak asasi manusia. (Dadang Tri Sasongko)
Menurut Nadya, aturan turunan UU Cipta Kerja memberikan ruang yang sangat besar bagi pemerintah untuk mengatur PSN secara teknis. Padahal, aturan terkait PSN tidak dituangkan secara khusus dalam UU Cipta Kerja. Sementara kemudahan yang diberikan ini yakni diizinkannya alih fungsi lahan meski belum dimuat dalam rencana tata ruang hingga jaminan pelepasan dan penggunaan kawasan hutan.
”Kemudahan food estate juga sama karena peraturan presiden terbaru menyatakan proyek tersebut masuk PSN. Proyek ini disebut untuk ketahanan pangan, tetapi jika dilihat dari kajian perencanaannya justru mengakomodasi pengusaha yang melakukan budidaya tanaman skala luas. Proyek ini bahkan bisa dilaksanakan dalam kawasan hutan lindung dan bisa dilakukan di atas wilayah yang sudah dibebani izin perhutanan sosial,” tuturnya.
Sama halnya dengan PSN dan lumbung pangan, aturan terkait proyek KEK juga tidak dituangkan secara khusus dalam UU Cipta Kerja. Namun, KEK juga tetap mendapat kemudahan, seperti tidak wajib menyertakan proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan mendapat fasilitas penyediaan tanah oleh bank tanah.
”Untuk usaha ekstraktif secara luas menikmati kemudahan ini terutama hilangnya partisipasi masyarakat di amdal dan penghapusan izin lingkungan. Tetapi, yang paling utama adalah kemudahan untuk perkebunan dan tambang karena aturan soal pelepasan kawasan hutan kebanyakan memang ditujukan untuk kepentingan sektor perkebunan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Tri Sasongko menyatakan, Indonesia harus memetik pelajaran dari negara-negara lain yang terindikasi korupsi. Menurut dia, untuk menarik investasi, negara-negara yang sangat korup tersebut lebih memilih membangun jalan pintas bagi para pebisnis untuk memudahkan eksploitasi sumber daya alam daripada harus sungguh-sungguh memberantas korupsi.
”Jadi, jangan terlalu diharapkan korporasi yang nantinya masuk ke sektor sumber daya alam atau manfuktur itu akan mempertimbangkan faktor keberlanjutan, daya lingkungan, atau hak asasi manusia. Ini karena jalan yang diciptakan dari UU Cipta Kerja sudah abai terhadap corporate citizenship yang seharusnya peduli terhadap lingkungan dan hak asasi manusia,” katanya.
Bank tanah
Peneliti Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, memandang, salah satu fasilitas kemudahan dalam UU Cipta Kerja, yakni penyediaan tanah melalui skema bank tanah, sarat akan kepentingan korporasi, bukan rakyat. Hal ini mengacu pada Pasal 125-135 UU Cipta Kerja yang menyimpulkan bahwa tanah yang dikelola bank tanah diberikan hak pengelolaan.
”Masalah dasarnya adalah hal ini jelas akan mengerdilkan makna reforma agraria. Reforma agraria yang seharusnya menjadi operasi koreksi atas ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, dan pengusahaan tanah itu dikerdilkan hanya soal penataan agraria yang orientasinya akan menyingkirkan hak rakyat,” ucapnya.
Selain itu, ujar Herlambang, Peraturan Presiden No 86/2018 tentang Reforma Agraria dan dijalankan gugus tugas reforma agraria akan menjadi tidak relevan. Sebab, hal tersebut akan digantikan sistem kelembagaan dari bank tanah.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nunu Anugrah mengatakan, KLHK akan membuat serial diskusi untuk menyosialisasikan aturan turunan UU Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Selain dua bidang tersebut, terdapat juga Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan.