Masuknya Varian Baru B.1.1.7 Mempersulit Penanganan Pandemi Covid-19
Temuan varian baru SARS-CoV-2 dari Inggris di Indonesia mempersulit penanganan pandemi Covid-19. Karena itu, mitigasi risiko penularan mesti diperkuat dengan memperkuat pelacakan kasus.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penemuan varian baru hasil mutasi SARS-CoV-2 dari Inggris yang lebih menular dan berpotensi meningkatkan gejala hingga mortalitas ini menuntut peningkatan tes, lacak, dan isolasi. Selain itu, surveilans molekuler harus diperkuat untuk mengidentifikasi kemungkinan masuknya varian lain, selain menemukan varian lokal.
Selain di Indonesia, B.1.1.7 telah ditemukan di 94 negara di dunia dan saat ini menjadi varian yang dominan, menggantikan varian-varian sebelumnya. Sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Vietnam, juga telah lebih dulu menemukan varian ini.
Temuan varian baru B.1.1.7 di Indonesia itu disampaikan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono dalam diskusi ”1 Tahun Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional (Ristek/BRIN), di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
”Kalau satu tahun lalu kita menemukan kasus 01 dan 02 Covid-19, tadi malam saya mendapat informasi, tepat satu tahun kita menemukan mutasi B.1.1.7 dari Inggris di Indonesia,” kata Dante.
Dari 462 kasus yang diperiksa genomnya, telah ditemukan dua varian baru B.1.1.7. ”Artinya, kita akan menghadapi pandemi ini dengan tingkat kesulitan yang semakin berat,” ungkapnya.
Dante menambahkan, kita dituntut untuk lebih meningkatkan proses riset yang lebih cepat, model penanganan, dan studi epidemiologis yang lebih baik karena mutasi sudah ada. ”Kita perlu meningkatkan kolaborasi sehingga bisa melewati pandemi ini, menuju era endemi, dan kalau bisa eradikasi. Yang bisa saya sampaikan, kita tidak akan pernah tahu kapan akan berakhir,” ujarnya.
Implikasi serius
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota Konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengatakan, ada empat aspek mitigasi yang sangat diperlukan dengan temuan varian baru ini. Pertama, kita harus mengantisipasi penularan yang lebih cepat.
Kita perlu meningkatkan kolaborasi sehingga bisa melewati pandemi ini, menuju era endemi, dan kalau bisa eradikasi.
Mengacu pada laporan Pusat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, peningkatan penularan varian B.1.1.7 mencapai 50-70 persen lebih cepat dibandingkan dengan varian SARS-CoV-2 sebelumnya. Mutasi ini juga berpotensi meningkatkan efek gejala hingga mortalitas sebesar 30 persen.
”Ini artinya Indonesia harus kembali memperkuat protokol kesehatan 5M (menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan meminimalkan mobilitas) dan kali ini perlu digalakkan lebih serius," kata Riza.
Aspek kedua, kita perlu memastikan program vaksinasi di Indonesia tercapai targetnya seperti yang direncanakan untuk menghentikan kemungkinan transmisi lokal B.1.1.7 di wilayah Indonesia. Ketiga, hal itu memperlihatkan makin pentingnya penekanan strategi surveilans genomika lebih baik dan solid, yang mencakup tidak hanya Konsorsium Kemenristek-BRIN, tetapi juga semua mitra dan bahkan sektor swasta.
Keempat, kita juga perlu membuat strategi tes PCR (reaksi rantai polimerase) yang lebih bisa menjaring varian B.1.1.7, seperti menggunakan teknik S Gene Target Failure (SGTF), untuk mengidentifikasi dari seseorang yang berpotensi membawa varian baru ini. Modifikasi tes PCR ini juga dapat digunakan untuk menelusuri kontak erat orang-orang yang diduga membawa mutasi tersebut.
Riza mengingatkan, selain mengidentifikasi secara dini varian baru dari Inggris ini, kita perlu melacak kemungkinan masuknya varian-varian lain yang tak kalah berbahaya, khususnya varian P.1 dari Brasil dan varian B.1.351 dari Afrika Selatan. Bahkan, kita juga harus mewaspadai munculnya varian endemik dari Indonesia sendiri.
Sejumlah studi menunjukkan, varian B.1.351 dari Afrika Selatan dapat menghindari antibodi manusia dan mengurangi efektivitas vaksin. Ini, misalnya, dipaparkan dalam studi Pei-Yong Shi dari University of Texas Medical Branch (UTMB) di Galveston dan rekan-rekannya, yang dipublikasikan di jurnal The New England Journal of Medicine (NEJM) pada 17 Februari 2021.
Penurunan tes
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, juga mengingatkan, temuan varian baru ini harus diikuti dengan peningkatan tes dan lacak, yang belakangan justru menurun.
”Untuk mencegah munculnya varian-varian baru di Indonesia, kita harus segera mengendalikan kasus melalui peningkatan tes, lacak, dan isolasi selain memperkuat pembatasan dan perketat protokol kesehatan. Semakin tinggi kasus, semakin besar peluang mutasi,” ujarnya.
Mengacu data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah orang yang diperiksa di Indonesia relatif kecil. Pada 28 Februari 2021, orang yang diperiksa hanya 21.229 orang, tanggal 1 Maret hanya 18.940 orang, dan 2 Maret hanya 29.990 orang.
Dengan kecilnya jumlah orang yang diperiksa ini, sulit untuk menilai bahwa kasus di Indonesia sudah menurun. ”Seharusnya tes tidak lagi masalah karena kita bisa juga menggunakan rapid antigen. Namun, kenapa justru tidak ada indikasi perbaikan tes dan lacak. Jangan sampai pemerintah hanya fokus pada vaksin saja,” ujarnya.