Masa Depan Energi Nuklir
Masa depan energi nuklir di Indonesia tidak akan mudah. Selain penguasaan teknologi yang memenuhi standar keamanan, penolakan sebagian masyarakat terhadap keberadaan pembangkit listrik tenaga nuklir menjadi tantangan.

M Zaid Wahyudi, wartawan ”Kompas”
Sejak reaktor nuklir pertama dibangun pada 1950-an hingga kini, reputasi buruk melekat pada jenis pembangkit listrik ini. Kengerian akibat nuklir, kesalahpahaman soal radiasi, hingga kegagapan memitigasi bencana yang terjadi membuat manfaat besar energi nuklir guna membantu manusia sekaligus menjaga Bumi justru kurang termanfaatkan.
Pengusaha teknologi sekaligus pegiat perubahan iklim Bill Gates dalam wawancara di CNBC, Kamis (25/2/2021), kembali menegaskan pentingnya nuklir sebagai energi hijau dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Sejak beberapa tahun lalu, pendiri Microsoft itu aktif mendorong penggunaan nuklir sebagai energi masa depan.
Dukungan itu sejalan dengan cita-cita manusia mewujudkan nol emisi karbon guna menyelamatkan Bumi dari bencana iklim seperti yang ditulis dalam buku terbarunya How to Avoid a Climate Disaster. Tak hanya menjaga iklim, nuklir dianggap relatif lebih aman karena kematian yang ditimbulkannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kematian akibat pemakaian bahan bakar fosil, khususnya batubara.
Penolakan atas nuklir justru jadi tantangan untuk terus mengembangkan teknologi reaktor yang lebih aman dan selamat serta lebih murah investasinya. Pengembangan reaktor kecil yang lebih mudah dibangun juga diperlukan. Karena itu, Gates turut mendirikan dan mendanai TerraPower, perusahaan rintisan energi nuklir demi mewujudkan cita-cita itu.
Baca Juga: Jelajah Pengembangan Nuklir di Indonesia
Apa yang dilakukan Gates mungkin berbeda dengan sikap pegiat lingkungan atau perubahan iklim lain yang umumnya menentang nuklir. Kengerian kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina, pada 1986 maupun Fukushima Daiichi, Jepang, pada 2011 menjadi alasan utama. Belum lagi kemungkinan penyalahgunaan bahan bakar uraniumnya atau pengelolaan limbah nuklirnya.

Petani, mahasiswa, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Jawa Tengah berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu, menolak rencana pembangunan PLTN Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Mereka menilai proyek PLTN lebih banyak dampak buruknya daripada manfaatnya, seperti radiasi.
Pegiat lingkungan umumnya mendorong pengembangan energi matahari atau angin sebagai energi bersih. Mark Z Jacobson, profesor teknil sipil dan lingkungan di Universitas Stanford, Amerika Serikat, menilai energi matahari dan angin lebih murah, aman, dan cepat untuk menekan emisi. Namun, teknologi penyimpanan listrik untuk dua jenis energi tu masih menjadi tantangan.
Pembangunan reaktor nuklir dari perancangan hingga beroperasi umumnya butuh waktu 15 tahun. Karena itu, untuk mengejar target penurunan emisi pada 2035, nuklir tetap sulit diharapkan. Belum lagi, penolakan nuklir secara politik terus menguat di berbagai negara.
Sejak dekade 1990-an, pertumbuhan reaktor nuklir di seluruh dunia mengalami stagnasi. Pengembangan reaktor baru hanya berlangsung di Asia seiring pertumbuhan ekonomi yang pesat di kawasan itu. Hingga September 2020, Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) menyebut di Asia ada 135 reaktor nuklir yang beroperasi, 35 reaktor dalam pembangunan, dan 60-70 reaktor dalam perencanaan.
Kecelakaan reaktor Fukushima Daiichi yang pada 11 Maret 2021 nanti genap berusia 10 tahun tak membuat jera. Bahkan, Jepang yang sempat mematikan seluruh reaktornya sesudah peristiwa itu mulai menghidupkan kembali sejumlah reaktor miliknya tujuh tahun setelah bencana terjadi.
Baca Juga: Nuklir Dinilai Mustahil, Tenaga Surya Diandalkan
Peristiwa itu justru membuat sejumlah perekayasa nuklir mendorong pembangunan reaktor dengan tingkat keselamatan lebih baik, termasuk mampu melindungi diri saat bencana terjadi hingga radiasinya tak menyebar ke lingkungan. Selain itu, peningkatan standar keamanan dan keselamatan reaktor dilakukan demi menyakinkan masyarakat di sekitar reaktor.

Foto udara yang diambil pada 20 Agustus 2013 ini menunjukkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi di Okuma, Prefektur Fukushima, Jepang. Tangki-tangki yang ada di sekitar reaktor itu adalah air yang terkontaminasi zat radiasi.
Di sisi lain, sejumlah negara tidak memiliki banyak pilihan sumber energi. Bergantung pada energi fosil, baik minyak dan gas bumi atau batubara, jelas bukan pilihan karena energi jenis ini pasti akan habis. Belum lagi persoalan pasokan, harga komoditas, dan dampak lingkungan akibat pemakaian energi fosil juga harus ditimbang.
Respons berbeda dilakukan Jerman. Pasca kasus Fukushima Daiichi, Jerman, bertekad mematikan seluruh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) miliknya. Target yang ditetapkan parlemen pun amat fantastis, dari semula pada 2036 maju menjadi tahun 2022. Namun, seperti dikutip dari Forbes, 11 Januari 2020, sejumlah kalangan kini memikirkan ulang penghentian reaktor nuklir tersebut.
Pascakebijakan itu, Jerman menggantikan sebagian besar sumber energinya kepada batubara yang jelas akan meningkatkan polusi udara, menurunkan kulitas kesehatan masyarakat, dan meningkatkan kematian. Pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga angin yang jadi andalan Jerman belum mampu memenuhi kebutuhan energi untuk industrinya.
Perdebatan untuk mengakhiri pembangkit nuklir juga terjadi di AS dan Inggris. Nyatanya upaya itu tidak mudah. Menyeimbangkan antara memenuhi kebutuhan industri, menekan emisi karbon, tetapi tetap menjaga keamanan dan keselamatan serta meminimalkan risiko kesehatan yang terjadi akibat setiap penggunaan sumber energi tertentu tidaklah mudah.
Bill Lee dan Michael Rushton dari Universitas Bangor, Inggris, seperti dikutip dari The Conversation, 4 November 2020, yakin upaya mengurangi emisi karbon tidak bisa dilakukan tanpa membangun reaktor nuklir baru. Justru saat ini riset dan inovasi dalam teknologi reaktor perlu terus dikembangkan.

Sebuah wahana bawah air nirawak yang akan digunakan untuk memeriksa interior reaktor nuklir Unit 3 di PLTN Fukushima Daiichi di Jepang tengah diperagakan di sebuah kolam milik Institut Riset Perlucutan Nuklir Internasional (IRID) di Yokosuka, Jepang, Rabu (15/6).
Pada akhirnya, nuklir bukanlah soal setuju tidak setuju, melainkan pilihan dengan segala risiko dan manfaatnya demi menjaga kesejahteraan umat manusia tanpa terlalu mengorbankan Bumi. Tujuan itu tak mungkin dicapai selama pihak yang pro maupun kontra nuklir tetap berkeras dengan pilihannya tanpa mau membuka pilihan lain demi kebaikan bersama.
Indonesia
Dari seluruh raktor yang beroperasi di Asia, 94 persennya ada di empat negara saja yang semuanya merupakan raksasa ekonomi, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, dan India. Sisanya, ada di Pakistan. Uni Emirat Arab dan Bangladesh kini membangun reaktor nuklir, sementara negara-negara Asia Tenggara belum ada yang memulai.
Besarnya kekhawatiran akan nuklir membuat upaya mengenalkan nuklir di Asia Tenggara mengalami maju mundur. Tahun 2007, Pemerintah Vietnam menyetujui pembangunan PLTN yang digadang-gadang menjadi yang pertama di Asia Tenggara. Namun, rencana itu akhirnya dibatalkan pada 2016.
Besarnya kekhawatiran akan nuklir membuat upaya mengenalkan nuklir di Asia Tenggara mengalami maju mundur.
Indonesia sebenarnya jauh lebih awal menginisiasi program nuklirnya di era Presiden Soekarno tahun 1960-an sejalan dengan misinya untuk menjadikan Indonesia mampu menguasai sains nuklir dan antariksa. Sejak saat itu, putra-putri terbaik bangsa pun dikirim ke berbagai negara untuk mempelajarinya. Namun, hingga 60 tahun berlalu, sebagian besar cita-cita itu masih jadi mimpi.
Dalam konteks politik melalui pemilihan langsung, di tengah masih besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap nuklir, keputusan membangun PLTN bukan pilihan populer. Investasi awal yang besar dan waktu pembangunan yang bisa memakan tiga periode umur politik jelas membuat nuklir tidak akan masuk pilihan. Isu pembangungan PLTN pun sering kali hanya berakhir sebagai perdebatan warung kopi tanpa ada putusan yang jelas.

Peneliti memantau di atas kolam teras reaktor nuklir penelitian di fasilitas Reaktor Serba Guna GA Siwabessy yang yang dikelola Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di Kompleks Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu.
Meski penerimaan masyarakat atas PLTN cukup besar dan terus meningkat, hasil jajak pendapat itu tidak membuat pemerintah yakin segera membangun PLTN. Pada 2017, sebanyak 77,5 persen responden setuju dengan nuklir. Namun, persetujuan itu bukan didasari oleh pemahaman atas manfaat dan risiko nuklir yang baik, melainkan lebih didorong oleh keinginan mendapat pasokan listrik yang makin baik, tidak sering padam, murah, dan menjangkau seluruh wilayah.
Tiadanya keputusan jelas apakah Indonesia jadi atau tidak jadi membangun PLTN sebenarnya juga menempatkan Indonesia dalam posisi berbahaya dalam penyediaan pasokan energi. Seperti dikutip Kompas, 26 September 2018, Indonesia yang menjadi pengimpor bersih (net importer) minyak mentah sejak 2003 juga akan menjadi importir penuh gas pada 2025 dan batubara pada 2049.
Kalaupun ingin membangun PLTN, butuh waktu 15 tahun untuk melaksanakannya dengan investasi amat besar. Kalaupun tidak, Indonesia bisa fokus mengembangkan sumber energi terbarukan lainnya. Tentu dengan tetap memperhatikan kebutuhan energi yang akan terus meningkat di masa depan sejalan dengan bertambahnya penduduk ataupun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi akan jadi lima besar kekuatan dunia pada 2024.
Alih-alih membangun PLTN, pemerintah justru mendirikan reaktor mini atau reaktor daya eksperimental berkapasitas 10 megawatt termal atau 3 megawatt elektrik di Kawasan Nuklir Serpong, Tangerang Selatan. Reaktor mini yang direncanakan selesai tahun ini diharapkan bisa jadi uji coba bagi Indonesia dalam mengelola reaktor nuklir sesungguhnya.
Soal keahlian, kemampuan perekayasa Indonesia untuk membangun dan mengelola reaktor nuklir tidak diragukan. Akan tetapi, kemampuan mengelola harapan dan amanat masyarakat, mengomunikasikan soal nuklir, hingga memitigasi bencana yang bisa saja terjadi masih menjadi pekerjaan rumah besar. Nuklir bukan semata soal teknologi, melainkan juga kepercayaan.

Seorang pranata nuklir dari Batan menguji kepadatan serbuk pelet dari uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (11/9/2019).
Kasus pembuangan limbah radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, pertengahan Februari 2020 lalu jadi bukti gagapnya kita memitigasi kasus pencemaran nuklir, bukan bencana nuklir yang levelnya bahayanya jauh lebih tinggi.
Tertutup dan lambatnya pihak otoritas menjelaskan masalah yang terjadi justru membuat hoaks lebih masif tersebar. Sayangnya, seperti karakter hoaks umumnya, pelurusan informasi yang muncul belakangan akan lebih sulit menghapus memori buruk tentang nuklir yang sudah telanjur menyebar dan tertanam di pikiran masyarakat.
Edukasi soal nuklir pun perlu terus digencarkan, tidak boleh kalah dengan penyebaran infromasi soal nuklir yang keliru atau tidak pas. Mengomunikasikan nuklir dalam bahasa politik atau bahasa awam yang sederhana dan singkat tidak mudah, tetapi itulah tantangannya.
Penyebaran informasi itu tak hanya menyasar masyarakat, tetapi juga pengambil kebijakan. Pemahaman tak tepat soal nuklir hingga kurang teliti dengan risikonya mudah ditemukan di kalangan pengambil kebijakan. Itu membuat mereka mudah mengambil kesimpulan sepihak hanya berdasar informasi yang dijajakan industri nuklir global tanpa melibatkan ahli yang kompeten.
Sementara di masyarakat, sangat mudah ditemukan kekhawatiran berlebih tentang radiasi dari reaktor nuklir yang sebenarnya amat terkontrol keamanan dan keselamatannya. Mereka justru abai dengan paparan radiasi dari telepon genggam yang digunakan tiap saat atau ketika naik pesawat terbang, bahkan dengan zat radioaktif yang ada dalam buah pisang meski dalam batas aman.

Petugas Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) memasukkan tanah dan benda-benda lain yang terpapar radioaktif Cesium 137 ke dalam drum di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (16/2/2020). Bagian yang terpapar tersebut selanjutnya akan diteliti dan dikelola melalui pengelolaan limbah milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Besarnya tantangan itu membuat masa depan energi nuklir di Indonesia tidak akan mudah. Waspada terhadap nuklir menjadi keharusan, tetapi ketakutan berlebih tanpa didasarkan atas pengetahuan harus dihindari. Pada akhirnya, kita bisa mendapat manfaat sebesar-besarnya dari energi nuklir, tetapi kita juga bisa menghindarkan atau meminimalkan risiko yang menyertainya.