SARS-CoV-2 Bermutasi untuk Terus Bersama Manusia
SARS-CoV-2 terus bermutasi guna menyiasati berbagai intervensi sosial, terapi, ataupun vaksin dan kemungkinan virus itu bakal terus ada di masyarakat. Kita tak boleh lengah meski pertambahan kasus melandai.
Di seluruh dunia, tampaknya pandemi Covid-19 sedang melonggarkan cengkeramannya, ditandai dengan kurva kasus dan kematian yang menurun. Namun, kita tidak boleh terlena karena SARS-CoV-2 terus bermutasi guna menyiasati berbagai intervensi sosial, terapi, dan vaksin.
Selama enam minggu berturut-turut, jumlah kasus Covid-19 baru secara global menurun. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus Covid-19 turun 11 persen minggu ini dan kematian menurun 20 persen. ”Kami belum pernah melihat level serendah ini sejak Oktober lalu,” kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, pada konferensi pers secara daring, pekan lalu.
Ini tentu kabar baik, tetapi pertanyaan besarnya adalah mengapa?
Jawaban atas turunnya kasus dan kematian Covid-19 ini bisa menjadi dasar pemahaman apakah apakah penurunan ini menandai bahwa pandemi akan segera berakhir atau hanya sementara.
Baca juga: Beradaptasi Menghadapi Pandemi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vaksin kemungkinan berperan, terutama di negara yang telah menyuntik lebih dari separuh penduduknya seperti Israel. Laporan studi di jurnal Lancet pada 18 Februari 2021 menyebutkan, dari 7.214 staf rumah sakit di Israel yang menerima dosis pertama vaksin pada Januari, mengalami penurunan gejala Covid-19 sebesar 85 persen. Sementara penurunan keseluruhan infeksi, termasuk kasus tanpa gejala yang terdeteksi melalui tes, sebesar 75 persen.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, vaksin belum bisa jadi ukuran utama karena turunnya kasus Covid-19 juga terjadi di negara yang cakupan vaksin relatif kecil, semisal India. Kepatuhan terhadap pedoman kesehatan masyarakat, penguncian, pengurangan perjalanan hingga surveilans yang baik diduga lebih berkontribusi pada tren penurunan kasus.
Faktor lain yang menyebabkan penurunan kasus secara global, menurut Dicky, terjadi pergeseran wilayah terdampak Covid-19. Jika sebelumnya Covid-19 banyak melanda negara maju, seperti Amerika Serikat yang memiliki kemampuan tes tinggi, saat ini wabah lebih banyak beredar di negara berkembang dan miskin yang kemampuan tes dan pelaporannya rendah. ”Dampaknya, kasus seolah menurun, tetapi sebenarnya masih tinggi,” tuturnya.
Menurut Dicky, Indonesia termasuk negara yang bermasalah dengan tes dan pelaporan sehingga situasi penularan di komunitas sulit diketahui dengan pasti. Untuk amannya, dia menyarankan jangan dulu melonggarkan pembatasan, apalagi saat ini semakin banyak muncul varian baru SARS-CoV-2.
Varian baru
Kemunculan berbagai varian baru memang menjadi fokus terbesar para ilmuwan saat ini. Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono mengatakan, mutasi SARS-CoV-2 bisa sangat menentukan perjalanan pandemi ini ke depan. ”Ingat, kita berhadapan dengan virus RNA yang mudah bermutasi,” katanya.
Dibandingkan virus RNA lainnya, SARS-CoV-2 sebenarnya bukanlah ”pesawat jet” dalam hal kecepatan mutasi. Genom SARS-CoV-2 yang relatif besar untuk ukuran virus RNA, rata-rata hanya mengakumulasi dua mutasi huruf tunggal dalam sebulan, tingkatnya sekitar setengah dari kecepatan mutasi virus H1N1 pemicu influenza dan seperempat kecepatan HIV.
Baca juga: Vaksin Ampuh untuk Covid-19
Namun, karena SARS-CoV-2 sukses menginfeksi banyak orang, saat ini telah mencapai 110 juta orang, virus ini telah menjadi pohon rimbun dengan beragam cabang variannya. Melalui seleksi alam, mutasi yang menguntungkan bagi virusnya, dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Menguntungkan bagi virusnya berarti merugikan inangnya.
Indonesia termasuk negara yang bermasalah dengan tes dan pelaporan sehingga situasi penularan di komunitas sulit diketahui dengan pasti.
Dari sekitar 600.000 total genom SARS-CoV-2 yang telah didokumentasikan GISAID dari sejumlah negara di dunia, termasuk 446 dari Indonesia, sejauh ini ditemukan 41.000 mutasi yang terbagi dalam 880 garis keturunan.
Tiga varian yang menjadi perhatian utama adalah B.1.1.7 dari Inggris yang sudah terbukti lebih menular dan meningkatkan risiko keparahan. Sementara itu, varian P.1 dari Brasil terbukti bisa memicu reinfeksi sehingga menyebabkan gelombang kedua yang lebih parah di kota Manaus.
Sementara varian B.1.351 atau dikenal juga sebagai 501Y.V2, yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan, terbukti menurunkan kemanjuran vaksin. Kajian Pei-Yong Shi di jurnal The New England Journal of Medicine (NEJM) pada 17 Februari 2021 menyebut, varian ini B.1.351 mengurangi antibodi pelindung yang dipicu vaksin Pfizer Inc/BioNTech hingga dua pertiganya.
Moderna juga mengirim korespondensi ke NEJM dan menyampaikan data penurunan tingkat antibodi enam kali lipat dibandingkan varian Afrika Selatan. Sebelumnya, dua vaksin Covid-19 dari Johnson & Johnson dan Novavax juga kehilangan sejumlah besar kekuatan pelindungnya saat digunakan di tempat peredaran varian baru Afrika Selatan.
Untuk vaksin satu dosis Johnson & Johnson, tingkat kemanjuran turun dari 72 persen dalam uji coba di Amerika Serikat, tetapi menjadi 57 persen dalam uji coba yang dilakukan di Afrika Selatan. Sementara vaksin Novavax, menurut Elisabeth Mahase dalam tulisannya di British Medical Journal (BMJ) pada 1 Februari 2021, sebesar 95,6 persen efektif terhadap varian asli SARS-CoV-2, memberikan perlindungan terhadap varian Inggris B.1.1.7 sebesar 85,6 persen, tetapi terhadap B.1.351 hanya 60 persen.
Perkembangan terbaru menunjukkan, sejumlah mutasi yang sama terjadi di berbagai termpat terpisah, yang menandakan bahwa virus ini telah menemukan jalan untuk berevolusi menjadi bentuk yang menguntungkan adaptasinya di dunia manusia.
”Bayangkan, saat kita mengatur strategi untuk menghadapi SARS-CoV-2, varian-varian ini juga seperti bersekutu menyusun strategi melawan manusia,” kata peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto.
Bahkan, peneliti virus, Bette Korber, dari Laboratorium Nasional Los Alamos New Mexico telah menyampaikan dalam pertemuan dengan Akademi Ilmu Pengetahuan New York pada 2 Februari bahwa ada bukti mutasi rekombinasi.
Mutasi karena penggabungan virus ini ditemukan Korber dalam sampel SARS-CoV-2 di California. Virus hibrida yang ditemukan merupakan hasil rekombinasi dari varian B.1.1.7 yang lebih menular dari Inggris dan varian B.1.429 yang berasal dari California dan diduga bertanggung jawab atas gelombang kasus Covid-19 di Los Angeles.
Menjadi endemis
Dengan berbagai latar belakang ini, tak mengherankan jika survei yang dilakukan Nature pada Januari 2021 kepada lebih dari 100 ahli imunologi, peneliti penyakit menular, dan ahli virologi yang menangani virus korona, menyimpulkan, eradikasi SARS-CoV-2 dari dunia manusia menjadi hal yang mustahil. Hampir 90 persen responden berpendapat virus korona ini akan menjadi endemik, yang berarti akan terus beredar di kantong-kantong populasi global selama bertahun-tahun yang akan datang.
”Memberantas virus ini sekarang dari dunia sama seperti mencoba merencanakan pembangunan jalur batu loncatan ke bulan. Itu tidak realistis,” kata Michael Osterholm, seorang ahli epidemiologi di University of Minnesota di Minneapolis, seperti ditulis Nature (16 Februari 2021).
Namun, para ilmuwan ini membesarkan hati, kegagalan memusnahkan virus tidak berarti bahwa kematian, penyakit atau isolasi sosial akan berlanjut pada skala sebesar saat ini. Masa depan akan sangat bergantung pada jenis kekebalan yang diperoleh orang melalui infeksi atau vaksinasi dan bagaimana mutasi lebih lanjut virus ini.
Kisah pandemi Covid-19 agaknya bakal menjadi seperti pandemi influenza 1918, yang menewaskan lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia. Pandemi yang dikenal sebagai flu Spanyol dan menewaskan 4,3 juta orang di Pulau Jawa dan Madura saja dan rata-rata 10 persen populasi di seluruh Nusantara mereda setelah dua tahun. Virus influenza ini tak sepenuhnya hilang dari dunia kita.
Virus influenza A atau penyebab influenza 1918, yang awalnya berinang dari burung itu, masih terus bergentayangan dalam berbagai variannya. Bahkan, hampir semua wabah flu berikutnya disebabkan oleh keturunan virus 1918. Keturunan ini beredar di dunia, menginfeksi jutaan orang tiap tahun dan hingga kini rata-rata merenggut 650.000 nyawa per tahun secara global.
Menurut dia, virus itu juga bisa menetap menjadi pola musiman wabah musiman. Kalau virus ini mau jadi endemis, ada kemungkinan SARS-CoV-2 bakal menjadi lebih tidak mematikan karena dia juga butuh inang untuk bertahan. Namun, sebelum mencapai keseimbangan itu, kita harus melakukan beragam cara untuk menekan jumlah korban.
Perlu dipahami, sebelum kemunculan SARS-CoV-2, sejumlah virus korona lain sebenarnya telah endemis di dunia kita. SARS-CoV-2 yang memicu pandemi Covid-19 kali ini merupakan bagian dari keluarga Corona dan subkeluarga Orthocoronavirinae, yang jumlahnya di alam sebenarnya sangat banyak dan selanjutnya dibagi menjadi genera virus alfa, beta, gama, dan delta.
Virus korona alfa dan beta diketahui menginfeksi mamalia, seperti kelelawar, babi, unta, dan tikus, serta manusia. Sementara sebagian besar virus korona gama dan delta menginfeksi unggas meskipun juga telah ditemukan pada paus, babi, dan mamalia lain.
”Skenario bahwa SARS-CoV-2 akan menjadi salah satu dari daftar virus yang terus ada atau endemik dalam populasi manusia memang lebih realistis. Saya berharap itu tidak terjadi, tetapi kita harus bersiap menghadapi kemungkinan itu,” kata David.