Informasi terkait burung pelanduk kalimantan yang hilang selama 170 tahun masih sangat minim. Riset menyeluruh diperlukan agar bisa menentukan strategi jitu dalam pengelolaan spesies ini.
Oleh
Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Referensi ilmiah terkait burung pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata) masih sangat terbatas. Pengkajian lebih mendalam diperlukan untuk meneliti burung yang dinyatakan hilang lebih dari 170 tahun tersebut. Kajian menyeluruh mulai dari perilaku hingga habitat burung ini diperlukan sebagai dasar untuk menentukan strategi dan langkah-langkah perlindungannya.
Menurut data Badan Konservasi Dunia (IUCN), pelanduk kalimantan yang ditemukan saat ini merupakan spesies dengan status kekurangan data (data deficient/DD). Penemuan kembali pelanduk kalimantan sebelumnya terangkum dalam artikel yang diterbitkan oleh lembaga amal konservasi burung yang berbasis di Inggris, Oriental Bird Club, melalui jurnal BirdingASIA pada Kamis (25/2/2021). Dalam artikel tersebut dijelaskan, penemuan burung oleh dua warga lokal ini merupakan dokumentasi pertama setelah hilang selama lebih dari 170 tahun.
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama Balai Taman Nasional Sebangau, Teguh Willy Nugroho, menjelaskan, informasi soal pelanduk kalimantan sangat terbatas dan hanya beberapa literatur yang mendeskripsikan burung tersebut meski tidak secara rinci. Salah satu literatur yang digunakan ialah Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang disusun John MacKinnon, Karen Phillips, dan Bas van Balen.
Indonesia tidak mempunyai koleksi rujukan ilmiah atau spesimen Malacocincla perspicillata sehingga menyulitkan ketika mencocokan identifikasi.
”Buku dari MacKinnon tersebut menyatakan bahwa burung ini penyebarannya endemik di Kalimantan dan statusnya rentan. Namun, kebiasaan dan perilaku tidak diketahui. Bahkan, beberapa pakar menyatakan burung ini sebagai salah satu jenis burung pelanduk alas,” ujar Teguh yang merupakan salah satu penulis artikel tersebut dalam diskusi media secara daring, Selasa (2/3/2021).
MacKinnon dan kawan-kawan juga mendeskripsikan pelanduk kalimantan sebagai burung dengan ukuran kecil sekitar 16 sentimeter dan berwarna coklat dengan burik abu-abu di perut. Burung ini juga memiliki warna iris kuning, paruh hitam, dan kaki merah muda. Morfologi pelanduk kalimantan berbeda dengan pelanduk semak dari sisi ukuran tubuh, bentuk dahi, dan garis alis hitam.
Dalam literatur lainnya, yakni Birds of Indonesian Archipelago Greater Sundas and Wallacea karya James A Eaton dan kawan-kawan, pelanduk kalimantan disebut sebagai salah satu enigma atau teka-teki terbesar dunia ornitologi (ilmu burung) di Indonesia. Menurut literatur tersebut, burung ini juga diperkirakan hidup di pohon karena morfologi tungkai di sekitar Kalimantan Selatan.
Dari sejumlah catatan, data terkait burung pelanduk kalimantan pertama kali dikumpulkan oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner, selama ekspedisinya ke Hindia Timur pada 1840-an. Ahli burung Perancis, Charles Lucien Bonaparte, kemudian mendeskripsikan burung tersebut pada 1850.
Namun, sejak 1850 sampai saat ini tidak ada informasi yang jelas dan lengkap terkait burung pelanduk kalimantan. Bahkan, data sebelumnya menyebutkan bahwa habitat burung tersebut berada di Jawa. Akan tetapi, ahli ornitologi Swiss, Johann Büttikofer, pada 1895 mengidentifikasi habitat burung tersebut berada di Kalimantan yang dikonfirmasi dari lokasi Schwaner saat penemuan spesies itu.
Membutuhkan data
Peneliti ornitologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Haryoko mengatakan, penemuan pelanduk kalimantan membangkitkan optimisme semua pihak untuk terus mengungkapkan dan menjaga kelestarian dari keanekaragaman hayati khususnya burung di Indonesia. Penemuan ini juga menunjukkan peran dari masyarakat sains dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
”Indonesia tidak mempunyai koleksi rujukan ilmiah atau spesimen Malacocincla perspicillata sehingga menyulitkan ketika mencocokkan identifikasi. Tantangan lainnya ialah sifat spesies ini tidak mencolok sehingga kurang teramati. Mungkin bukan juga menjadi spesies yang mendapat perhatian sehingga banyak informasi yang belum terungkap,” tuturnya.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia menyampaikan, beberapa spesies burung pelanduk saat ini juga masih membutuhkan data dan informasi yang lebih rinci. Hal ini bertujuan agar satwa tersebut dapat dimasukkan ke dalam status konservasi dengan proteksi lengkap dan ditingkatkan populasinya.
Penentuan status perlindungan satwa tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pasal 5 menyebutkan, jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila memenuhi kriteria populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan daerah penyebarannya yang terbatas.
”Ini menjadi pekerjaan rumah kita ke depan dengan LIPI dan masyarakat sains lainnya, seperti pemerhati burung, untuk menggali informasi pelanduk kalimantan. Beberapa informasi dapat menjadi rujukan dan kami meminta bantuan LIPI untuk memberikan rekomendasi dalam memasukkan spesies ini menjadi dilindungi,” ujarnya.