Penyebaran hoaks yang membanjiri linimasa media sosial, seperti Twitter, pada umumnya turut menyertakan akun bot. Dengan mengenali karakteristik bot dan hoaks, masyarakat diharapkan tidak terpapar informasi menyesatkan.
Akun bot, pasukan siber, akun palsu. Sejumlah istilah ini semakin naik ke permukaan dalam beberapa tahun terakhir bersamaan semakin derasnya hoaks dan disinformasi membanjiri media sosial Indonesia. Lalu apa itu akun bot?
Pemahaman paling mendasar mengenai bot adalah definisi sederhana yang dipakai oleh Twitter: bot adalah akun yang bertindak secara otomatis.
Bot tidak selalu berkonotasi negatif. Misalnya akun @tinycarebot, melalui cuitannya akan mengingatkan warganet untuk meminum air putih hingga menyarankan untuk melihat kejauhan agar mata tidak lelah melihat layar gawai. Bot customer service perusahaan besar untuk membalas cuitan pelanggan juga diperkenankan pengunaannya.
Meski demikian, penggunaan bot untuk memanipulasi platform, seperti untuk melambungkan tagar tertentu, dilarang keras oleh Twitter. Misalnya, mengirimkan cuitan atau tagar yang sangat mirip secara otomatis melalui sejumlah akun bot.
Tidak mudah dengan pasti menyebut satu akun sebagai bot atau bukan. Botometer API, sebuah algoritma yang dikembangkan oleh para peneliti dari Indiana University, AS, diyakini dapat menentukan seberapa kuat kadar bot dalam sebuah akun.
Untuk menentukan apakah suatu akun dapat dianggap bot atau bukan, Botometer mengekstrak lebih dari seribu parameter dari akun tersebut—dari ratusan cuitan terakhir, mention yang diterima, karakteristik perilaku mencuit, jaringan pertemanan akun, hingga sentimen cuitannya.
Karakteristik ini lalu dibandingkan dengan dataset yang berisi ribuan contoh bot yang menjadi bahan latihan algoritma machine learning Botometer. Botometer lalu akan mengeluarkan skor dalam skala angka 0 hingga 5 terhadap suatu akun Twitter. Angka skor rendah menunjukkan perilaku yang mirip manusia, sedangkan skor tinggi menunjukkan perilaku bot.
Lalu, apakah mustahil bagi manusia untuk menghindari bot di media sosial tanpa bantuan mesin seperti Botometer? Chief Data Scientist Kudu, Irendra Radjawali, menilai, parameter paling dasar yang dapat digunakan oleh warganet untuk mendeteksi bot adalah waktu. Misalnya, sebuah akun yang mencuit di waktu-waktu tertentu secara rutin dan konten cuitannya sama dari waktu ke waktu.
Kecepatan mencuit juga bisa menjadi karakteristik bot yang dapat dideteksi dengan mata telanjang manusia. ”Bisa enggak sih kita mencuit di mana jarak antara cuitan pertama dan kedua itu mungkin hanya 10 detik atau bahkan detik yang sama? Kalo ngetik biasa, kan, tidak mungkin. Artinya sudah di-plan (rencanakan),” kata Irendra.
Irendra menambahkan, penggunaan bot menjadi penting dalam suatu operasi pembentukan narasi di media sosial. Dengan menggunakan bot, distribusi konten—termasuk disinformasi dan hoaks—dapat menjangkau lebih banyak orang dengan waktu yang singkat.
Menghindari hoaks
Bagaimana dengan cara menghindari hoaks? Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, masyarakat perlu selalu skeptis dan menahan diri untuk tidak langsung membagikan ulang ketika mendapati judul maupun isi informasi yang bombastis, memicu rasa takut, maupun emosi kuat lainnya.
Tidak perlu menyebarkan artikel itu ke grup Whatsapp, misalnya, karena justru berpotensi mengamplifikasi penyebaran hoaks jika ternyata informasi yang disebarkan keliru.
Untuk itu, agar dapat terhindar dari hoaks, penting bagi masyarakat untuk mengikuti tokoh yang otoritatif dalam suatu isu. ”Menjadi tugas media massa untuk mengangkat dan memperkenalkan tokoh-tokoh yang dapat memberikan informasi akurat. Masyarakat butuh untuk mengenal siapa yang bisa dipercaya dalam bicara isu (pandemi) ini,” kata Septiaji.