Spesimen Burung Pelanduk Kalimantan Hanya Ada di Belanda
Museum Zoologi di Bogor yang menjadi pusat koleksi spesimen satwa di Indonesia tak memiliki spesimen burung pelanduk kalimantan. Hingga kini, hanya Belanda yang diketahui menyimpan spesimen burung ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan data rinci tentang burung pelanduk kalimantan yang dinyatakan hilang selama lebih dari 170 tahun membuat Badan Konservasi Dunia mengategorikan spesies ini sebagai satwa dengan kekurangan data. Penelitian lanjutan untuk mengetahui populasi serta faktor keterancaman dibutuhkan untuk menjadi basis data ilmiah bagi peningkatan status spesies burung langka ini.
Peneliti ornitologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Malia Prawiradilaga mengemukakan, informasi terkait penemuan burung pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata) oleh dua warga lokal telah diterima LIPI sejak tahun lalu. Peneliti LIPI juga meminta spesimen pelanduk kalimantan dapat dikirim ke LIPI seandainya burung itu mati saat menjalani penangkaran atau observasi.
”Sampai saat ini, Museum Zoologicum Bogoriense yang menjadi depositori penyimpanan koleksi ilmiah fauna Indonesia, khususnya burung, belum memiliki koleksi ilmiah burung endemik atau asli Kalimantan tersebut. Satu-satunya spesimen pelanduk kalimantan hanya ada di musem Naturalis Biodiversity Center, Belanda,” ujarnya di Jakarta, Senin (1/3/2021).
Spesimen pelanduk kalimantan yang ada di Belanda juga menjadi bahan yang digunakan dalam melakukan perbandingan morfologi burung temuan dua warga lokal tersebut. Antara burung temuan warga dan spesimen di Belanda teridentifikasi memiliki kecocokan karena tubuhnya berwarna coklat tua dengan ekor relatif pendek, garis mata hitam yang khas, dan paruh yang kokoh.
Dewi menegaskan, penemuan burung pelanduk kalimantan ini harus ditindaklanjuti dengan sejumlah survei dan penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengetahui populasi, kondisi habitat sekarang, karakter komunitas dan perilaku burung, hingga faktor yang mengancam populasi.
”Banyak hal yang perlu dikaji untuk mengungkap peri kehidupan burung tersebut di alam, termasuk perannya dalam ekosistem. Dari LIPI sendiri belum ada rencana penelitian karena belum ada anggaran. Sejak tahun lalu, semua anggaran kegiatan di Puslit Biologi LIPI fokus digunakan untuk penelitian Covid-19,” tuturnya.
Badan Konservasi Dunia (IUCN) mengategorikan pelanduk kalimantan sebagai satwa dengan kekurangan data (data deficient). Adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui populasi pelanduk kalimantan diharapkan dapat mendorong status baru pada daftar merah spesies terancam punah (IUCN Red List).
Sampai saat ini, Museum Zoologicum Bogoriense yang menjadi depositori penyimpanan koleksi ilmiah fauna Indonesia, khususnya burung, belum memiliki koleksi ilmiah burung endemik atau asli Kalimantan tersebut. (Dewi Malia Suradilaga)
Artikel terkait penemuan burung pelanduk kalimantan cukup menyita perhatian lembaga konservasi dan media luar negeri. Bahkan, aktor Hollywood yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan lingkungan dan konservasi, Leonardo DiCaprio, juga turut mengunggah berita penemuan pelanduk kalimantan di media sosialnya.
Melalui siaran persnya, sejumlah lembaga, seperti Konservasi Satwa Liar Global (Global Wildlife Conservation/GWC), Konservasi Burung Amerika (American Bird Conservancy/ABC), BirdLife International, dan eBird menyatakan akan turut bekerja sama untuk membantu menemukan spesies burung tersebut.
”Secara global ada lebih dari 150 spesies burung yang saat ini hilang tanpa pengamatan yang dikonfirmasi dalam 10 tahun terakhir. Mudah-mudahan, penemuan kembali the black-browed babbler (nama pelanduk kalimantan dalam bahasa Inggris) akan memicu minat untuk menemukan spesies burung lain yang hilang di Asia dan di seluruh dunia,” kata Direktur Penjangkauan Spesies Terancam ABC John C Mittermeier.
Dari sejumlah catatan, data terkait burung pelanduk kalimantan pertama kali dikumpulkan oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl ALM Schwaner, selama ekspedisinya ke Hindia Timur pada 1840-an. Ahli burung Perancis, Charles Lucien Bonaparte, kemudian mendeskripsikan burung tersebut pada 1850.
Meski demikian, sejak 1850 sampai saat ini tidak ada informasi yang jelas dan lengkap terkait burung pelanduk kalimantan. Bahkan, data sebelumnya menyebutkan bahwa habitat burung tersebut berada di Jawa. Akan tetapi, ahli ornitologi Swiss, Johann Büttikofer, pada 1895 mengidentifikasi habitat burung tersebut berada di Kalimantan yang dikonfirmasi dari lokasi Schwaner saat penemuan spesies itu.