Lembaga Pengelola Investasi Diharapkan Mendatangkan Bisnis yang Berkelanjutan
Lembaga Pengelola Investasi diharapkan bisa menyiapkan transisi Indonesia yang menggantungkan ekonomi pada eksploitasi lahan dan sumber daya alam kepada bisnis yang ramah lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi hijau yang menjadi kunci bagi krisis iklim dan diharapkan mencegah kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius bisa dicapai dengan mengoptimalkan peran Lembaga Pengelola Investasi. Pengoptimalan peran ini dapat dilakukan dengan cara menghasilkan berbagai portofolio bisnis yang berkelanjutan dan inklusif.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menyatakan, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini berimplikasi pada sektor investasi yang tidak mempertimbangkan aspek lainnya, seperti lingkungan, karena hakikat UU Cipta Kerja adalah mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat.
”Investasi masih pada sektor-sektor yang merusak lingkungan. LPI juga bisa dipengaruhi oligarki dan kebijakan untuk kepentingannya sendiri,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Bagaimana Peran Lembaga Pengelolaan Investasi untuk Masa Depan yang Berkelanjutan dan Inklusif?”, Senin (1/3/2021).
Jika Indonesia ingin mengikuti gagasan sovereign wealth fund, perlu menyisihkan penerimaan negara setidaknya dari pendapatan sumber daya alam. Kita belum terlambat meski saat ini penerimaan negara dari sumber daya alam semakin kecil. (Faisal Basri)
Menurut Tata, untuk menanggulangi krisis iklim, LPI seharusnya fokus untuk menarik investasi bernilai tambah tinggi dan transisi hijau seperti energi bersih dan terbarukan. Sebab, sejumlah kajian menunjukkan Indonesia memiliki potensi pemanfaatan energi terbarukan yang tinggi. Namun, pada praktiknya potensi tersebut belum dikelola secara optimal dan belum menjadi fokus pemerintah.
Padahal, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia, transisi hijau di tiga sistem sosial ekonomi akan berpeluang menarik investasi 10,11 triliun dollar AS. Selain itu, transisi ini juga akan membuka kesempatan 395 juta lapangan pekerjaan pada tahun 2030.
”Khusus untuk sektor energi, ada tren secara global bahwa bisnis yang menyebabkan krisis iklim dan merusak lingkungan, seperti PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara semakin ditinggalkan. Pada saat bersamaan, ada peluang untuk energi terbarukan dan tren dari LPI yang merepresentasikan Indonesia itu sangat penting,” katanya.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan, hampir semua negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah memiliki sovereign wealth fund (SWF) atau LPI karena SDA itu bersifat terbatas. Negara-negara tersebut mengelola dana untuk menyiapkan transformasi ekonomi setelah SDA menipis atau bahkan habis.
Berdasarkan data dari Sovereign SWF Institute, Norwegia dan China menjadi negara yang telah menyiapkan dana hingga lebih dari 1 triliun dollar AS untuk transformasi ekonomi hijau. Adapun negara lainnya yang juga telah fokus menyiapkan dana hingga 500 miliar dollar AS, di antaranya Hong Kong, Uni Emirat Arab, dan Kuwait.
Meski Indonesia juga memiliki LPI, Fasial memandang proyek investasi saat ini masih jauh dari sifat ramah lingkungan dan berkelanjutan. Contoh investasi itu di antaranya proyek strategis nasional, seperti bendung dan irigasi, jalan tol, kawasan industri atau kawasan ekonomi khusus, kereta api, dan energi. Sebagian besar proyek tersebut dijalankan dengan menggunduli hutan dan prinsip tidak berkelanjutan lainnya.
Selain itu, perencanaan proyek juga tidak terintegrasi dengan perencanaan keuangan bank dunia. Hal ini akan menimbulkan masalah bagi badan usaha milik negara (BUMN) yang ditugaskan mengelola proyek tersebut dan pada akhirnya akan membenani LPI.
”Jika Indonesia ingin mengikuti gagasan sovereign wealth fund, perlu menyisihkan penerimaan negara setidaknya dari pendapatan sumber daya alam. Kita belum terlambat meski saat ini penerimaan negara dari sumber daya alam semakin kecil,” ujarnya.