Ketahanan Masyarakat Adat Perkuat Dorongan Pengesahan RUU
Kehidupan masyarakat adat yang melekat dengan alam teruji mampu menjaga lingkungan secara berkelanjutan. Ini merupakan alasan kuat bagi negara untuk merealisasikan perlindungan bagi mereka.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Cara hidup masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam menjadikan mereka memiliki resistensi ekonomi yang tinggi dan lepas dari berbagai krisis selama pandemi Covid-19. Fakta tingginya ketahanan masyarakat adat ini secara terus menerus disertai dengan data yang valid dapat menjadi kekuatan untuk mendorong mayoritas suara di DPR maupun pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyampaikan, pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat merupakan amanat dari konstitusi yang tertuang dalam Pasal 188 ayat 2 dan Pasal 28i ayat 3. Pasal ini menerangkan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat sebagai perwujudan dari hak asasi manusia.
“Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat adat. Bahkan, justru menimbulkan semakin banyak masalah dari waktu ke waktu,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Urgensi UU Masyarakat Adat dalam Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan”, Kamis (25/2/2021).
Rukka menjelaskan, berbagai jalur yang ada saat ini untuk pengakuan masyarakat adat hanya ada di UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sementara Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012 menyebutkan bahwa masyarakat adat sesuai konstitusi mempunyai hak atas wilayah adatnya termasuk sumber daya di dalamnya.
Meski masyarakat adat sudah diakui sebagai subyek hukum dalam konstitusi, untuk mendapatkan hak atas wilayah adatnya masih harus menempuh proses berbelit-belit. Bahkan, masyarakat adat perlu terlibat dalam proses politik legislasi daerah untuk memastikan haknya diakui dan hal ini membutuhkan banyak biaya, waktu, dan tenaga.
Ketiadaan UU Masyarakat Adat menurut Rukka juga menyebabkan tingginya konflik tenurial di wilayah adat. AMAN mencatat, selama pandemi tahun 2020, terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Di sisi lain, tahun lalu disahkan UU Mineral dan Batubara serta UU Cipta Kerja yang berpotensi kian mengancam kehidupan maupun eksistensi masyarakat adat.
Kita dorong Rancangan UU Masyarakat Adat menjadi pilihan dari politik pembangunan kesejahteraan. (Muhaimin Iskandar)
Padahal, kata Rukka, selama beberapa krisis ekonomi, kampung-kampung adat memiliki resistensi ekonomi yang kuat dan tidak bermasalah. Karenanya, perlindungan masyarakat dapat menjadi investasi yang paling murah dan efektif. Upaya yang paling mendesak dilakukan yaitu dengan mengesahkan UU Masyarakat Adat sesuai dengan aspirasi dan realitas sehingga mampu mengatasi sektoralisme.
Valuasi ekonomi
Berdasarkan kajian dari Pusat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Center) Universitas Padjadjaran, valuasi ekonomi produk sumber daya alam (SDA) dari di enam lanskap masyarakat adat mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Ini bersumber dari pemanfaaatan alam atau komoditas yang beragam, seperti sagu, pisang, sayuran, kelapa, cabai, buah-buahan, umbi-umbian, coklat, dan ternak.
Adapun enam lanskap masyarakat adat yang diteliti yakni komunitas masyarakat adat Karang (Lebak, Banten), Kajang (Bulukumba, Sulawesi Selatan), Kaluppini (Enrekang, Sulsel), Seberuang (Sintang, Kalimantan Barat), Saureinu (Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat), dan Moi Kelim (Sorong, Papua Barat).
Tercatat nilai ekonomi produk SDA dari masyarakat adat Karang mencapai Rp 29,17 miliar per tahun, Kajang Rp 26,12 miliar per tahun, Kallupini Rp 35,28 miliar per tahun, Seberuang Rp 27,14 miliar per tahun, Saureinu Rp 33,54 miliar per tahun, dan Moi Kelim Rp 7,96 miliar per tahun. Selain itu, nilai ekonomi yang besar dari masyarakat adat juga berasal dari jasa lingkungan. Masyarakat adat Moi Kelim memiliki nilai ekonomi terbesar dari jasa lingkungan mencapai Rp 148,43 miliar per tahun.
“Karena banyak sekali aktivitas untuk kedaulatan pangan di kampung-kampung lokal, maka pemerintah perlu terus menguatkan hal ini. Masyarakat adat perlu mendapatkan akses dan transfer teknologi agar produktivitas meningkat,” kata Rukka.
Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar mengatakan, krisis bahkan resesi ekonomi menyadarkan bahwa kontribusi kekuatan riil yang nyata adalah masyarakat adat. Masyarakat adat perlu mendapat tempat yang signifikan dalam pembangunan karena kontribusinya yang nyata.
“Jika kita terus memiliki argumen faktual dan data yang memadai untuk memengaruhi kekuatan mayoritas (fraksi DPR) ini, saya optimistis kita akan segera melahirkan undang-undang dan kebijakan politik nasional,” ungkapnya.
Muhaimin juga menyoroti terkait kebijakan investasi yang ditetapkan Indonesia saat ini. Meski bertujuan meningkatkan ekonomi dan pembangunan, ia memandang masifnya investasi juga berpotensi mengganggu kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam.
“Kita dorong Rancangan UU Masyarakat Adat menjadi pilihan dari politik pembangunan kesejahteraan,” katanya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ibnu Multazam menyatakan, dari hasil rapat kerja di Baleg, masing-masing fraksi mendukung pembahasan RUU Masyarakat Adat dengan pemerintah. Ia pun meminta semua pihak mengawasi dan terus memberikan masukan yang komprehensif agar segera bisa disahkan.
“Memang ada beberapa pasal dalam RUU Masyarakat Adat yang perlu disesuaikan dengan UU Kehutanan, UU Agraria, dan UU Minerba dalam pembahasannya nanti. Kami senantiasa menunggu pengawalan dan masukan dari AMAN karena potensi RUU Masyarakat Adat memang luar biasa kalau kita kelola dan sustainable environment-nya akan sangat terjamin,” tambahnya.