Indeks kualitas lingkungan tahun 2020 mengalami perbaikan. Hal itu dipengaruhi oleh peningkatan mutu udara dan air di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, indeks mutu lahan justru menurun.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski nilai indeks kualitas lingkungan hidup secara nasional tahun 2020 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ada penurunan nilai pada parameter indeks mutu lahan. Karena itu, pemerintah perlu memastikan mutu lahan tak memburuk di tengah banyaknya kebijakan baru yang berpotensi meningkatkan alih fungsi lahan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, nilai indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) nasional tahun 2020 sebesar 70,27 atau meningkat 3,72 poin dibandingkan tahun 2019 dengan nilai 68,71. Perhitungan IKLH nasional 2020 merupakan pembobotan dan penjumlahan dari indeks kualitas air, udara, lahan, dan air laut.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah mengemukakan, IKLH untuk 21 provinsi masuk kategori baik dan amat baik, sementara 13 provinsi lainnya dikategorikan sedang. Peningkatan IKLH 2020 terjadi karena ada perbaikan nilai dari indeks kualitas udara dan air.
Masuknya dua indeks tersebut memengaruhi perubahan pembobotan dalam rumus IKLH 2020. Di sisi lain, ada penambahan komponen indeks baru, yaitu indeks kualitas air laut (IKAL) dan indeks kualitas ekosistem gambut (IKEG).
”Formula penghitungan IKLH 2020 sedikit diubah dengan memasukkan nilai indeks kualitas udara dan air. Hal itu dilandasi pentingnya isu udara dan air dari sisi kesehatan maupun lingkungan serta berdasarkan penilaian 27 ahli melalui metode proses hierarki analisis,” ujarnya dalam peluncuran IKLH 2020 secara daring di Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Menurut perhitungan KLHK, indeks kualitas air (IKA) tahun 2020 adalah 53,53 atau mengalami peningkatan 0,91 poin dibandingkan dengan tahun 2019. Namun, peningkatan nilai IKA ini belum memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 55,1. Itu terjadi karena sumber pencemar dari kegiatan domestik masih dominan sebagai penyebab penurunan mutu air.
Peningkatan juga terjadi pada nilai indeks kualitas udara (IKU), yakni 87,21 atau meningkat 0,65 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Capaian IKU nasional dan semua provinsi memenuhi target RPJMN. Provinsi yang mengalami peningkatan IKU tertinggi, antara lain, Banten, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Riau.
Nilai IKU meningkat karena terjadi penurunan konsentrasi partikel PM 2,5 pada tahun 2020 di semua lokasi sistem pemantau kualitas udara (AQMS). Mutu udara pada 2015-2020 juga cenderung pada kategori baik dan sedang.
”Pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran yang baik bahwa imunitas kita akan terbentuk jika didukung mutu udara yang baik. Jadi, saya yakin pandemi akan mengubah pola hidup masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan. Caranya dengan sama-sama menggunakan kendaraan dengan bahan bakar yang ramah lingkungan atau transportasi massal,” kata Karliansyah.
Kualitas lahan
Berbeda dengan nilai IKA dan IKU yang meningkat, nilai indeks kualitas lahan (IKL) 2020 justru turun dibandingkan dengan tahun 2019. IKL terdiri atas nilai indeks kualitas tutupan lahan (IKTL) dan IKEG. Nilai IKTL 2020 adalah 60,74 atau turun 1,26 poin dan disebabkan penurunan tutupan belukar menjadi hutan lahan kering sekunder serta hutan tanaman menjadi perkebunan ataupun pertanian lahan kering.
Pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran yang baik bahwa imunitas kita akan terbentuk jika didukung mutu udara yang baik.
Sementara untuk IKAL yang merupakan parameter baru, tahun ini tercatat nilainya 68,94 poin dan telah memenuhi target yang ditetapkan, yaitu 58,5. Pemantauan kualitas air laut untuk mendapatkan nila8i IKAL dilakukan di 801 titik yang tersebar di 34 provinsi dengan lokasi yang mewakili aktivitas di daerah pesisir.
Terkait upaya menjaga dan meningkatkan nilai IKL, Karliansyah menyatakan saat ini KLHK mendapat tugas untuk inventarisasi kesatuan hidrologis gambut di Papua, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Hal ini dilakukan guna memetakan lokasi mana saja dengan peruntukan lindung dan budidaya sehingga alih fungsi lahan bisa ditekan.
Saat dihubungi secara terpisah, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan, IKLT yang menggabungkan hutan tanaman dengan hutan alam mengaburkan luas dan proporsi hutan alam yang riil terhadap daerah aliran sungai (DAS). IKL memakai pendekatan wilayah administratif yang tidak merepresentasikan daya dukung lingkungan terkait tutupan hutan dalam kawasan berbasis bioregional atau pulau.
”Terkait perlindungan hutan alam dan gambut, seharusnya pemerintah melihat persoalan ini secara faktual. Caranya dengan menyasar angka luas hutan yang terdeforestasi dan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan secara perhitungan akumulatif atau tahunan. Ini bisa menjadi indikator untuk menghentikan kebijakan yang melegalisasi dan mempercepat deforestasi maupun degradasi gambut,” tuturnya.
Sementara wilayah yang masih memiliki tutupan hutan seperti Papua dan Papua Barat serta Kalimantan Utara kini masih terancam dengan pemberian izin sehingga akan meningkatkan angka deforestasi. Pembukaan lahan-lahan baru ini tidak menjadi perhatian karena pemerintah mengecualikan izin konsesi berbasis lahan sebagai faktor ancaman deforestasi.