Pemerintah Didesak Kaji Ulang Program Lumbung Pangan
Proyek lumbung pangan atau "food estate" dinilai terlalu dipaksakan dan memiliki risiko tinggi yang bisa berdampak luas. Pemerintah diminta mendengarkan masukan dari masyarakat terkait proyek ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah dinilai tidak tepat sasaran dilakukan pada masa pandemi Covid-19. Pemerintah perlu meninjau ulang proyek tersebut sekaligus merestorasi kawasan hutan alam dan gambut yang sudah terdampak di Kalteng.
Kajian yang telah dilakukan Pantau Gambut, Walhi Kalteng, dan Yayasan Madani Berkelanjutan menyebut, proyek lumbung pangan tidak tepat sasaran karena tiga alasan. Pertama, kebijakan proyek lumbung pangan terburu-buru dan bukan jawaban jangka pendek yang ideal untuk menjawab masalah krisis pangan.
Kedua, kebijakan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai Pasal 10 Undang-Undang 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Padahal, suatu kebijakan yang baik sudah sepatutnya mendengarkan pendapat dari masyarakat sesuai Pasal 7 ayat 2 UU 30/2014 tersebut.
Alasan terakhir, proyek lumbung pangan juga mendapat banyak kemudahan dengan statusnya sebagai salah satu Program Strategis Nasional dan lintas kementerian/lembaga. Bahkan, proyek ini juga mendapat dukungan serta peran aktif TNI dan Polri. Beberapa sarana regulasi yang dibuat untuk memastikan kemudahan proyek tersebut berjalan salah satunya percepatan dalam perizinan usaha yang berisiko tinggi.
Berangkat dari tiga alasan tersebut, Pantau Gambut, Walhi Kalteng, dan Yayasan Madani Berkelanjutan menyatakan bahwa kebijakan lumbung pangan tidak tepat sasaran sehingga harus ditinjau ulang oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk merestorasi kawasan hutan alam dan gambut yang sudah terdampak di Kalteng di samping memberikan penghidupan yang layak bagi para petani di lokasi.
Peneliti Pantau Gambut Clorinda Wibowo menyampaikan, kebijakan lumbung pangan perlu dikaji ulang karena saat ini pengembangan proyek ini tidak memiliki rencana yang matang. Bahkan, sampai saat ini publik hanya mengetahui lumbung pangan akan dilakukan di lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar di Kalteng titik atau lokasi persis proyek tersebut dijalankan.
“Lokasi lumbung pangan yang akan dilakukan di lahan eks-PLG memiliki fungsi ekosistem gambut lindung. Hal ini membuat lahan tersebut tidak seharusnya dibuka karena memiliki fungsi penting dalam pengaturan tata air dan mencegah terjadinya kebakaran gambut,” ujarnya dalam peluncuran kajian dan situs interaktif secara daring, Selasa (23/2/2021).
Data Global Food Security Inde (GFSI) menunjukkan bahwa nilai indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2019 membaik dari tahun sebelumnya dan mengalami kenaikan peringkat dari 65 ke 62.
Clorinda menjelaskan, mengubah fungsi lahan gambut menjadi pertanian memerlukan pembuatan drainase dan kanal untuk mengalirkan air dalam gambut. Selain memerlukan biaya yang sangat besar, hal ini akan membuat gambut menjadi kering dan rawan terbakar. Ketika dikeringkan, gambut juga rentam mengekspos sedimen pirit yang membuat tanah tercemar.
“Dengan adanya keterbatasan biofisik tersebut, banyak sekali kasus yang menyimpulkan bahwa hasil panen padi di lahan gambut jauh lebih rendah dibandingkan lahan mineral. Hal ini karena unsur hara makro mikro lebih rendah, tingkat keasaman di gambut tinggi, dan penggunaan teknologi tani di atas gambut yang masih minim,” katanya.
Salah satu alasan yang mendasari pemerintah menjalankan proyek lumbung pangan adalah untuk mencegah krisis pangan saat pandemi. Namun, menurut Clorinda, data Global Food Security Inde (GFSI) menunjukkan bahwa nilai indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2019 membaik dari tahun sebelumnya dan mengalami kenaikan peringkat dari 65 ke 62.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Hartono mengatakan, sejak awal Kalteng telah memang telah menjadi lokasi lumbung pangan saat rapat terbatas membahas proyek ini pada April 2020 lalu. Namun, dalam prosesnya, proyek ini tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat keputusan.
“Proyek ini sudah dijalankan sejak April 2020 tetapi belum ada dasar hukum yang jelas. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 24/2020 tentang Food Estate di kawasan hutan keluar pada November 2020, sedangkan proses pembukaan lahan sudah berjalan terlebih dahulu. Jadi ada pembukaan lahan tanpa izin,” ungkapnya.