Ratusan Jiwa Korban Gempa di Mamuju, Nol di Tohoku
Korban jiwa seharusnya bisa dihindari atau paling tidak diminimalkan saat terjadi gempa bumi. Dari peristiwa gempa bumi di Sulawesi Barat dan Sendai, Jepang, kemarin, kita bisa memetik pelajarannya.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Sebanyak 105 orang meninggal karena gempa M 6,1 di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, bulan lalu, sedangkan gempa M 7,3 di Sendai, Jepang, pekan lalu tanpa korban jiwa. Dampak gempa bumi memang bukan hanya ditentukan seberapa kuat guncangannya, melainkan bagaimana mitigasinya, terutama seberapa kuat bangunan kita.
Kurang dari sebulan sebelum peringatan sepuluh tahun gempa dan tsunami 11 Maret 2011 yang pernah melanda wilayah Tohoku, gempa berkekuatan M 7,3 mengguncang wilayah ini kembali pada 14 Februari 2021 sekitar pukul 23.07 waktu setempat. Gempa yang bersumber di bawah laut di kedalaman sekitar 54 kilometer itu mengguncang kuat, tetapi kali ini tidak terjadi tsunami.
Stasiun televisi Jepang, NHK, melaporkan, sebanyak 150 orang mengalami luka-luka akibat gempa di Tohoku dan tak ada korban jiwa. Sekalipun terdapat sejumlah infrastruktur yang rusak, tak ada bangunan yang sampai roboh.
Padahal, efek guncangan gempa ini, menurut Pemerintah Jepang, diperkirakan sebesar 1.432 gal (gravitational acceleration). Sementara menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), guncangan gempa M 6,2 di Majene, Jumat (15/1/2021), maksimum 150 gal di permukaan dengan spektrum respons maksimum di periode pendek 300 gal.
Ini berarti beban yang harus ditanggung bangunan di Tohoku saat gempa terakhir jauh lebih besar dibandingkan yang ditanggung bangunan di Majene. Namun, seperti kita ketahui, gempa di Sulawesi Barat ini merobohkan banyak rumah, selain sejumlah bangunan publik, seperti kantor Gubernur Sulawesi Barat, rumah sakit, hingga hotel.
Banyaknya bangunan roboh di Majene dan Mamuju, serta sebaliknya tidak ada kerusakan bangunan yang signifikan di Tohoku pascagempa ini menjadi bukti nyata bahwa risiko bencana bersifat relatif. Ancaman bahaya yang sama bisa menimbulkan dampak yang berbeda jika mitigasi yang dilakukan berbeda.
Belajar dari bencana
”Satu hal penting yang saya pelajari selama tinggal di Jepang. Negara ini selalu belajar dari setiap kejadian bencana. Untuk penguatan bangunan, terutama setelah gempa Kobe 1995, Jepang memperbarui standar bangunan tahan gempa dan mereka konsisten menerapkannya,” kata Bambang Rudiyanto, warga Indonesia yang 33 tahun tinggal di Jepang.
Bambang, yang merupakan guru besar di Wako University, Tokyo, ini mengatakan, setiap banguan baru yang dibangun setelah gempa Kobe pasti sudah memperhitungkan standar bangunan tahan gempa. ”Kalau beli rumah di Jepang akan dapat jaminan dari kontraktornya akan tahan gempa selama minimal 30 tahun,” katanya.
Gempa berkekuatan M 7,2 yang melanda Kobe pada Selasa, 17 Januari 1995 dini hari, menjadi titik balik Jepang dalam mitigasi bangunan tahan gempa. Gempa bersumber di darat itu merupakan yang terkuat terjadi di Jepang modern dan memukul kawasan padat penduduk. Sekitar 100.000 rumah dan bangunan hancur total serta 140.000 rumah rusak. Sebanyak 6.434 orang tewas dan 40.000 orang terluka.
Setiap gempa selalu terjadi rakyat meninggal, padahal kita tahu sumber masalahnya. Bangunan kita roboh karena tidak tahan gempa.
Setelah gempa Kobe itu, pada Oktober 1995 Jepang merevisi Undang-Undang Rehabilitasi Seismik untuk Bangunan dan pemerintah mulai aktif mempromosikan penguatan rumah tua terhadap gempa. ”Biasanya pemerintah daerah akan memberi bantuan keuangan bagi warga yang akan menguatkan rumah mereka agar tahan gempa. Bisa sampai 50 persen dari biaya yang dibutuhkan,” katanya.
Bambang mengatakan, sebelum gempa 1995, bangunan di Kobe ataupun di kota-kota modern lain di Jepang kebanyakan dari batu bata, selain kayu tua. Setelah gempa, tak ada lagi yang memakai batu bata.
Untuk bangunan rumah hingga tiga lantai, rata-rata memakai kayu. Sementara bangunan tinggi memakai struktur baja dan beton dengan fondasi diberi peredam atau konstruksi silang agar tahan gempa. Batu bata yang dianggap mudah lepas saat gempa telah dilarang untuk dipakai.
Tak hanya perubahan fisik, Jepang juga mengubah strategi mitigasi bencana. Mereka sadar betul bahwa ancaman gempa merupakan siklus berulang yang harus dimitigasi melalui penguatan bangunan, tetapi juga dengan meningkatkan kapasitas warga tentang bencana.
Pada 1997, mereka menerbitkan Basic Disaster Prevention Plan, meliputi strategi pengurangan bencana, tanggap darurat, pemberian bantuan, dan rekonstruksi. Tak hanya itu, riset tentang bencana khususnya gempa bumi dan tsunami digalakkan, terutama survei terhadap 98 patahan aktif di Jepang. Sebanyak 3.000 seismoter baru dipasang di 1.800 lokasi.
Tidak belajar
Sama seperti Jepang, Indonesia sebenarnya menghadapi ancaman gempa yang bakal terus berulang. Namun, gempa demi gempa yang melanda seolah tidak membawa perubahan berarti.
”Setiap gempa selalu terjadi rakyat meninggal, padahal kita tahu sumber masalahnya. Bangunan kita roboh karena tidak tahan gempa,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto, Indonesia gagal belajar dari setiap kejadian bencana, terutama dalam hal mitigasi dan pencegahan dampak bencana. ”Padahal, penelitian Parwanto (2013), frekuensi gempa merusak di Indonesia dari 1900-2012 rata-rata setiap 5-6 bulan sekali,” katanya.
Dia mencontohkan, sekalipun sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bangunan tahan gempa, implementasinya hanya diberlakukan untuk bangunan tinggi. ”Misalnya, di Jakarta saja hanya bangunan di atas delapan lantai yang dipantau keamanan kontruksinya. Padahal, risiko lebih besar pada bangunan rakyat yang umumnya dibangun sendiri atau oleh tukang,” kata Eko.
Data Badan Pusat Statistik 2010, ada 30,2 juta rumah di kota dan 30,8 juta rumah di perdesaan. Dari jumlah itu, menurut penelitian ahli konstruksi bangunan rumah rakyat, Teddy Boen, 81 persen rumah di perkotaan berada di zona gempa kuat. Adapun rumah di peedesaan pada zona gempa kuat sekitar 85 persen.
Eko mengatakan, kualitas rumah rakyat rata-rata belum dibangun memperhitungkan bahaya gempa. ”Sementara kampanyenya hanya mari bikin rumah tahan gempa atau ajakan memperkuat bangunan. Beberapa kali saya diminta membantu pelatihan untuk tukang dan mandor mengenai pentingnya bangunan tahan gempa, tetapi itu berhenti di proyek, tidak dilakukan secara sistematis,” kata Eko.
Untuk memperkuat bangunan rakyat, menurut Eko, harus diiringi dengan insentif, khususnya bagi masyarakat kurang mampu dan edukasi untuk masyarakat yang mampu. ”Ini harusnya sudah bisa berjalan. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang diperkuat dengan Permendagri No 101/2018, penanggulangan bencana itu sudah menjadi urusan wajib bagi tiap daerah,” katanya.
Untuk tukang bangunan juga perlu mendapatkan sertifikasi mengenai bangunan tahan gempa. Sementara untuk bangunan baru harusnya bisa diintegrasikan melalui pemberian IMB (izin mendirikan bangunan).
Tanpa ada perubahan dalam perspektif, kebijakan, ataupun implementasinya, gempa yang terus berulang di Indonesia akan selalu dapat menelan korban jiwa. Gempa seharusnya tidak pernah mematikan, tetapi bangunan kita yang abai prinsip tahan gempa yang selalu menimbulkan korban.