Jagat Digital yang Kian Menjerat Primata
Jerat di belantara membawa primata kepada jerat jagat digital yang kian membuatnya terpuruk. Praktik buruk memelihara satwa liar ini kian populer oleh pengaruh gaya hidup dan perilaku, termasuk influencer.
Jerat yang merenggut kesejahteraan satwa liar khususnya primata tidak hanya ada di dunia nyata, tetapi kini telah merambat ke jagat digital. Demi eksistensi serta kepuasan diri, manusia di era milenial menjadikan teknologi dan media sosial sebagai wadah untuk mengeksploitasi satwa liar.
Tidak susah menemukan akun pemelihara satwa liar di media sosial khususnya instagram dan YouTube. Tidak sedikit dari mereka yang merupakan pemengaruh (influencer), aktris, pejabat, hingga figur atau tokoh yang sudah dikenal publik secara luas. Mayoritas dari mereka juga menahbiskan diri sebagai pecinta dan pengoleksi satwa liar.
Memelihara satwa liar seolah sudah menjadi hal yang umum dan wajar di mata masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kian maraknya konten video pemeliharaan satwa liar oleh para influencer di media sosial dengan pengikut ratusan ribu hingga jutaan orang.
Memamerkan hewan peliharaan ke media sosial juga merupakan salah satu sifat alami manusia yang hidup dalam kelompok. Media sosial dibutuhkan untuk self-esteem (penghargaan diri) dan social proof (pembuktian sosial).
Salah satu satwa liar yang kerap dipelihara adalah primata khususnya monyet ekor panjang. Berdasarkan temuan Yayasan Penyelamatan Satwa Internasional (IAR) Indonesia, data yang dikumpulkan dengan kata kunci ‘monyet’ pada mesin pencari Google dan YouTube dalam rentang 2018-2020 menunjukan peningkatan jumlah konten maupun akun saluran (channel) yang signifikan. Angka pertumbuhan konten maupun saluran tersebut mencapai 100 persen setiap tahunnya.
Sepanjang 2020 di YouTube, terdapat 334 video monyet ekor panjang telah diunggah oleh 204 saluran. Temuan ini meningkat lebih dari 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar 180 unggahan video. Peningkatan jumlah unggahan konten dimulai pada Februari 2020 dan peningkatan paling signifikan terjadi pada Oktober 2020.
IAR mengumpulkan konten video tersebut ke dalam dua kategori utama yaitu video yang mencitrakan monyet dengan kehidupan liar dan video yang mencitrakan monyet dalam penanganan manusia. Dari kedua kategori tersebut, IAR menempatkan kembali konten-konten video berdasarkan sub kategori seperti dokumenter, berita, kebun binatang, peliharaan, perdagangan, penyelamatan hingga topeng monyet.
Hasil dari pembagian kategori konten tersebut, konten monyet sebagai peliharaan jauh mendominasi dibandingkan konten yang bersifat positif dan mendukung upaya konservasi. Kategori monyet sebagai peliharaan dilihat dari bagaimana interaksi antara manusia dan monyet yang ada di dalam video.
Baca juga: Konten Pemeliharaan Monyet Meningkat Selama Pandemi
Selain konten video, IAR juga menemukan peningkatan iklan penawaran monyet ekor panjang berdasarkan pemantauan di grup jual beli Facebook. Sepanjang 2020, jumlah iklan yang menawarkan monyet ekor panjang dan beruk mencapai 3.800 postingan. Sedangkan iklan yang berminat atau mencari monyet mencapai 1.000 postingan.
Manajer Kampanye IAR Indonesia Ismail Agung beberapa waktu lalu menyampaikan, dilihat dari sudut pandang kesejahteraan satwa, konten pemeliharaan sebenarnya merupakan bentuk penyiksaan. Sebab, memelihara sama dengan membatasi satwa untuk mengekspresikan diri di habitat aslinya. Bahkan, 93 persen monyet yang dipelihara adalah bayi yang sebenarnya mereka masih membutuhkan induknya.
Agung menilai, meningkatnya konten video ini salah satunya terjadi akibat influencer yang kerap membagikan konten monyet peliharaannya di media sosial. Semua kegiatan yang dilakukan influencer ini memengaruhi persepsi publik bahwa monyet merupakan objek peliharaan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan banyak publik yang pada akhirnya ikut memelihara monyet karena terpengaruh oleh influencer.
Koordinator Perlindungan Satwa Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Merry F Wain menyatakan, menjadikan primata sebagai hewan peliharaan merupakan praktik kejam yang dapat mengancam kehidupan satwa tersebut. Sebab, bayi primata yang diburu berpotensi mengalami kematian yang cukup tinggi dalam perjalanan dari habitat aslinya menuju tempat pembeli.
Baca juga: Satwa Liar Bukan Hewan Peliharaan
Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, primata juga membutuhkan nutrisi untuk bertahan hidup yang sesuai dengan kebutuhannya. Primata tidak selalu memakan buah-buahan, tetapi juga perlu nutrisi lain berupa serat atau protein. Hal inilah yang kerap diabaikan oleh para pemelihara satwa liar sehingga berpotensi mengancam kesehatan dan kehidupan primata.
Aspek psikologi
Psikolog sosial Puspita Insan Kamil menuturkan, pemeliharaan primata disebabkan karena adanya konsep antropomorfisme atau atribusi karakteristik dan sifat manusia ke makhluk bukan manusia seperti binatang. Manusia juga cenderung melihat mamalia khususnya primata memiliki kecerdasan yang sama sehingga muncul tindakan untuk memberikan nama terhadap hewan tersebut.
Menurut Puspita, terdapat dua alasan manusia memiliki binatang peliharaan yakni untuk kesenangan atau teman. Dari sisi kesenangan, manusia menggunakan satwa sebagai status ataupun secara fungsional. Hal ini membuat banyak orang yang memelihara binatang untuk meningkatkan status sosialnya di mata masyarakat. Binatang eksotik dan dengan harga yang mahal cenderung memperlihatkan kemampuan individual.
Memamerkan hewan peliharaan ke media sosial juga merupakan salah satu sifat alami manusia yang hidup dalam kelompok. Media sosial dibutuhkan untuk self-esteem (penghargaan diri) dan social proof (pembuktian sosial). Di sisi lain, meningkatnya konten pemeliharaan monyet selama pandemi dijadikan sebagai media komunikasi karena masyarakat sulit bertemu tatap muka dengan teman-temannya.
Agar masyarakat tidak menganggap primata sebagai hewan peliharaan, Puspita menilai penting untuk tidak menunjukkan kedekatan emosi terhadap satwa liar tersebut. Sebab, hal ini akan memberikan perspektif kepada manusia lain untuk memperlakukan hal yang sama.
Baca juga: Minat Memelihara Naik Selama Pandemi, Kukang Makin Terancam
Selain itu, dalam memberikan edukasi, tambah Puspita, perlu juga mengedepankan komunikasi yang baik agar dapat memahami motivasi, asumsi, hingga emosi para pemelihara satwa liar sehingga bisa memberikan pesan terhadap mereka.
Menguntungkan pemburu
Maraknya konten pemeliharaan monyet ini menurut Agung juga akan menguntungkan pemburu dan pedagang satwa liar ilegal. Masyarakat akan terdorong untuk mencari dan membeli monyet untuk dijadikan hewan peliharaan. Meningkatnya permintaan terhadap monyet akan mendorong pemburu untuk mengambil lebih banyak satwa liar dari alam. Pedagang akan menyediakan stok monyet di kandang-kandang sempit dan kotor agar calon pemelihara merasa iba dan membawanya pulang.
“Di tengah statusnya yang tidak dilindungi, alasan itu kerap disalahartikan sebagai izin untuk mengeksploitasi baik dalam bentuk jual beli dan pemeliharaan. Kenyataan pahit ini juga menjadi ancaman dan eksploitasi bagi kehidupan monyet ekor panjang di alam,” ungkapnya.
Guna mengurangi praktik pemeliharaan satwa liar ini, Agung mendorong agar status monyet ekor panjang dan semua primata lainnya dapat diubah menjadi dilindungi. Jika hal tersebut sulit dilakukan, dalam waktu dekat pemerintah perlu membuat regulasi untuk mengatur dan memantau perdagangan monyet.
Baca juga: Interaksi Manusia dan Satwa Liar Picu Penyakit Menular
“Terkait media sosial, pemerintah harus mendorong penyedia platform untuk memblokir konten-konten tersebut. Hingga saat ini, Youtube menyediakan pelaporan untuk konten animal abuse tapi hanya melalui browser komputer. Sedangkan dari aplikasi ponsel, pelaporan tersebut tidak ada,” katanya.
Penyeimbang kawasan
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nunu Anugrah menyatakan, dalam legislasi nasional terkait kriteria status perlindungan, monyet ekor panjang merupakan salah satu jenis satwa liar yang tidak dilindungi. Badan Konservasi Dunia (IUCN) juga menempatkan monyet ekor panjang ke dalam kategori risiko rendah (least concern) dan dalam CITES termasuk Apendiks II atau daftar spesies yang tidak terancam kepunahan.
Meski demikian, monyet ekor panjang juga dapat terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Pemanfaatan monyet ekor panjang di Indonesia juga diatur oleh peraturan perundangan karena satwa tersebut berperan sebagai penyeimbang dan perintis pada kawasan terbuka serta membantu proses regenerasi vegetasi hutan.
Pada kawasan terganggu, monyet ekor panjang berkembang biak dengan cepat dibanding kawasan hutan primer. Hal ini disebabkan karena tingkat kompetisi dengan spesies primata lain yang lebih tinggi pada hutan primer. Oleh sebab itu, populasi monyet ekor panjang lebih tinggi pada hutan sekunder dan kawasan terganggu dibanding hutan primer.
Terkait dengan maraknya konten video pemeliharaan satwa liar di media sosial, kata Nunu, KLHK telah mencoba berkomunikasi dengan para influencer dan pengonten YouTube (YouTuber) yang mengunggah video tersebut. KLHK juga sudah melakukan teguran dan penindakan terhadap masyarakat yang melakukan publikasi hingga penyebar konten video dengan satwa liar khususnya yang dilindungi.
Menurut Nunu, influencer dan youtuber tersebut diminta untuk memberikan edukasi yang lebih baik kepada masyarakat terkait dengan konservasi tumbuhan dan satwa liar. Sementara pihak YouTube sebagai penyedia platform video juga diminta untuk memblokir konten-konten yang tidak etis melalui menu lapor dan tutup.
Baca juga: Kenali 37 Spesies Primata Asli Nusantara yang Dilindungi
“Terhadap bentuk kejahatan tumbuhan dan satwa liar dilindungi khususnya perdagangan illegal, KLHK memiliki Tim Siber Patrol yang sudah berjalan tiga tahun. Tim ini setiap hari melakukan pemantauan, dan kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan operasi. Setiap periodik berkoordinasi dan meminta kepada Kementerian Kominfo untuk menutup Akun dan atau unggahan media sosial,” ujarnya.
Sementara untuk menghentikan perburuan dan perdagangan satwa liar ilegal, KLHK melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) serta UPT Penegakan Hukum terus melakukan upaya pencegahan. Hal ini dilakukan dengan kegiatan patroli intensif kawasan, operasi sapu jerat di habitat satwa, penertiban senapan angin, memperkuat pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) hingga penertiban peredaran TSL antar wilayah.