Meski jumlah kasus Covid-19 secara global menurun, dunia berkejaran terhadap munculnya varian baru SARS-CoV-2 pemicu penyakit tersebut. Semakin tak terkendali dan meluasnya kasus, peluang terjadi mutasi baru meningkat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia dituntut mempercepat pengendalian wabah Covid-19 menyusul ancaman mutasi baru SARS-CoV-2 yang semakin mengkhawatirkan. Selain lebih menular, mutasi baru SARS-CoV-2 dari Inggris B.1.1.7 meningkatkan risiko rawat inap dan kematian.
Harapan pada pengendalian Covid-19 terlihat dengan penurunan kasus dan tingkat kematian secara global. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga Minggu (14/2), Covid-19 telah menginfeksi 108.006.680 orang dan menewaskan 2.378.115 orang. Penambahan kasus harian 168.426 orang dan korban jiwa 4.717 orang.
Dengan data ini, jumlah infeksi dan kematian yang dilaporkan secara global menurun selama empat minggu berturut-turut. Penyusutan jumlah kasus global dalam sepekan 14,9 persen dibandingkan dengan minggu sebelumnya, sedangkan kematian dalam sepekan berkurang 8,7 persen dibandingkan dengan minggu sebelumnya.
Epidemiolog kolaborator LaporCovid19 Iqbal Elyazar mengatakan, penurunan kasus dan kematian di tingkat global ini terutama disumbangkan oleh Amerika Serikat. ”Penambahan kasus di AS sudah di bawah 100.000 orang per hari,” katanya.
Padahal, saat mencapai puncak pada 12 Januari 2021 lalu, penambahan kasus harian di AS bisa mencapai 240.000 orang. ”Penurunan kasus di AS ini disumbangkan oleh skala tes dan lacak serta vaksin. Positivity rate (rasio kasus positif) mereka juga turun tajam,” katanya.
Selain AS, penurunan kasus juga disumbangkan India, yang secara akumulatif memiliki jumlah kasus terbanyak kedua di dunia. Penambahan kasus harian di India saat ini sekitar 12.000 kasus, jauh berkurang dibandingkan dengan rekor tertinggi yang mencapai 93.000 kasus pad 16 September 2020.
Namun, data WHO juga menunjukkan, Brasil yang menjadi negara dengan kasus akumulatif terbanyak ketiga di dunia masih mengalami peningkatan dengan penambahan kasus harian 45.000 dan kematian di atas 1.000 korban jiwa.
Sementara itu, laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus harian di Indonesia sebanyak 6.765 orang sehingga akumulasi kasus terkonfirmasi sebanyak 1.217.468 orang. Sementara korban jiwa bertambah 247 orang sehingga secara akumulatif mencapai 33.183 orang.
Iqbal mengatakan, penurunan kasus harian di Indonesia masih sulit dibaca sebagai tanda adanya penurunan tingkat penularan di komunitas. Sebab, menurunnya penambahan kasus baru terjadi seiring penurunan jumlah pemeriksaan yang dilakukan, yaitu hanya 24.250 orang yang diperiksa. Sebanyak 9.497 orang yang diperiksa atau sekitar 39 persen berada di Jakarta, yang menunjukkan sangat kecilnya jumlah tes di daerah lain.
Padahal, jumlah suspek secara nasional mencapai 86.456 orang. Dengan jumlah pemeriksaan ini, rasio tes positif di Indonesia 27,5 persen, masih lebih tinggi dari rasio tes positif dalam sepekan sebesar 25,9 persen.
”Tingginya positivity rate ini karena masih terbatasnya jumlah dan cakupan tes. Yang diperiksa rata-rata yang bergejala sehingga peluang positifnya tinggi. Ini berarti instruksi peningkatan tes dan lacak belum berjalan,” kata Iqbal.
Dia mengingatkan, pengendalian pandemi tidak bisa disandarkan pada strategi vaksinasi. ”Efektivitas vaksin harus dibantu dengan menekan penularan antarorang karena ada jeda antibodi, angka vaksinasi yang masih rendah dan tidak bersamaan sehingga potensi reinfeksi,” tuturnya.
Data Kementerian Kesehatan RI mencatat, hingga saat ini vaksin Covid-19 tahap pertama telah disuntikkan kepada 1.068.747 orang atau ada penambahan 8.421 orang dalam sehari. Sementara vaksin tahap kedua telah diberikan kepada 425.578 orang atau ada penambahan 10.092 orang.
Ancaman varian baru
Sebagaimana dilaporkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, pekan lalu, mereka saat ini berupaya mempercepat pengendalian pandemi, di antaranya untuk mengantisipasi munculnya varian baru, seperti B.1.1.7. Selain mempercepat vaksinasi, AS juga menerapkan pengetatan memakai masker, menjaga jarak, menghindari keramaian dan ruang berventilasi buruk, serta sering mencuci tangan.
Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pertemuan pers pekan lalu mengatakan, penurunan kasus global disebabkan negara-negara yang menerapkan langkah kesehatan masyarakat dengan lebih ketat. ”Sekarang bukan waktunya bagi negara mana pun untuk melonggarkan tindakan atau bagi setiap individu untuk lengah. Setiap nyawa yang hilang sekarang menjadi lebih tragis karena vaksin mulai diluncurkan,” tuturnya.
Sekarang bukan waktunya bagi negara mana pun untuk melonggarkan tindakan atau bagi setiap individu untuk lengah.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengatakan, kita saat ini berkejaran dengan kemunculan varian baru SARS-CoV-2. Semakin tak terkendali dan meluas kasusnya, peluang terjadi mutasi baru juga meningkat.
”Khusus untuk varian baru baik B.1.1.7, N501Y.V2 dan P1 memang harus diwaspadai jika sampai masuk ke Indonesia karena bukti-bukti ilmiah terus bertambah mengenai kemampuan varian-varian baru tersebut baik terhadap penularan, kegawatan, hingga efektivitas vaksin,” kata Riza.
Laporan yang dikeluarkan Pemerintah Inggris pada 12 Februari 2021 berdasarkan kajian sejumlah ilmuwan mereka menunjukkan data baru bahwa varian B.1.1.7 meningkatkan risiko rawat inap dan kematian dibandingkan dengan varian pendahulunya.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi varian tersebut memiliki viral load lebih tinggi, suatu fitur yang tidak hanya membuat virus lebih menular, tetapi juga berpotensi merusak keefektifan pengobatan tertentu.
Temuan baru ini mengungkap bahaya negara-negara yang melonggarkan pembatasan saat varian mulai berlaku mengingat varian ini telah menyebar ke setidaknya 82 negara, termasuk di sejumlah negara ASEAN. Saat ini varian baru ini belum ditemukan di Indonesia, tetapi menurut Riza, hal ini bisa terjadi karena keterbatasan surveilans genonim di Indonesia.
”Prioritas utama saat ini harusnya mengejar target tes dan lacak guna menurunkan positivity rate. Jika ini gagal dilakukan, perjalanan pandemi di Indonesia masih akan panjang,” kata Riza.