Daur Ulang Sampah Medis Plastik dengan Rekristalisasi
Teknologi daur ulang sampah medis berbahan plastik dengan metode rekristalisasi tengah dikembangkan. Metode itu dinilai mudah dan tidak membutuhkan energi tinggi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Sampah medis semakin menjadi persoalan selama masa pandemi Covid-19. Selain berdampak pada kebersihan lingkungan, sampah medis berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat karena termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun.
Sejumlah laporan menyebutkan, limbah medis yang terkumpul tak terkendali. Di Jakarta, misalnya, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 berupa masker sekali pakai selama masa pandemi terkumpul sampai 12.785 ton (Kompas, 29 Januari 2021).
Rinciannya, total limbah masker sekali pakai yang terkumpul sejak 27 April 2020 sampai 17 Januari 2021 di fasilitas layanan kesehatan sekitar 6,3 juta kilogram (kg), rumah sakit penanganan Covid-19 sebanyak 5,2 juta kg, di rumah sakit yang tidak melayani pasien Covid-19 sebanyak 1,2 juta kg, dan di rumah tangga sebanyak 1.538 kg.
Untuk limbah medis yang berasal dari rumah sakit, baik rumah sakit yang menangani Covid-19 maupun rumah sakit non-Covid-19 biasanya memiliki prosedur khusus pengelolaan limbah medis. Namun, limbah dari rumah tangga kini menjadi masalah yang belum bisa diselesaikan. Kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah dengan baik masih minim sehingga tidak sedikit yang mencemari lingkungan, seperti sungai.
Dari hasil kajian peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)bersama dengan IPB University dan Universitas Terbuka, peningkatan kelimpahan sampah di sungai terjadi selama masa pandemi. Adapun kelimpahan sampah yang tercatat meningkat sampai lima persen jika dibandingkan tahun 2016.
Dari sampah yang dikumpulkan, setidaknya ada tujuh jenis limbah yang ditemukan, yaitu beragam jenis masker, termasuk masker bedah dan N95, sarung tangan medis, hazmat, pelindung wajah, dan jas hujan sebagai pengganti hazmat (Kompas, 23 Desember 2021).
Kondisi itu membuat sistem pengelolaan sampah medis makin dibutuhkan. Pengelolaan ini tidak hanya untuk skala rumah sakit, tapi juga skala rumah tangga. Pemilihan cara pengelolaan sampah medis yang mudah, efisien, dan ramah lingkungan perlu diperhatikan.
Sampah medis plastik
Hal itulah menjadi dasar bagi para peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI untuk mengembangkan teknologi daur ulang sampah medis, khususnya sampah medis berbahan plastik dengan metode rekristalisasi. Metode ini dinilai lebih mudah digunakan tanpa membutuhkan energi yang tinggi.
Peneliti Utama Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Hendrana menuturkan, proses pengolahan sampah limbah plastik yang biasa dilakukan saat ini memakai metode remelting atau pelelehan dengan cara pembakaran daur ulang. Sampah plastik yang didaur ulang dibentuk jadi granula atau pelet.
Menurut dia, metode daur ulang ini tidak praktis karena harus melalui proses prapemilihan sampah yang tidak mudah serta perlu sterilisasi sebelum didaur ulang. Jika dalam pemilihan sampah tidak baik, beberapa bahan plastik bisa tercampur sehingga berpengaruh pada kualitas hasil daur ulang.
Penggunaan suhu panas dengan tekanan tinggi juga dapat menimbulkan kerusakan plastik yang didaur ulang. Proses pelelehan ini pun menggunakan mesin penggerak yang membutuhkan konsumsi energi tinggi. Bahan bakar yang digunakan pun menjadi lebih banyak.
Kebutuhan energi serta bahan bakar yang besar juga ditemukan pada proses daur ulang dengan metode pembakaran di mesin insinerasi. “Ini berbeda dengan proses daur ulang dengan metode rekristalisasi," ucap Sunit.
"Dengan memakai metode rekristalisasi, kebutuhan mekanis relatif kecil yakni hanya untuk mengaduk." katanya. Penggunaannya juga lebih fleksibel, bisa untuk skala kecil seperti rumah tangga maupun skala besar seperti rumah sakit dan industri. Apabila ada bahan logam berat bisa langsung terpisah ketika proses berlangsung.
Daur ulang plastik dengan cara mudah dan ramah lingkungan ini menjadi fokus peneliti karena banyak alat pelindung diri (APD) yang memakai bahan baku plastik, seperti hazmat, masker medis, tutup kepala untuk tenaga kesehatan, dan sarung tangan. Alat medis itu bersifat infeksius dan berpotensi meningkatkan mikroplastik di peraian dan laut jika tidak diolah dengan baik.
Dengan memakai metode rekristalisasi, 68kebutuhan mekanis relatif kecil yakni hanya untuk mengaduk.
Sunit menyampaikan, daur ulang dengan rekristalisasi mudah diterapkan untuk berbagai jenis plastik yang menjadi bahan baku APD, seperti PE (polyethylene), PP (polypropylene), PVC (polyvinyl chloride), dan PS (polystyrene).
Pada masker medis, salah satu bahan yang digunakan adalah polypropylene. Bahan ini yang dimanfaatkan karena tahan air dan mampu mencegah cairan menempel pada masker. Selain masker medis, bahan polypropylene juga digunakan untuk jenis masker N95.
Secara teknis, tahapan dalam proses daur ulang sampak medis plastik dengan rekristalisasi, yaitu dimulai dengan pemotongan plastik bisa diperlukan, lalu pelarutan plastik dilakukan dan dilanjutkan dengan pengendapan pada antipelarut. Setelah itu, penyaringan bisa dilakukan untuk mendapatkan plastik murni dengan bentuk kristal yang memiliki mutu serupa dengan produk plastik sebelum didaur ulang.
“Dinamakan rekristalisasi karena proses ini bisa diulang lagi untuk mendapatkan kemurnian yang lebih tinggi dari plastik,” ucap Sunit.
Ia menyampaikan, paten di skala laboratorium untuk metode tersebut sudah didapatkan sejak Desember 2020. Saat ini, proposal untuk pelaksanaan rencana percontohan (pilot plan) skala lebih besar diusulkan. Harapannya, proposal ini bisa disetujui sehingga metode rekristalisasi sekaligus sebagai alternatif daur ulang sampah medis plastik dalam penanganan Covid-19.
Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Haryono menuturkan, metode rekristalisasi yang dikembangkan itu untuk mengantisipasi limbah masker medis yang menjadi ancaman bagi lingkungan.
“Metode ini mudah diterapkan untuk berbagai jenis plastik bahan baku APD, termasuk masker medis. Kualitas produk hasil daur ulang terjamin tetap tinggi, karena tidak terdegradasi oleh pemanasan,” katanya.