Dukun masih relevan dan berfungsi karena tidak semua persoalan masyarakat bisa dijelaskan dengan sintesis keilmuan modern.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Zaman makin modern dan teknologi kian canggih. Namun, adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk mendapat kepastian atas berbagai persoalan hidup yang tak mampu dijawab oleh sains atau agama membuat praktik perdukunan tetap tumbuh.
Deklarasi Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 3 Februari 2021 menunjukkan dukun tetap eksis di masyarakat. Meski dukun lekat dengan stigma negatif serta masyarakat makin terdidik dan religius, nyatanya minat masyarakat kepada dukun tetap besar.
”Dukun masih relevan dan berfungsi karena tidak semua persoalan masyarakat bisa dijelaskan dengan sintesis keilmuan modern,” kata antropolog agama dan kekerabatan di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Imam Ardhianto, di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Salah satu dukun yang banyak diakses masyarakat adalah dukun yang mengobati penyakit. Keterbatasan akses serta kurangnya kepercayaan kepada tenaga medis membuat sebagian masyarakat masih mengandalkan dukun.
Ahli neurosains dan perilaku sosial yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Taufiq Pasiak menambahkan, adanya kepercayaan kepada dukun adalah manusiawi. Sebelum rasionalitas berkembang seperti sekarang, sejarah awal manusia bergulir dari hal-hal mistik.
Saat menghadapi masalah yang menimbulkan ketidakpastian, otak bawah sadar akan selalu mendorong manusia mencari kepastian kepada apa pun atau siapa pun. Ketika sains atau agama tidak bisa memberi kepastian, perdukunan atau hal-hal supranatural dijadikan sandaran.
”Benar atau salah, urusan belakangan. Yang penting, dorongan mendapat kepastian harus dituntaskan agar tidak menimbulkan kecemasan,” katanya. Kepastian yang ditawarkan perdukunan bersifat seketika atau saat itu, sedangkan kepastian agama bersifat masa depan melalui konsep akhirat atau adanya kehidupan setelah kematian.
Taufiq tidak sepakat jika orang-orang yang percaya perdukunan dan dicap tidak rasional itu membuat mereka lebih rentan terhadap paparan berita bohong, antisains, atau teori konspirasi. Mereka yang terdidik dan dianggap rasional pun tetap bisa tertipu hoaks.
”Perdukunan memberi kepastian, bukan soal benar atau salah, sedangkan hoaks atau teori konspirasi hanya menjawab keingintahuan manusia, tidak memberi kepastian,” ujarnya.
Kontroversi
Meski demikian, keyakinan sebagian masyarakt kepada dukun itu sering ditentang kelompok lain. Sebagian kelompok agama menilai perdukunan bisa merusak keimanan, sedangkan kalangan sains menganggap perdukunan tidak rasional.
Dalam kerangka logika sains, perdukunan adalah irasional. Namun, dalam kerangka logika dan sistem kepercayaan yang dianut masyarakat setempat atau bersifat lokal, perdukunan juga rasional. ”Setiap budaya maupun sistem kepercayaan memiliki rasionalitas sendiri,” kata Imam.
Situasi itu menuntut kerendahan hati kelompok agama ataupun sains untuk tidak memaksakan pandangan dan keyakinannya kepada kelompok lain. Negara pun diharapkan adil dan tidak terjebak dalam tekanan kelompok tertentu yang ingin menyeragamkan kepercayaan masyarakat berdasar sistem nilai yang dianutnya.
Imam menilai kemunculan organisasi dukun itu merupakan respons balik atas pandangan negatif dan penilaian buruk secara kultural terhadap mereka. Kemunculan para dukun di ruang publik itu sejatinya mengingkari roh perdukunan yang biasanya tersembunyi atau samar.
Di sisi lain, respons kelompok yang menolak perdukunan menandai pengaruh konservatisme di masyarakat yang memiliki sistem nilai dan kepercayaan beragam. Respons ini tidak bisa dilepaskan dari pertarungan wacana publik antara kelompok yang ingin mengedepankan identitas lokal dan sistem kepercayaan bervariasi dengan kelompok yang ingin menetapkan standar kepercayaan berdasar tafsir tertentu.
Sementara itu, Taufiq menilai munculnya Perdunu merupakan kritik mendasar bagi ilmuwan dan agamawan. Ilmuwan nyatanya belum bekerja maksimal memberi jalan keluar atas berbagai persoalan yang dihadapi masyaarkat.
Adapun bagi agamawan, masih kuatnya kepercayaan kepada dukun menunjukkan dakwah yang dilakukan belum memberi hasil seperti yang diharapkan karena masyarakat masih mencari sandaran selain kepada Tuhan. ”Agamawan membuat Tuhan menjadi sesuatu yang jauh hingga sulit dijangkau, bukan Tuhan yang dekat yang ada dalam diri,” katanya.