Penanganan Covid-19 Terintegrasi, Tes Antigen Jadi ”Senjata”
Hampir setahun pandemi Covid-19 dinyatakan terjadi di Indonesia. Penguatan tes yang masif mulai dilakukan untuk mencegah penularan. Tes antigen menjadi senjata andalan untuk menjaring banyak kasus positif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelacakan, pemeriksaan, dan isolasi kasus Covid-19 yang tidak optimal selama ini membuat laju penularan di masyarakat tidak terkendali. Karena itu, pendekatan dalam penanganan kasus akan diperbaiki secara terintegrasi, mulai dari memasifkan pelacakan hingga pemeriksaan kasus.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, upaya pengendalian pandemi Covid-19 akan diperkuat melalui intervensi yang terintegrasi. Itu mulai dari penguatan pemeriksaan, pelacakan, dan isolasi, sampai dengan penguatan pada sektor hilir di rumah sakit dalam mengantisipasi peningkatan kasus.
”Dalam penatalaksanaan untuk mengakselerasi testing (pemeriksaan) dan tracing (pelacakan), penggunaan tes cepat antigen menjadi langkah yang dipilih. Harapannya, cara ini bisa mempercepat upaya deteksi dini kasus penularan sehingga kemudian bisa segera ditangai dengan cepat,” katanya, di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Ia menuturkan, pemeriksaan pada kontak erat kasus yang terkonfirmasi positif menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam pengendalian kasus Covid-19. Sekalipun sudah tersedia 620 laboratorium pemeriksaan dengan metode tes cepat reaksi berantai polimerase (PCR), pemeriksaan belum juga berjalan optimal.
Hal itu disebabkan, antara lain, belum meratanya ketersediaan laboratorium pemeriksaan, letak geografis Indonesia yang beragam, dan jumlah spesimen yang banyak. Sejumlah daerah sampai saat ini masih membutuhkan waktu yang lama dalam mendapatkan hasil pemeriksaan spesimen. Bahkan, masih ada daerah yang harus menunggu sampai 10 hari untuk mendapatkan hasil.
Kondisi ini menyebabkan upaya penanganan kasus menjadi terhambat. Penularan kasus pun tidak terkendali karena tata laksana pada kasus tidak segera dilakukan. Untuk itulah, penguatan upaya pemeriksaan melalui pemeriksaan tes antigen yang lebih masif diharapkan bisa menjadi solusi.
”Kami sudah mulai distribusikan dua juta alat untuk tes antigen di 34 provinsi. Kemudian, jumlah itu ditambah 1,7 juta alat untuk didistribusikan khusus di 78 kabupaten/kota di 7 provinsi Jawa dan Bali yang sekarang menjalankan PPKM (penerapan pembatasan kegiatan masyarakat) skala mikro,” tutur Nadia.
Jangan sampai peristiwa sakral ini justru punya dampak negatif terhadap penanggulangan Covid-19. (Muhadjir Effendy)
Secara teknis, setiap puskesmas nantinya akan memastikan tes antigen bisa dimanfaatkan secara optimal untuk memeriksa kontak erat dari kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19. Ditargetkan, terdapat 20-30 kontak erat yang diperiksa dari satu kasus dalam waktu kurang dari 72 jam. Pemeriksaan pun harus dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih di tempat yang terbuka.
Nadia menyampaikan, pelatihan pada tenaga pelacakan dan pemeriksaan masih berlangsung. Diharapkan, dalam dua hari ke depan, pemeriksaan dengan tes antigen pada kontak erat sudah bisa efektif berjalan.
Pelacakan dan pemeriksaan kasus ini tidak hanya dilakukan di lingkungan rumah tangga, tetapi juga di tempat umum, seperti pasar dan perkantoran. Setelah itu, kasus yang terdeteksi positif melalui tes antigen langsung diisolasi untuk segera dikonfirmasi dengan tes usap PCR. Khusus pada kontak erat yang bergejala, meskipun hasil tes antigen menunjukkan hasil negatif, tes ulang dengan antigen akan dilakukan untuk menghindari adanya kemungkinan hasil false negative.
Nadia menuturkan, strategi pemeriksaan ini juga akan berpengaruh pada sistem pelaporan harian kasus positif Covid-19. Jika sebelumnya kasus positif yang diumumkan hanya berdasarkan hasil pemeriksaan PCR, setelah tes antigen mulai berjalan secara masif, seluruh hasil dari tes antigen yang positif akan masuk dalam laporan harian kasus terkonfirmasi positif Covid-19.
”Cara ini bertujuan untuk mempercepat penemuan kasus penularan di masyarakat, baik yang bergejala maupun yang tidak. Dengan begitu, kasus penularan tersebut bisa cepat ditangani dan diisolasi sehingga tidak sampai menular ke masyarkat. Harapannya itu bisa mempercepat upaya dalam memutus rantai penularan Covid-19,” ujarnya.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, dalam siaran pers, menuturkan, kebijakan PPKM skala mikro juga menjadi upaya untuk menekan kasus penularan Covid-19 dengan membatasi mobilitas masyarakat sampai di tingkat rumah tangga. PPKM mikro diterapkan pada 9-22 Februari 2021 di tujuh provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Dalam penerapannya, setiap wilayah desa ataupun kelurahan wajib mendirikan posko Covid-19 yang terdiri atas beberapa unsur masyarakat. Penerapan PPKM mikro juga menerapkan kebijakan zonasi pengendalian wilayah hingga tingkat RT.
Zonasi tersebut dengan pembagian zona hijau untuk wilayah yang tidak ada kasus positif, zona kuning jika ada 1-5 rumah yang terdapat kasus positif, zona oranye jika ada 6-10 rumah yang terdapat kasus positif, dan zona merah jika terdapat lebih dari 10 rumah dengan kasus positif.
”Ini bentuk mengendalikan Covid-19 yang bukan hanya dari sisi kesehatan, melainkan juga sosial ekonomi. Inti dari kebijakan ini yakni untuk menunjukkan bahwa semua punya peran untuk bekerja dan berkontribusi dalam menyelesaikan pandemi,” ucap Wiku.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengimbau masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan secara ketat dalam perayaan Imlek. Kegiatan yang memungkinkan untuk mengundang massa cukup besar tidak boleh dilakukan.
”Imbauan ini bukan kepada penganut agama tertentu ataupun komunitas tertentu, tetapi untuk seluruh masyarakat yang nanti akan merayakan Imlek ini supaya menahan diri. Jangan sampai peristiwa sakral ini justru punya dampak negatif terhadap penanggulangan Covid-19,” katanya.