Manfaatkan Kebijakan Biden untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Indonesia
Indonesia perlu memanfaatkan peluang yang muncul dari berbagai kebijakan nol emisi Presiden AS Joe Biden. Ini agar membawa pengaruh baik juga bagi Indonesia dalam menuju pembangunan rendah karbon.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menetapkan sejumlah janji dan agenda terkait dengan penanggulangan perubahan iklim maupun isu lingkungan hidup lainnya. Kebijakan Biden yang di antaranya berkomitmen mengembangkan energi bersih maupun produk ramah lingkungan perlu dimanfaatkan Indonesia untuk juga menuju pembangunan rendah emisi.
Direktur Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman dalam diskusi daring bertajuk “Kebijakan Biden-Harris di Sektor Lingkungan dan Dampaknya terhadap Indonesia”, Selasa (9/2/2021) menyampaikan, Biden memiliki sejumlah agenda terkait isu lingkungan yang akan dijalankannya selama menjabat sebagai Presiden AS.
Kebijakan Biden tersebut dikenal dengan istilah green new deal atau sebuah kerangka untuk mengupayakan nol emisi pada tahun 2050 dengan menganggarkan 1,7 triliun dollar AS. Anggaran tersebut ditujukan untuk membeli energi bersih dan mewujudkan pajak karbon.
Beberapa agenda lingkungan Biden lainnya yakni menganggarkan 2 triliun dolar AS untuk membangun listrik bebas karbon pada 2035, kembali ke Perjanjian Iklim Paris, meniadakan bantuan luar negeri untuk penggunaan batubara, dan pemberian keringanan hutang untuk negara-negara yang menerapkan kebijakan hijau.
Pemerintahan Biden secara langsung maupun tidak langsung juga akan berdampak pada pembangunan dan investasi di Indonesia yang saat ini tengah menjadi prioritas Presiden Joko Widodo. Menurut Suzie, di bawah pemerintahan Biden, akan banyak tersedia kesempatan untuk perusahaan AS berinvestasi di bidang energi dan lingkungan bersih, telekomunikasi, serta kesehatan.
Ini bisa dimanfaatkan Indonesia yang acapkali terkendala kecukupan finansial dalam menjalankan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
Sawit
Di sisi lain, dinilai kebijakan Biden tidak terlampau menguntungkan sawit Indonesia. "Karena dia (Biden) adalah antitesis dari Presiden Donald Trump, terutama kebijakan yang menyangkut lingkungan hidup. Kebijakan Biden akan menghambat energi yang berdasarkan fosil dan sawit karena keduanya jauh dari upaya pelestarian lingkungan. Namun, ekspor komoditas Indonesia akan pulih dan meredakan perang dagang global,” ujarnya.
Selain itu, janji Biden mengadakan pertemuan tingkat tinggi internasional yang bertujuan menetapkan ambisi global untuk menangani perubahan iklim juga akan berpengaruh ke organisasi multilateral. Semua keputusan-keputusan AS tersebut, dinilai Suzie, pasti akan berdampak pada Indonesia.
Jika kebijakan-kebijakan Biden yang baik dapat ditularkan di Indonesia, kita harus berusaha memahami situasi yang dihadapi AS sekarang ini dan membutuhkan keterlibatan langsung. (Suzie Sudarman)
Namun, di sisi lain, lanjutnya, Biden akan mengalami tantangan dalam menyelaraskan kepentingan untuk mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim dengan upaya menanggulangi pengangguran. Sebab, saat ini terdapat koalisi yang sensitif antara pegiat lingkungan yang progresif dengan serikat buruh.
“Hal inilah yang membuat Biden menganggarkan dana hingga triliunan dolar AS untuk energi bersih dengan harapan akan menciptakan lapangan kerja baru sekaligus mengatasi perubahan iklim. Jadi, jika kebijakan-kebijakan Biden yang baik dapat ditularkan di Indonesia, kita harus berusaha memahami situasi yang dihadapi AS sekarang ini dan membutuhkan keterlibatan langsung,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, komitmen lingkungan dari Biden dijadikan satu paket dengan kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari kucuran anggaran sebesar 2 triliun dolar AS untuk pengembangan energi bersih mulai dari pembangunan pembangkit listrik hingga mendorong transportasi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik.
“Akan tetapi, sebenarnya ada strategi yang ingin dipakai pemerintah AS saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari upaya mereka untuk melawan dominasi China di dunia. Sebab, isu lingkungan sekarang menjadi persaingan yang cukup ketat. Jika AS tidak bermain di isu ini, China dan Uni Eropa akan lebih agresif untuk berinvestasi dan perdagangan hijau,” tuturnya.
Masih terbuka
Wakil Ketua Umum Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Kamar Dagang dan Industri Indonesia Halim Kalla menyatakan, kebijakan Biden yang lebih prolingkungan juga akan berdampak pada kegiatan ekspor dan impor di AS. Namun, dia memandang bahwa ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) ke AS masih terbuka lebar setelah negara tersebut menerapkan kebijakan baru di sektor kesehatan mulai tahun 2018.
Menurut Halim, peningkatan ekspor sawit masih terbuka lebar karena adanya pelarangan dari regulator kesehatan AS (FDA) untuk menggunakan lemak trans dari organisme hasil rekayasa genetika yang berbahaya (genetically modified organisms/GMO). Di sisi lain, CPO Indonesia dapat mengganti GMO dan tidak mengandung lemak trans sehingga lebih unggul dibandingkan minyak kedelai atau jagung.
“Terpilihnya Biden akan membuat arah kebijakan bernuansa Demokrat yakni memilih CPO dari Indonesia dengan syarat proses pekerjaan tidak melanggar HAM (hak asasi manusia). Biden juga akan sangat menaruh perhatian dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk perkebunan sawit ini. Selama poin-poin ini diterapkan, potensi ekspor CPO ke AS sangat besar khususnya untuk biodiesel,” ucapnya.
Halim menegaskan, sawit khususnya CPO merupakan komoditas sangat bernilai bagi Idonesia karena mendatangkan devisa. Kekurangan Indonesia dari sawit ini hanyalah hilirisasi yang membutuhkan industri dan teknologi.
Di sisi lain, perlu juga penyampaian informasi yang lebih lengkap terkait sawit Indonesia karena industri ini terstigma kurang ramah lingkungan. Padahal, saat ini banyak sertifikasi tentang pengelolaan sawit berkelanjutan.