Keanekaragaman bahan pangan lokal yang menjadi ciri dan kekuatan Indonesia agar terus dimanfaatkan. Pengembangannya akan membantu kemandirian pangan, menjaga lingkungan, serta meningkatkan kualitas pangan masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi pangan masyarakat Indonesia saat ini masih didominasi kelompok pangan padi-padian. Sementara umbi-umbian, sayur, dan buah masih minim dikonsumsi. Transformasi sistem pangan menjadi agenda yang penting guna mewujudkan keanekaragaman produksi pangan, pasokan, dan konsumsi sehingga tidak tergantung pada satu komoditas tertentu.
Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Anang Noegroho menyampaikan, pola konsumsi pangan perlu menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini tecermin dari skor pola pangan harapan (PPH) yang selama ini belum mencapai ideal.
”Skor PPH mencerminkan kualitas dan keragaman konsumsi pangan serta gizi masyarakat kita sehingga Bappenas memasukkan ini sebagai salah satu indikator penting dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024,” ujarnya dalam acara Festival Pangan Bijak Nusantara yang diselenggarakan secara daring, Rabu (10/2/2021).
Anang mengatakan, konsumsi pangan, khususnya sumber karbohidrat, masih didominasi 60 persen dari padi-padian, yakni beras dan terigu. Konsumsi terigu ini memiliki kecenderungan meningkat sejak 2013 hingga 2019 dan perlu menjadi perhatian agar tidak terjadi ketergantungan. Sementara konsumsi umbi-umbian masyarakat Indonesia baru 2-3 persen.
Menurut Anang, potensi pangan dari kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia masih sangat besar. Oleh karena itu, dalam RPJMN 2020-2024, pengembangan pangan lokal dan diversifikasi bahan pangan di tingkat masyarakat menjadi strategi utama dalam meningkatkan kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi (pengayaan gizi makanan), dan biofortifikasi pangan.
Guna menjaga keberlanjutan pertanian, katanya, perlu juga dicermati dan diantisipasi melalui transformasi sistem pangan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Sistem pangan berkelanjutan ini memerlukan perubahan dasar yang lebih holistik dan mencakup seluruh mata rantai nilai serta pelaku dari sistem pangan agro.
”Aktivitas dalam mata rantai nilai tersebut ditujukan guna memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi, seimbang, aman, dan sesuai dengan pola pangan harapan konsumsi masyarakat. Selanjutnya perlu diturunkan dalam perhitungan target kebutuhan untuk konsumsi pangan sehingga semua dapat diproyeksikan perencanaan aktivitas, alokasi, serta lokasinya untuk mencapai skor pola pangan,” katanya.
Kolaborasi penting untuk mewujudkan keanekaragaman produksi pangan, pasokan, dan konsumsi.
Selain itu, lanjut Anang, pemerintah menilai perlu membangun regionalisasi dan lokalisasi sistem pangan. Hal ini penting agar sistem pangan tidak hanya dapat dibangun secara andal dan berkelanjutan, tetapi juga bertumpu pada potensi daerah masing-masing.
Anang berharap agenda Festival Pangan Bijak Nusantara dapat terus mendorong kolaborasi yang efektif dan luas antara pelaku usaha, produsen, kelompok tani, konsumen, dan semua pihak yang dapat memajukan sistem pangan nasional. Kolaborasi penting untuk mewujudkan keanekaragaman produksi pangan, pasokan, dan konsumsi.
Kepala Kerja Sama Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Hans Farnhammer menyatakan, Festival Pangan Bijak Nusantara merupakan agenda yang sangat penting dalam mempromosikan sistem pangan lokal yang berkelanjutan. Hal ini juga sangat penting di Uni Eropa karena mayoritas konsumen lebih memilih mengonsumsi makanan lokal dibandingkan makanan impor.
”Sejak adanya pandemi, orang-orang memilih makanan sehat karena dapat membuat sistem kekebalan tubuh yang jauh lebih baik sehingga tidak mudah terserang penyakit. Oleh karena itu, agenda transformasi pangan ini sangat sejalan dengan upaya Uni Eropa, khususnya dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” tuturnya.