Kanker Lambung, Jarang Terdeteksi, tetapi Mematikan
Sejumlah gejala patut diwaspadai sebagai penyakit kanker lambung. Dengan makin cepat dideteksi, peluang keberhasilan terapi penyakit tersebut makin tinggi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Kanker lambung merupakan jenis kanker yang jarang ditemui di masyarakat. Meski begitu, penyakit ini menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak akibat kanker. Gejalanya yang tak spesifik membuat deteksi dan penanganan menjadi terlambat.
Menurut data Globocan 2018, kasus kanker lambung menempati urutan keempat terbanyak dari jenis kanker lainnya. Dari sekitar 18 juta kasus kanker baru, terdapat 5,7 persen kasus yang merupakan kasus kanker lambung. Jumlah itu tidak sebanyak jenis kanker lainnya, seperti kanker paru (11,6 persen), kanker payudara (11,6 persen), kanker kolorektal (10,2 persen), dan kanker prostat (7,1 persen).
Meski kasus baru yang ditemukan tidak sebanyak jenis kanker lainnya, kanker lambung menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga akibat kanker setelah kanker paru dan kanker kolorektal. Pada tahun 2018, tercatat ada 782.685 kematian akibat kanker lambung. Jumlah itu lebih besar daripada kematian akibat kanker hati, kanker payudara, dan kanker esophagus (kerongkongan).
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Aru Sudoyo di Jakarta, Rabu (10/2/2021), mengatakan, tingginya angka kematian akibat kanker lambung bisa disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat untuk mendeteksi dini. Gejala yang timbul pun tidak spesifik karena sering dianggap seperti sakit maag ataupun tukak lambung. Kondisi ini menyebabkan banyak pasien terlambat ditangani dan sudah pada stadium lanjut.
Kenali gejala
”Perbedaan yang jelas antara tukak lambung dan kanker lambung adalah biasanya rasa nyeri pada tukak lambung akan hilang setelah makan, tetapi pada kanker lambung nyeri justru semakin parah dengan makan. Biasanya, orang yang mengalami tukak lambung tidak akan mengalami penurunan berat badan, sementara orang dengan kanker lambung akan mengalami penurunan berat badan yang signifikan,” tuturnya.
Aru menyebutkan, setidaknya ada enam situasi yang harus diwaspadai sebagai gejala kanker lambung. Pertama, adanya nyeri abdomen, yaitu nyeri pada bagian perut yang berkepanjangan. Awalnya nyeri akan terasa ringan, tetapi semakin lama terasa semakin berat sampai tidak tertahankan. Rasa nyeri ini sering diabaikan dan dianggap sebagai penyakit maag.
Perbedaan antara tukak lambung dan kanker lambung adalah biasanya rasa nyeri pada tukak lambung hilang setelah makan, tetapi pada kanker lambung nyeri makin parah dengan makan.
Pada situasi kedua, seseorang mulai sulit menelan makanan. Jika seseorang mengalami kondisi ini, tumor yang muncul umumnya berlokasi di daerah kardia atas atau bagian hulu lambung yang terkait dengan kerongkongan. Tumor itu memicu penyempitan saluran sehingga makanan yang masuk terasa seperti tersangkut.
Ketiga, orang dengan kanker lambung bisa mual dan muntah saat makan. Ini terjadi apabila kanker terletak dekat jalan masuk makanan menuju usus halus. Adanya hambatan pada saluran ini menyebabkan respons tubuh untuk mengembalikan makanan kembali ke bagian atas, yaitu mulut.
Sementara pada situasi keempat, seseorang akan semakin cepat kenyang karena sebagian lambung terisi tumor. Pada situasi kelima, penurunan berat badan secara drastis terjadi karena sedikitnya asupan makanan yang masuk ke tubuh.
”Pada situasi keenam, pendarahan mulai terjadi. Pada kondisi ini, tumor atau kanker tersebut sudah menembus lapisan dalam lambung. Apabila pendarahan yang terjadi cukup banyak, bisa berakibat hematemesis (muntah darah) sehingga pasien juga bisa mengalami anemia,” kata Aru.
Faktor risiko
Sama seperti jenis kanker lain, kanker lambung juga tidak diketahui faktor yang menjadi penyebab utama. Biasanya, hanya diketahui faktor risiko yang bisa memicu terjadinya kanker. Kebiasaan yang paling banyak terkait dengan kanker lambung adalah merokok dan banyak mengonsumsi makanan dengan kandungan garam tinggi.
Selain itu, Aru menyampaikan, faktor risiko lain yang patut diperhatikan antara lain berat badan berlebih, memiliki riwayat keluarga dengan kanker, usia lebih dari 60 tahun, serta sering mengonsumsi makanan yang dibakar atau diasap dan mengonsumsi makanan olahan seperti sosis dan nugget.
”Faktor risiko yang juga bisa menjadi penyebab kanker lambung adalah adanya bakteri Helicobactor pylori (H pylori). Faktor risiko ini yang tidak dijumpai sebagai penyebab jenis kanker lainnya. Bakteri ini perlu diwaspadai karena lebih dari 50 persen populasi dunia memiliki bakteri H pylori di saluran pencernaan,” ucapnya.
Mengutip penelitian ”Faktor Risiko dan Prevalensi H. Pylori di Kawasan Jakarta Utara di Indonesia” yang dilakukan Ari Fahrial Syam dkk, Aru menuturkan, infeksi bakteri ini berhubungan dengan kebersihan, terutama kebiasaan jarang mencuci tangan sebelum makan. Namun, konsumsi susu kedelai diketahui dapat mencegah terjadinya infeksi dari bakteri H pylori.
Pengobatan
Aru menyampaikan, pada pasien kanker lambung, terapi atau pengobatan diberikan sesuai tingkat keparahan atau stadium yang terjadi. Pada stadium awal, tindakan bisa dilakukan melalui operasi, antara lain dengan reseksi mukosa endoskopi atau pengangkatan tumor, gastrektomi parsial atau pengangkatan bagian lambung tertentu, ataupun gastrektomi total atau pengangkatan seluruh bagian lambung.
Pada stadium lanjut, terapi yang diberikan biasanya dengan radioterapi ataupun kemoterapi. Hal ini diharapkan mengurangi kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien.
Namun, semakin tinggi tingkat stadium pasien, semakin kecil tingkat harapan hidup lima tahun yang bisa dicapai. Selain itu, semakin tua usia pasien, semakin rendah tingkat harapan hidupnya.
Oleh karena itu, General Manager Taiho Pharma Singapore untuk Indonesia Ervina Hasti Widyandini menekankan, diagnosis sejak dini amat penting agar tingkat harapan hidup pasien makin tinggi. Edukasi terkait penyebab dan gejala kanker lambung perlu makin banyak disampaikan kepada masyarakat agar kesadaran akan penyakit ini menjadi semakin baik.
”Meski kejadian kanker lambung yang terdata saat ini di Indonesia belum terlalu tinggi, itu bukan berarti kasusnya tidak ada sama sekali. Selain edukasi pencegahan dan deteksi dini, hal lain yang juga dibutuhkan adalah dukungan bagi pasien dan penyintas kanker pada aspek pengobatan, nutrisi, dan psikososial,” ucapnya.