Penularan Covid-19 pada Level Tertinggi, Perketat Pembatasan
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat yang dijalankan selama tiga pekan terakhir ini dinilai tidak efektif melandaikan kurva penularan. Bahkan, tingkat penularan saat ini mencapai tingkat tertinggi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Situasi pandemi di Indonesia makin mengkhawatirkan, Tingkat penularan Covid-19 di Indonesia dinilai berada di tingkat tertinggi dan terjadi di level komunitas terkecil. Karena itu, pembatasan mesti lebih ketat hingga level mikro diikuti tes, lacak, isolasi secara maksimal.
"Laporan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) terbaru menunjukkan, transmisi komunitas di Indonesia masuk kategori CT 4 (community transmission). Ini merupakan tingkat tertinggi dalam penularan Covid-19 di komunitas, yang menunjukkan insiden sudah sangat tinggi," kata epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman, Jumat (5/2/2021).
Mengacu laporan situasi Indonesia oleh WHO pada 3 Februari 2021, klasifikasi transmisi komunitas di level tertinggi ini terjadi sejak minggu terakhir Desember 2020, saat rata-rata rasio tes positif (test positivity rate) di Indonesia melebihi 20 persen.
Sebelumnya, sejak Mei 2020 rasio tes positif di Indonesia di kisaran 10 persen hingga di bawah 20 persen atau dalam kategori CT 3. Ambang aman rasio tes positif yang disarankan WHO yakni 5 persen.
"Kategori CT 4 artinya, penularan terjadi di komunitas terkecil. Jika dulu risiko tertular misalnya terjadi di kerumunan atau perkantoran, kini orang bisa tertular begitu keluar dari rumah dan bertemu tetangga. Bahkan, penularan terjadi dalam keluarga," kata Dicky.
Laporan WHO ini menunjukkan, proporsi tes positif di Indonesia meningkat tajam setelah 23 November dan mencapai 28,6 persen di tingkat nasional pada 31 Januari 2021. Tingginya risiko penularan juga terlihat dari tingginya angka insiden.
Selama periode 25 hingga 31 Januari 2021 kejadian Covid-19 di Indonesia mencapai 30,9 per 100.000 penduduk, dibandingkan dengan 28,4 per 100.000 pada minggu sebelumnya. Ini merupakan insiden mingguan tertinggi sejak kasus pertama dilaporkan di Indonesia.
"Rasio tes positif di satu wilayah sama dengan risiko paparan. Semakin tinggi angkanya, risiko paparannya kian tinggi dan seharusnya jadi indikator untuk melakukan intervensi," tuturnya.
Sebagai contoh, jika rasio tes positif di bawah 5 persen ibarat gerimis kecil, sehingga cukup memakai topi. Rasio tes positif 5 - 10 persen ibarat mulai hujan sehingga harus pakai payung. Jika dalam kisaran 10 - 20 persen, jika keluar disarankan memakai mobil, karena pakai payung tetap berisiko basah.
"Nah, kalau rasio tes positif di atas 20 persen seperti Indonesia itu ibarat terjadi badai. Sebaiknya orang total di rumah saja, karena begitu keluar risiko tertular sangat tinggi," kata Dicky.
Kalau rasio tes positif di atas 20 persen seperti Indonesia itu ibarat terjadi badai. Sebaiknya orang total di rumah saja, karena begitu keluar risiko tertular sangat tinggi.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus di Indonesia pada Jumat bertambah 11.749 orang sehingga secara akumulatif 1.134.854 kasus. Sementara jumlah kasus aktif bertambah 1.874 sehingga total jadi 176.672 kasus. Korban jiwa bertambah 201 orang sehingga secara akumulatif mencapai 31.202 orang.
Berdasarkan jumlah orang yang diperiksa sebanyak 44.231 orang, maka rasio tes positif 26,5 persen. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan rasio tes positif dalam sepekan terakhir 29,5 persen.
Pembatasan akhir pekan
Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran Uiversitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Yudhi Wibowo mengatakan, dengan tingginya tinggnya tingkat penularan di komunitas, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dijalankan hampir tiga pekan ini dinilai tidak akan efektif melandaikan kurva penularan.
Apalagi jika PPKM diterapkan separuh-separuh seperti rencana pembatasan di Jawa Tengah yang hanya diterapkan pada akhir pekan atau Sabtu dan Minggu saja.
Sesuai Surat Edaran Nomor 443.5/0001933, Gubernur Jawa Tengah meminta semua bupati/walikota di wilayahnya untuk melaksanakan "Gerakan Jateng di Rumah Saja" secara serentak pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 6 dan 7 Februari 2021. Selama pelaksanaan akan ada penegakan disiplin protokol kesehatan lewat operasi yustisi.
"Kalau berdasar kaidah epidemiologi, pembatasan mobilitas minimal dua pekan, karena ini disesuaikan dengan masa inkubasi dan infeksius virusnya. Kalau pembatasan hanya dua hari, apalagi tidak konsisten, tidak akan efektif," ujarnya.
Yudhi mengatakan, penerapan PPKM kali ini jauh lebih longgar dibandingkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. "Operasi yustisia dulu kencang, sekarang kendor. Masyarakat juga makin lelah. Tiap daerah beda-beda. Banyak yang abai. Misalnya, Banjarnegara tetap bukan pertokoan sampai jam 10 malam. Banyumas pasar tetap buka dari dini hari sampai siang," katanya.
Tanpa pembatasan secara serentak dan antar wilayah, penularan Covid-19 akan seperti fenomena pimpong. "Satu daerah mungkin menurun, tetapi bisa naik lagi karena tertular dari daerah lain, begitu seterusnya," ujarnya.
Yudhi menambahkan, selain pembatasan mobiltas yang harus segera ditingkatkan adalah tes dan lacak, yang masih tidak stabil, bahkan di daerah cenderung turun. Tanpa kecukupan tes dan lacak, manfaat dari pembatasan terhadap tingkat penularan sulit diketahui pasti.
Dia mencontohkan, di wilayah Banyumas selama minggu pertama dan kedua sejak PPKM terjadi peningkatan kasus dan positivity rate. "Memasuki minggu ketiga ini jumlah kasus menurun, tetapi masalah jumlah tes dan rasio lacak menurun, sehingga tidak bisa diklaim PPKM berhasil menurunkan penularan," ujarnya.
Selain jumlah tes yang belum memenuhi standar minimal, saat ini rasio lacak kasus Covid-19 di Banyumas hanya 1: 2,5. Padahal, sebelumnya 1:3,4 dan kalau mengacu standar WHO seharusnya 1: 30, artinya dari satu kasus positif harus dilacak sampai 30 orang.