Pemerintah dinilai belum memanfaatkan krisis multidimensi 2020,sebagai titik tolak memprioritaskan lingkungan hidup. Walhi mencatat, dari 7 prioritas RKP 2021, porsi lingkungan hidup kecil. Pemerintah menepis asumsi itu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Adanya krisis multidimensi pada 2020 belum menjadi pembelajaran untuk memprioritaskan isu lingkungan dalam rencana kerja pembangunan 2021. Ketiadaan perubahan signifikan dalam memprioritaskan isu lingkungan ini membuat semua pihak perlu didorong untuk menerapkan politik hijau guna mengatasi krisis multidimensi dan polarisasi di masyarakat.
Koordinator Desk Politik Walhi Nasional Khalisah Khalid mengatakan, sektor yang perlu didorong melalui politik hijau harus masuk ke dalam permasalahan struktural terutama kebijakan ekonomi dan politik. Politik hijau dapat diartikan sebagai sebuah ideologi politik yang memperjuangkan terbentuknya masyarakat yang ekologis dan berkelanjutan.
Menurut Khalisah, memperjuangkan politik hijau dapat dilakukan dengan cara menanamkan dan menumbuhkan kesadaran di masyarakat terkait pentingnya isu lingkungan. “Dari sini diharapkan dapat membawa isu lingkungan hidup menjadi agenda utama di ruang politik karena isu ini belum dianggap sebagai prioritas,” ujarnya dalam peluncuran “Tinjauan Lingkungan Hidup 2021” secara daring, Rabu (3/2/2021).
Isu lingkungan hidup, kata Khalisah, seharusnya menjadi isu utama selain ekonomi. Sebab, lingkungan sangat terkait dengan kehidupan masyarakat dan bukan sebagai isu pelengkap. Hal ini menjadikan isu lingkungan melampaui sekat sosial di masyarakat.
Momentum belum termanfaatkan
Manajer Pengelolaan Pengetahuan Walhi Nasional Doni Moidady menambahkan, pemerintah belum memanfaatkan pandemi Covid-19 pada 2020 sebagai momentum pembalikan krisis dan membuat pembangunan menjadi lebih ramah lingkungan. Sebaliknya, pemerintah justru mengesahkan sejumlah undang-undang yang sarat akan kontroversi dan berpotensi membuat kerusakan lingkungan semakin parah.
Meski demikian, adanya krisis di tahun lalu juga tidak menjadi pembelajaran pemerintah untuk lebih memerhatikan lingkungan dalam rencana kerja pembangunan (RKP) 2021. Walhi mencatat, dari tujuh prioritas RKP 2021, porsi lingkungan hidup sangat kecil. Bahkan, agenda untuk ketahanan dan pemulihan bencana juga tidak masuk dalam prioritas.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menyampaikan, pada 2020 Walhi memprediksi RI akan mengalami banyak kejadian yang memperburuk kualitas lingkungan. Sebab, setahun sebelumnya, Indonesia cenderung menggalakan investasi. Ini kemudian diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang juga belum bisa dikendalikan Indonesia.
“Yang kita hadapi saat ini adalah satu akibat dari proses penghancuran lingkungan hidup dan ekosistem yang sudah berlangsung sejak lama. Kerusakan ini tidak hanya menimbulkan wabah, tetapi juga memicu berbagai krisis lainnya seperti krisis iklim,” tuturnya.
Menurut dia, krisis iklim yang sudah menjadi permasalahan global dan memicu sejumlah bencana juga belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Hal tersebut ditunjukkan dari sikap pemerintah dalam menganalisis dan menangani bencana hidrometerologi di sejumlah wilayah yang terjadi awal tahun ini.
“Tantangan yang dihadapi pada 2020 dan bagaimana dapat diatasi bersama pada 2021 itu tergantung dari kita semua. Kita mengajak seluruh pihak bersama-sama melakukan perombakan sistem bukan hanya orang per orang atau golongan saja sehingga rakyat perlu memperoleh kembali kedaulatannya,” tuturnya.
Selain itu, Walhi juga mendesak pemerintah untuk tidak lagi menggunakan model ekonomi ekstraktif dan tidak ramah lingkungan. Menjadikan investasi industri ekstraktif sebagai jalan pemulihan ekonomi akan mengakibatkan justru akan mengakibatkan rakyat terancam oleh pandemi zoonosis berikutnya.
Tepis asumsi
Kepala Biro Humas KLHK, Nunu Anugrah menepis asumsi pemerintah tidak menjadikan lingkungan hidup sebagai prioritas. "Buktinya, lebih dari 91persen pelepasan kawasan hutan, atau seluas lebih dari 6,7 juta hektar selama 36 tahun terakhir, berasal dari era sebelum Pak (Presiden) Joko Widodo dan Ibu Siti Nurbaya menjabat," kata Nunu dalam keterangan pers.
Tidak hanya menghentikan obral izin dan menegakkan hukum lingkungan, pemerintahan Presiden Joko Widodo juga terus menggeser penguasan izin untuk swasta, dan lebih berpihak ke masyarakat.
Sebelum 2015, izin dikuasai perusahaan hingga 95,76 persen. Sementara izin untuk masyarakat hanya mendapatkan alokasi 4,14 persen. Kondisi miris ini kemudian perlahan berubah mulai dari 2015, ujar Nunu, sampai dengan memasuki tahun 2021.
\'\'Alokasi izin untuk masyarakat melalui program Perhutanan Sosial dan TORA, kini meningkat hingga mencapai 18,4 persen. Per Desember 2020, realisasi izin hutan sosial untuk masyarakat mencapai 4.417.937,72 ha, dengan penerima manfaat sekitar 895.769 KK. Terdapat 6.798 unit SK yang diberikan kepada rakyat, bukan pada korporasi. Angka ini akan terus meningkat dan berpihak kepada rakyat,\'\' jelas Nunu.
Pelibatan masyarakat juga menjadi salah satu kunci KLHK dalam melakukan rehabilitasi atau pemulihan lingkungan. Di antaranya melalui program Kebun Bibit Desa, Kebun Bibit Rakyat, dan berbagai program padat karya lainnya