Teknologi Pelacak Kontak Covid-19 untuk Populasi Terbatas
Teknologi menjanjikan sistem pelacakan kontak Covid-19 secara lebih akurat dan efisien. Namun, efektivitas hanya bisa diraih melalui tingkat adopsi yang luas.
JAKARTA, KOMPAS—Penggunaan teknologi digital untuk pelacakan kontak atau contact tracing kasus Covid-19 diyakini dapat membuat upaya testing menjadi lebih terarah dan efisien. Penggunaan pelacakan kontak digital pada populasi terbatas seperti pada perusahaan atau wilayah tertentu dapat menjadi tahapan awal.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura telah menguji coba penggunaan "BluePass", sebuah teknologi pelacakan kontak Covid-19. BluePass adalah token fisik berjaringan Bluetooth yang dikembangkan oleh D\'Crypt, sebuah perusahaan di bawah payung Temasek Singapura.
Duta Besar RI untuk Republik Singapura Suryopratomo pada Sabtu (30/1/2020) mengatakan bahwa KBRI Singapura sudah menguji coba BluePass pada 18–21 Desember 2020 lalu. Sebanyak 120 staf KBRI diminta selalu membawa token BluePass selama tiga hari berturut-turut. Pada hari terakhir, skenario digelar di mana salah satu staf dianggap positif terinfeksi Covid-19.
"Kemudian kami download, terlihat bahwa ada enam orang di KBRI yang melakukan kontak erat. Ini membuat testing lebih efisien; tidak menghamburkan anggaran tetapi tetap terkontrol untuk mendapatkan hasil tracing yang akurat," kata Tommy, panggilan Suryopratomo.
Berbasis Bluetooth
Token BluePass menggunakan sinyal Bluetooth untuk mendeteksi sesama token yang berada di dekatnya. Jika perangkat BluePass mendeteksi BluePass lain dalam jarak kurang dari dua meter selama setidaknya 15 menit, maka masing-masing BluePass akan mencatat perangkat lain sebagai kontak erat atau close contact. BluePass dapat ditaruh pada saku pakaian ataupun dipasang pada strap layaknya arloji.
Jika ada pemegang BluePass yang terkonfirmasi positif, maka ia diminta mengembalikan tokennya ke petugas. Si petugas lalu mengunduh riwayat kontak erat yang telah tercatat pada perangkat tersebut. Mereka yang tercatat akan dapat diminta untuk menjalani tes.
"Tes dapat dilakukan cukup kepada mereka yang memiliki indikasi kuat terpapar Covid-19 karena melakukan kontak. Lebih efisien jadinya," kata Tommy. Tiap perangkat BluePass bisa mencatat hingga 360.000 kontak erat.
Setiap perangkat BluePass bisa didapatkan dengan metode sewa, dengan tarif 1 dollar Singapura per bulan.
CEO D\'Crypt Antony Ng menilai, jika perusahaan dapat memegang kendali lebih besar terhadap pelacakan kontak, maka perusahaan tersebut juga dapat mengurangi kebutuhan akan adanya lockdown atau penguncian wilayah.
Baca juga: Vakum Regulasi Aplikasi Pelacak Covid-19 di Indonesia
Saat ini, D\'Crypt membahas proyek uji coba perangkat itu di industri petrokimia, manufaktur alat kesehatan, maritim, dan konstruksi. "Murid-murid bisa kembali ke sekolah dan aktivitas ekonomi tidak perlu terganggu," kata Antony, dilaporkan The Strait Times. Antony menolak membuka harga sistem BluePass. Namun ia memastikan biayanya tidak mahal.
Di Singapura, BluePass tidak berdiri sendiri dalam sistem pelacakan kontak digital yang ada dalam negara tersebut. Jika BluePass lebih ditujukan untuk penggunaan mandiri oleh sektor swasta, token fisik TraceTogether Token dan juga sistem cek-in SafeEntry disediakan secara gratis untuk publik.
Kendali total
Dengan memiliki sistem pelacakan kontak digital mandiri, sebuah perusahaan ataupun organisasi apa pun dapat dengan lebih pasti mendapatkan informasi penyebaran Covid-19 secara internal.
Tommy mencontohkan, dengan teknologi semacam Bluepass, apabila ada satu orang karyawan terkonfirmasi positif Covid-19, seluruh kantor tidak perlu ditutup hingga dua minggu. Testing dan isolasi cukup dilakukan oleh mereka yang tercatat sistem tracing sebagai kontak erat. "Alat digital tracing semacam ini membuat bisnis mereka tidak harus terkorbankan karena semua harus diliburkan, misalnya," ujarnya.
Baca juga: Peretas Palsukan Aplikasi Pelacak Kontak Covid-19 Resmi untuk Curi Data Pribadi
Perusahaan konsultan infrastruktur dan tata kota milik Pemerintah Singapura, Surbana Jurong, juga telah mengikuti uji coba penggunaan BluePass sejak Juli 2020 lalu. Group CEO Surbana Jurong Wong Heang Fine meyakini penting bagi perusahaan untuk memiliki kendali total pelacakan kontak Covid-19 terhadap karyawannya.
"Jika kami perlu mengkarantina sebuah site proyek secara utuh hanya untuk memastikan keamanannya, dampak finansialnya besar sekali," kata Wong.
Perusahaan milik Pemerintah Singapura lainnya, ST Engineering juga menciptakan sistem pelacakan kontak mandiri berbasis aplikasi perangkat lunak bernama AGIL Trace. Sebanyak 15.000 staf perusahaan tersebut telah mengunduh aplikasi tersebut.
Juru bicara ST Engineering kepada The Strait Times mengatakan, dengan sistem pelacakan kontak mandiri, upaya mitigasi dapat dilakukan dengan segera sehingga dapat meminimalisasi penyebaran.
Mulai dari Bintan
Perangkat keras BluePass berwarna biru berukuran tidak lebih besar dari arloji itu diproduksi sebuah perusahaan manufaktur di Batam, Kepulauan Riau. Pemerintah Singapura terbuka terhadap kerja sama untuk membuka jalan penggunaan BluePass di Indonesia.
Tommy memaparkan, idealnya teknologi pelacakan kontak seperti BluePass dapat digunakan secara luas untuk menekan penyebaran Covid-19. Namun, ia memahami bahwa penggunaan token fisik semacam ini lebih memungkinkan diterapkan di wilayah yang terbatas seperti perusahaan hingga pulau kecil.
Ia mencontohkan Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Jika pengawasan melalui alat pelacak kontak dilakukan secara ketat terhadap populasi pulau ini, tingkat keamanannya dapat dijamin. Kalau penyebaran bisa ditekan dan Bintan jadi area aman, travel bubble antara Singapura dan Bintan bisa dibentuk.
Bahkan, penggunaan teknologi pelacakan digital dapat diterapkan secara penuh di Bali, misalnya. "Kalau Singapura bisa melakukannya dengan populasi 5,6 juta; bagi Bali harusnya bukan sesuatu yang mustahil," ujarnya.
Dengan teknologi semacam Bluepass, apabila ada satu orang karyawan yang terkonfirmasi positif, seluruh kantor tidak perlu ditutup hingga dua minggu. Testing dan isolasi hanya cukup dilakukan oleh mereka yang tercatat oleh sistem tracing sebagai kontak erat.
Untuk itu, sebagai langkah pertama. pihaknya mengirimkan 520 perangkat BluePass ke Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Indonesia untuk menggelar proses uji coba dan penilaian. Ia juga telah membahas pengembangan perangkat itu dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan juga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tingkat adopsi krusial
Sistem token fisik seperti BluePass maupun TraceTogether Token memiliki pendekatan yang berbeda dibandingkan, aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah yakni PeduliLindungi.
PeduliLindungi , menurut Tommy, lebih berfungsi sebagai aplikasi yang memberitahukan kondisi zonasi kegawat daruratan Covid-19. "Sebagas warning di wilayah tertentu, misalnya, yang berbasis data epidemiologi," kata Tommy yang juga mantan anggota Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
Kapabilitas pelacakan kontak berbasis Bluetooth sebetulnya bukan konsep yang asing di Indonesia. PeduliLindungi memiliki fungsi semacam BluePass.
Dalam dokumen Kebijakan Privasi PeduliLindungi, disebutkan pengguna akan memiliki daftar "contact" per hari yang didapat melalui Bluetooth dengan pengguna PeduliLindungi lain yang saling berdekatan. Bedanya, jika BluePass mencatat mereka yang berada dalam jarak kurang dari dua meter sebagai kontak erat, PeduliLindungi memiliki jarak cakupan 10 meter.
Namun sistem pelacakan kontak digital seperti PeduliLindungi masih belum sepenuhnya efektif selama ini sejak dirilis pada Maret tahun lalu. Hal ini diyakini karena tingkat adopsi yang masih rendah.
Sebuah studi yang dilakukan University of Oxford pada Mei 2020 lalu menyebut pengendalian epidemi melalui teknologi pelacak kontak membutuhkan tingkat adopsi sekitar 60 persen populasi.
Baca juga: Google-Apple Sepakat Bekerja Sama Melawan Wabah Covid-19
"Secara umum, makin tinggi tingkat adopsi, kian besar jumlah orang yang terdeteksi harus menjalani karantina," kata Christophe Fraser, Lucie Abeler-Dorner, Luca Ferretti, Michelle Kendall, dan David Bonsall dari Big Data Institute, University of Oxford, Inggris.
Sistem pelacakan kontak digital seperti PeduliLindungi masih belum benar-benar efektif selama ini sejak dirilis pada Maret tahun lalu. Hal ini diyakini karena tingkat adopsi yang masih rendah.
Pada Juni 2020, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengumumkan pengguna PeduliLindungi menembus 4 juta orang pada Juni 2020, atau sekitar 5 persen jumlah pengguna smartphone di Indonesia. Namun, jumlah ini ternyata stagnan hingga akhir 2020.
Berdasarkan analisis aplikasi ponsel pintar Apptopia kepada Kompas pada akhir Desember 2020 lalu, PeduliLindungi secara total baru diunduh oleh 4,2 juta orang. Bahkan pengguna aktif hariannya (daily active user/DAU) PeduliLindungi hanya sekitar 44.000 orang.
Belum lagi persoalan penanganan privasi dan data pribadi warga yang terus dihadapi oleh PeduliLindungi.
Pada Desember 2020 lalu, para peneliti di The Citizen Lab, Munk School of Global Affairs and Public Policy, University of Toronto menilai, PeduliLindungi dinilai terlalu banyak mengambil data pengguna yang tidak penting serta pengolahan data yang tidak transparan.
Baca juga: Aplikasi ”PeduliLindungi” Dinilai Berlebihan Mengambil Data Pengguna
Teknologi menjanjikan sistem pelacakan kontak yang efisien dan efektif. Namun, menumbuhkan tingkat adopsi aplikasi di masyarakat menjadi persoalan penyerta yang juga harus diselesaikan.