Perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten/kota yang berada pada potensi bencana tinggi harus didesain ulang berdasarkan analisis ilmiah berbasis kebencanaan. Ini dibutuhkan mengingat potensi berbagai bencana.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain bencana hidrometeorologi, Indonesia masih akan mengalami kejadian bencana lainnya karena adanya ratusan gunung api aktif dan patahan lempeng yang tersebar di hampir seluruh wilayah. Guna mengurangi dampak bencana di masa depan, perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten/kota yang berada pada potensi bencana tinggi harus didesain ulang berdasarkan analisis ilmiah berbasis kebencanaan.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iwan Ridwansyah, dalam diskusi daring, Jumat (29/1/2021), menyampaikan, data menunjukkan hampir setiap hari sepanjang 2009-2019 telah terjadi bencana di sejumlah wilayah di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan sampai saat ini Indonesia masih rentan terhadap berbagai bencana.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 1-28 Januari 2021 juga sudah terjadi 236 bencana. Jenis bencana tersebut di antaranya banjir (151), tanah longsor (38), puting beliung (36), gempa bumi (5), gelombang pasang dan abrasi (5), serta kebakaran hutan dan lahan (1). Bencana tersebut telah mengakibatkan 193 orang meninggal dan 1,5 juta orang menderita serta mengungsi.
Menurut Iwan, penataan ruang memiliki peran dalam mengatasi mitigasi bencana di Indonesia. Namun, basis ilmu para perencana tata ruang yang tidak terlalu banyak menyentuh aspek kebencanaan, hidrometeorologi, hingga penataan daerah aliran sungai (DAS) membuat kajian yang dilakukan kurang memperhatikan kedua aspek tersebut.
”Ini menjadi pekerjaan rumah kita agar dalam penataan ruang dimasukkan juga perhitungan dalam pengelolaan DAS. Unsur-unsur bencana yang menjadi potensi di wilayah yang akan dikaji harus diperhatikan sehingga wilayah pengembangan di masa depan akan lebih aman terhadap bencana, terutama dalam mengantisipasinya,” ujarnya.
Selain itu, desain tata ruang berbasis kebencanaan akan lebih mudah dilakukan karena telah tersedianya semua data untuk mengkaji potensi bencana, seperti morfologi, klimatologi, dan topografi. Akan tetapi, Iwan menilai skala desain tata ruang berbasis kebencanaan tersebut masih belum detail, khususnya untuk wilayah di luar Jawa.
Masyarakat perlu mengetahui dan memiliki keterampilan untuk melakukan evakuasi ataupun mitigasi secara mandiri.
Iwan mengatakan, saat ini beberapa daerah sudah memiliki kajian tata ruang berbasis kebencanaan pada level dokumen rencana tata ruang wilayah hingga rencana detail tata ruang. Namun, ia memandang sejumlah daerah lain masih kesulitan mengesahkan kajian tersebut menjadi peraturan daerah karena melalui proses yang cukup kompleks. Dalam prosesnya, kajian tidak hanya mewajibkan konsultasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tetapi juga Badan Informasi Geospasial.
”Kondisi ini membuat penerapan kajian tata ruang kebencanaan ada yang cepat dan lambat karena belum terpenuhinya beberapa parameter dalam penyusunan tata ruang. Tetapi, di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan pantai cenderung lebih cepat karena terkait dengan kebencanaan,” katanya.
Evakuasi mandiri
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan, tidak ada jaminan suatu daerah bebas dari potensi bencana meski daerah tersebut sudah mengalami bencana besar seperti tsunami Aceh 2004. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak, khususnya korban jiwa, akibat sebuah bencana, masyarakat perlu mengetahui dan memiliki keterampilan untuk melakukan evakuasi ataupun mitigasi secara mandiri.
”Beberapa kata kunci yang perlu dipegang saat evakuasi adalah abaikan harta dan berlari tanpa kendaraan karena banyak terjebak kemacetan atau kecelakaan di jalan. Kemudian awasi sungai dan jembatan, pohon dan bangunan tinggi, serta bukit adalah tempat yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri,” tuturnya.
Selain itu, Eko menekankan bahwa menata ruang dataran pantai menjadi syarat mutlak untuk menekan bencana, khususnya tsunami. Sebab, saat ini banyak rumah dibangun tidak memenuhi aturan jarak aman dari bibir pantai sehingga bangunan tersebut akan mudah disapu ombak saat terjadi tsunami ataupun gelombang besar.
”Melakukan hal-hal yang bisa melibatkan masyarakat juga penting agar mereka menyadari ancaman bencana dan keselamatan dirinya. Pohon atau tiang listrik juga bisa ditandai dengan zona bahaya sehingga mungkin akan menanamkan kesadaran akan bencana sekaligus menjadi petunjuk evakuasi saat bencana datang,” katanya.