Lemahnya Pengawasan Turut Memicu Kerusakan Lingkungan
Lemahnya pengawasan dan tidak terbukanya informasi turut memicu kerusakan lingkungan. Kondisi tersebut memperparah bencana yang terjadi di sejumlah daerah, terutama banjir dan longsor.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan hingga menyebabkan bencana di sejumlah daerah tidak terjadi karena faktor tunggal. Namun, bencana terjadi akibat akumulasi kerusakan lingkungan dari waktu ke waktu. Hal ini sulit dicegah karena lemahnya pengawasan dan keterbukaan informasi ke publik.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Sengkarut Tata Ruang di Balik Banjir Berulang”, Kamis (28/1/2021). Turut hadir sebagai pembicara diskusi itu antara lain Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo dan Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Soelthon Gussetya Nanggara.
Hariadi mengemukakan, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sejak tahun 1970 belum ada perubahan dari sisi sistem perizinan. Sistem perizinan ini dinilai hanya menjadi sebuah ruang dan alat administrasi tanpa adanya kontrol atau pengawasan secara ketat.
”Perbaikan pengelolaan lingkungan hidup kaitannya dengan bencana banjir dan longsor ini perbaikannya selalu melalui keterbukaan informasi ke publik. Sebab, tidak mungkin administrasi di lingkup terkecil bisa memahami semua ketentuan ini. Jadi pasti ada persoalan tata kelola,” ujarnya.
Menurut Hariadi, gerakan konservasi yang terus meningkat dapat menjadi upaya mengatasi persoalan lingkungan. Namun, kegiatan industri ekstraktif juga kian masif dan kontraproduktif terhadap upaya konservasi. Dua kegiatan ini juga telah ditetapkan sesuai porsinya melalui tata ruang.
Perbaikan pengelolaan lingkungan hidup kaitannya dengan bencana banjir dan longsor ini perbaikannya selalu melalui keterbukaan informasi ke publik.
”Begitu melihat implementasinya, setelah dipelajari ada cara-cara juga untuk membuat keputusan tata ruang yang dasarnya meningkatkan pemanfaatan. Di balik hal-hal teknis yang menyebabkan kerusakan lingkungan, ada persoalan tata kelola,” katanya.
Banyaknya persoalan tata kelola ini, kata Hariadi, pada akhirnya membuat tata ruang seolah hanya menjadi kegiatan administratif tanpa implementasi nyata di lapangan. Bahkan, implementasi tata ruang tetap sulit dijalankan jika hanya mengandalkan pemerintah daerah tanpa dukungan organisasi nonpemerintah ataupun partisipasi masyarakat.
Soelthon Gussetya mengakui, selama ini keterbukaan data perizinan lingkungan ataupun data spasial belum optimal. Salah satu data yang sampai kini tertutup dan sulit diakses yakni data hak guna usaha. Bahkan, putusan hukum untuk membuka data ke publik juga tidak dijalankan oleh lembaga yang berwenang.
Menurut catatan terakhir FWI pada 2017, agregasi luasan hutan di Indonesia tersisa 82 juta hektar. Menurut dia, selama ini ada kecenderungan turunnya angka deforestasi, di sisi lain hutan juga sudah berkurang secara signifikan.
”Akumulasi kerusakan hutan kita jelas terjadi, tetapi kita juga tidak pernah menghitung dampaknya. Kita tidak pernah mempunyai permodelan banjir sehingga ketika situasi iklim berubah, kita gagap menganalisis akar permasalahannya,” katanya.
Terkait dengan banjir di Kalimantan Selatan, kata Soelthon, secara visual tampak ada pengaruh antara data spasial lokasi banjir dengan lahan pertambangan dan sawit. Pengaruh itu terjadi karena perubahan penggunaan lahan kawasan hutan. Seharusnya, kaitan ini perlu menjadi evaluasi pemerintah dan tidak langsung menyatakan faktor cuaca sebagai penyebab banjir.