Indonesia Perlu Memegang Peran Lebih Besar dalam Kemitraan Global
Indonesia dinilai perlu dan berpotensi memegang peran lebih besar dan strategis dalam kemitraan global dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Indonesia terdampak sekaligus memegang kunci pengereman emisi karbon.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemitraan global merupakan salah satu kunci untuk mengatasi perubahan iklim yang sudah menjadi permasalahan lintas negara dan generasi. Sebagai negara kepulauan yang terdampak perubahan iklim, Indonesia dinilai perlu memegang peran lebih besar dan strategis dalam kemitraan global tersebut.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, menyampaikan, dalam kemitraan global, Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain kunci dan menunjukkan kepemimpinan untuk negara-negara selatan dalam mengatasi krisis iklim. Hal tersebut dapat dilakukan baik melalui upaya mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim.
”Melalui kemitraan global ini, Indonesia bisa mendesak negara-negara maju sebagai investor dan perusahaan-perusahaan multinasional untuk beralih ke investasi hijau. Jadi bentuknya mengarusutamakan ekonomi hijau untuk mengatasi krisis iklim, bukan hanya dalam bentuk proyek-proyek,” ujarnya di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Meski demikian, upaya Indonesia mendesak negara-negara maju untuk mengatasi perubahan iklim juga harus sejalan dengan upaya di dalam negeri. Sebab, Tata memandang bahwa sejauh ini komitmen Indonesia masih sangat lemah dalam mengatasi krisis iklim.
”Hal ini ditunjukkan dari ketidaksediaan Indonesia dalam memiliki komitmen iklim yang lebih ambisius sehingga Indonesia tidak diundang untuk berbicara di Climate Ambition Summit (Konferensi Tingkat Tinggi Adaptasi Iklim) di Paris Desember lalu,” tuturnya.
Menurut Tata, komitmen Indonesia saat ini untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional, sangat tidak memadai dalam mengatasi krisis iklim. Dampak krisis iklim, seperti bencana hidrometeorologi, akan semakin parah jika negara-negara di dunia juga tidak memiliki komitmen yang lebih ambisius.
Tata menilai, Indonesia juga harus melakukan perubahan kebijakan secara radikal di dua sektor penghasil emisi terbesar, yaitu sektor energi dan kehutanan. Perlu juga kebijakan transisi energi yang ambisius dan jelas tahapannya, termasuk moratorium pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Sementara di sektor kehutanan, pemerintah harus membatalkan konversi hutan menjadi lumbung pangan (food estate) dan pertambangan serta memberikan fokus kepada perlindungan hutan Papua.
Pemerintahan Jokowi selama empat tahun ke depan harus fokus melakukan kemitraan global untuk pengembangan teknologi baru dan terbarukan.
”Adaptasi harus dilakukan karena krisis iklim dan dampaknya telah terjadi. Namun, mitigasi dalam bentuk perubahan kebijakan mendasar di sektor energi dan kehutanan juga harus dilakukan secara memadai,” katanya.
Sebelumnya dalam Pertemuan Puncak KTT Adaptasi Iklim (Climate Adaptation Summit/CAS) 2021, Senin (25/1/2021), Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dampak iklim sangat nyata terutama untuk negara-negara kepulauan seperti Indonesia. Presiden juga menekankan pentingnya kemitraan global sebagai salah satu pilar agenda dunia dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Sektor energi
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa menyatakan, meski KTT tersebut terkait dengan adaptasi perubahan iklim, kemitraan global juga perlu mencakup upaya mitigasi.
Menurut Mahawan, kemitraan global dalam menanggulangi perubahan iklim sangat penting bagi Indonesia, khususnya untuk meningkatkan upaya mitigasi di sektor energi. Sebab, riset Indonesia untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan masih sangat rendah sehingga bantuan dari pihak lain dapat menjadi suatu hal yang strategis.
”Pemerintahan Jokowi selama empat tahun ke depan harus fokus melakukan kemitraan global untuk pengembangan teknologi baru dan terbarukan. Ini akan relevan dengan upaya kita memenuhi NDC (target kontribusi penurunan emisi sesuai Kesepakatan Paris),” tuturnya.
Selain itu, kata Mahawan, target penurunan emisi Kesepakatan Paris yang belum memenuhi 1,5 derajat celsius juga akan membuat semua pihak mendapat dorongan dan tekanan untuk meningkatkan komitmennya. Oleh karena itu, kemitraan global perlu menjadi upaya dalam memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim di semua sektor.
Sementara dalam upaya adaptasi perubahan iklim, kemitraan global dapat dilakukan untuk membangun ketahanan masyarakat, seperti merestorasi ekosistem hutan ataupun wilayah daerah aliran sungai. Semua langkah tersebut juga bertujuan untuk memastikan ketersediaan air yang sangat penting untuk kelangsungan hidup generasi mendatang.
”Kekeringan dan banjir juga sangat berpengaruh terhadap sektor pangan. Ke depan, Indonesia perlu menjalin kemitraan global dalam konteks teknologi pangan untuk menghasilkan varietas tanaman baru yang dapat bertahan pada kondisi iklim yang berbeda,” katanya.