Bukti ilmiah dan catatan kuno yang ditemukan peneliti menunjukkan kelangkaan air memicu emigrasi penduduk yang membuat wilayah-wilayah permukiman ditinggalkan menjadi kota mati.
Oleh
Ichwan Susanto
·2 menit baca
BRUNO BAZZANI/WIKIMEDIA COMMONS
Desa kuno Soknopaiou Nesos di wilayah Faiyum, Mesir, yang menjadi reruntuhan dan hilang. Diduga permukiman ini hilang karena migrasi penduduk akibat kelangkaan air.
Ketiadaan hujan monsun di sumber atau hulu Sungai Nil menjadi penyebab migrasi dan matinya seluruh permukiman di provinsi zaman Romawi di Mesir. Perkembangan demografis ini telah dibandingkan dengan data lingkungan untuk pertama kalinya oleh profesor sejarah kuno, Sabine Huebner dari Departemen Peradaban Kuno di Universitas Basel, Swiss. Hal ini mengarah pada penemuan perubahan iklim dan konsekuensinya.
Wilayah Faiyum yang awalnya seperti oasis, kira-kira 130 km barat daya Kairo, adalah lumbung pangan Kekaisaran Romawi. Namun, pada akhir abad ketiga Masehi, banyak permukiman yang dulunya berkembang pesat di sana menurun dan akhirnya ditinggalkan oleh penduduknya.
Pengetahuan baru tentang interaksi iklim, perubahan lingkungan, dan perkembangan sosial sangat topikal. (Sabine Huebner)
Penggalian sebelumnya dan petunjuk dari catatan pada papirus kontemporer menunjukkan bahwa masalah irigasi lapangan menjadi penyebabnya. Upaya petani lokal untuk beradaptasi dengan kekeringan dan penggurunan lahan pertanian—misalnya, dengan mengubah praktik pertanian mereka—juga didokumentasikan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ilustrasi pertanian di permukiman. Warga yang tergabung dalam anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) RW 001, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, berkegiatan saat bertepatan dengan peringataan Hari Gizi Nasional di lahan petanian mereka, Senin (25/1/2021).
Letusan gunung dan hujan monsun
Profesor sejarah kuno, Basel Sabine R Huebner, dalam jurnal di Amerika Serikat, Studiesin Late Antiquity pada November 2020 berjudul Perubahan Iklim dalam Pusat Pangan Kekaisaran Romawi-Penjelasan Penurunan pada Desa-desa di Fayum di Abad Ketiga Masehi menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan berada di balik perkembangan ini. Data iklim yang ada menunjukkan bahwa hujan monsun di hulu Sungai Nil di Dataran Tinggi Etiopia tiba-tiba melemah secara permanen.
Hasilnya adalah permukaan air sungai yang lebih rendah di musim panas. Bukti yang mendukung hal ini telah ditemukan dalam sedimen geologi dari Delta Nil, Faiyum, dan Dataran Tinggi Etiopia, yang menyediakan data iklim jangka panjang pada musim hujan dan ketinggian air Sungai Nil.
Letusan gunung berapi tropis yang dahsyat sekitar 266 M, yang pada tahun berikutnya membawa banjir Sungai Nil di bawah rata-rata, yang kemungkinan turut berperan memengaruhinya. Letusan besar diketahui dari endapan asam sulfat di inti es dari Greenland dan Antartika, dan diperkirakan terjadi dalam waktu tiga tahun. Partikel yang terlempar ke stratosfer menyebabkan pendinginan iklim, mengganggu sistem monsun lokal.
Wawasan baru tentang iklim, lingkungan, dan masyarakat
Pada abad ketiga Masehi, seluruh Kekaisaran Romawi dilanda krisis yang secara relatif terdokumentasi dengan baik di provinsi Mesir oleh lebih dari 26.000 papirus yang diawetkan (dokumen yang ditulis di atas lembaran papirus). Di wilayah Faiyum, termasuk catatan penduduk yang beralih ke tanaman merambat alih-alih padi-padian atau ke peternakan domba karena kelangkaan air. Kejadian lain, adanya tuduhan pada tetangga mereka mencuri air atau meminta keringanan pajak kepada otoritas Romawi. Ini dan strategi adaptif penduduk lainnya menunda kematian desa mereka selama beberapa dekade.
”Seperti hari ini, konsekuensi perubahan iklim tidak sama di semua tempat,” kata Huebner dalam laman Universitas Basel, 25 Januari 2021.
Meskipun daerah-daerah di tepi gurun menghadapi kerasnya kekeringan, yang lain justru mendapat manfaat dari masuknya orang-orang yang pindah dari desa-desa yang ditinggalkan.
”Pengetahuan baru tentang interaksi iklim, perubahan lingkungan, dan perkembangan sosial sangat topikal.” Namun, perubahan iklim pada zaman kuno akhir tidak-tidak seperti saat ini disebabkan terutama oleh manusia, tetapi didasarkan pada fluktuasi alami.