Minat Warga Jabodetabek Pasang Panel Surya Atap Tinggi
Studi Pusat Energi Tropis Terbarukan (TERC) Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia menunjukkan sebanyak 84 persen responden di Jabodetabek menyatakan ingin memasang panel surya atap (PSA).
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya kian tertarik memasang pembangkit listrik tenaga surya atap atau panel surya atap untuk menjamin pasokan kebutuhan energi di rumahnya. Hal ini dapat berpotensi meningkatkan percepatan peralihan dari sumber energi fosil ke energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Hal tersebut terangkum dalam Laporan Jakarta Solar City yang disusun Pusat Energi Tropis Terbarukan (TERC) Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia. Survei melibatkan 1.000 responden di Jabodetabek dan 411 responden di antaranya warga DKI Jakarta. Survei tersebut dilakukan selama sepekan pada Juli 2020 atau saat masih berlangsung kegiatan bekerja dan bersekolah dari rumah.
Hasil survei menunjukkan, sebanyak 84 persen responden menyatakan ingin memasang panel surya atap (PSA) dan 16 persen tidak ingin memasang PSA. Dari jumlah responden yang ingin memasang PSA, sebanyak 84,4 persen percaya bahwa PSA dapat mengurangi tagihan listrik.
Studi dari TERC UI dapat membantu dan menjadi dasar Pemprov DKI untuk segera mencanangkan program Jakarta Solar City.
Direktur TERC UI Eko Adhi Setiawan dalam peluncuran Laporan Jakarta Solar City secara daring, Selasa (26/1/2021), memaparkan, sebanyak 92 persen dari 4,6 juta pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di DKI Jakarta merupakan sektor rumah tangga. Adanya pandemi Covid-19 juga membuat rumah menjadi pusat aktivitas masyarakat sehingga perlu jaminan energi listrik yang mencukupi.
Eko menjelaskan, survei yang dilakukan tersebut juga membagi dua skenario, yakni pesimistis dan realistis, pada responden yang menyatakan ingin memasang PSA. Skenario pesimistis ini dikelompokkan bagi masyarakat yang ingin memasang PSA, tetapi memiliki kendala, seperti minimnya penghasilan, masih menyewa rumah, dan tinggal di apartemen atau rumah susun.
Sementara skenario realistis dikelompokkan bagi masyarakat yang ingin memasang PSA dan tidak memiliki kendala apa pun. Masyarakat ini memiliki tempat tinggal sendiri dan penghasilan sudah tercukupi dengan nilai lebih dari Rp 10 juta per bulan.
Meski keinginan masyarakat dalam memasang PSA cukup tinggi, pada kenyataannya saat ini baru 703 unit bangunan di Jakarta memasang PSA dengan total kapasitas 2,98 megawatt (MW). Hal ini menunjukkan bahwa realisasi PSA masih sangat minim, yakni 0,015 persen dari 4,6 juta pelanggan PLN.
”Kami melihat masih ada sejumlah kendala, yaitu masyarakat kurang mendapatkan informasi yang utuh mengenai kualitas, harga, kemudahan finansial, dan keuntungan pemasangan PSA. Perlu adanya kebijakan yang menarik dari pemerintah dengan mencontoh dari berbagai negara,” ujarnya.
Selain itu, kata Eko, meski sektor rumah tangga masih mempunyai porsi terbesar dari sisi jumlah dan kapasitas, sektor bisnis dan industri memiliki peluang lebih cepat dalam menggunakan PSA secara masif. Akan tetapi, peluang ini juga harus didukung dengan kebijakan dari Pemerintah Provinsi DKI untuk mewajibkan pemanfaatan PSA secara proporsional dengan disertai program penunjang yang menarik, seperti pengurangan pajak atau pemberian intensif.
Diseminasi program
Pendiri Konsil Bangunan Hijau Indonesia (GBCI), Totok Sulistiyanto, mengatakan, hasil laporan Jakarta Solar City sangat penting untuk diseminasikan kepada pemerintah ataupun pengampu kepentingan terkait. Hasil laporan juga sangat bertepatan dengan kondisi pandemi yang membuat setiap rumah tangga membutuhkan energi tambahan di rumahnya masing-masing.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Arya Rezavidi mengatakan, studi dari TERC UI dapat membantu dan menjadi dasar Pemprov DKI untuk segera mencanangkan program Jakarta Solar City. Di sisi lain, perlu juga ada kajian tentang dampak pemasangan PSA terhadap pendapatan PLN sehingga semua pihak meyakini tidak ada permasalahan ataupun kerugian yang dialami.
”Masyarakat, khususnya menengah ke atas, juga perlu disentuh kepedulian mereka terhadap persoalan lingkungan dengan cara, misalnya, mengurangi emisi karbon atau menjaga keberlanjutan pembangunan. Memang ini perlu sosialisasi dan kampanye dari berbagai media secara terus-menerus dan bisa juga dengan mengajak beberapa komunitas,” katanya.