Kegiatan Pertambangan Belum Memerhatikan Risiko Bencana
Kegiatan usaha pertambangan masih diwarnai sejumlah persoalan. Salah satu masalah yang mengemuka adalah, banyak aktivitas pertambangan dilakukan di kawasan risiko bencana.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Situasi konflik pertambangan sepanjang 2020 masih tinggi. Bahkan, kegiatan usaha pertambangan dinilai masih belum memperhatikan aspek risiko lingkungan dan bencana. Ke depan, kerja-kerja pengelolaan risiko juga akan semakin berat karena adanya pelemahan instrumen yang tertuang dalam produk-produk hukum saat ini.
Berdasarkan laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, selama 2020 terdapat 45 konflik pertambangan yang melibatkan lahan seluas 714.692 hektar. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan 2019 yang tercatat sebanyak 11 konflik. Konflik tersebut terbagi menjadi 22 kasus pencemaran lingkungan, 13 kasus perambahan lahan, 8 kasus kriminalisasi warga penolak tambang, dan 2 kasus pemutusan hubungan kerja.
Selain merangkum konflik sepanjang 2020, Jatam juga mencatat masih adanya kegiatan pertambangan yang dilakukan di kawasan risiko bencana gempa bumi. Tercatat terdapat 104 konsensi pertambangan mineral dan batu bara di seluruh Indonesia dengan luas mencapai 1,6 juta hektar.
Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil mengemukakan, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah jelas mengatur bahwa setiap kegiatan pertambangan harus memiliki analisis risiko bencana. Jika kegiatan tersebut beroperasi dan akhirnya memperparah bencana alam, maka korporasi dapat dijatuhi hukuman pidana.
“Namun dalam catatan Jatam bisa dilihat secara jelas sampai saat ini hampir tidak pernah ada korporasi yang dipidana karena menyebabkan bencana bukan alam. Kita bisa lihat kejadian terbaru berupa banjir di Kalimantan Selatan yang terjadi karena pengurangan kawasan hutan,” ujarnya dalam peluncuran catatan dan proyeksi Jatam 2021 yang diselenggarakan secara daring, Minggu (24/1/2021).
Jamil mengatakan, meski belum semua luasan dibuka, luasan obral izin penggunaan kawasan hutan hingga 2020 telah mencapai 266.400 hektar. Luasan ini belum termasuk luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) bagi survei dan eksplorasi, termasuk aktivitas tambang tanpa izin di kawasan hutan.
Sementara sejak 2016-2020, ada 592 unit IPPKH seluas 241.613 hektar yang dikeluarkan menteri lingkungan hidup dan kehutanan untuk digunakan bagi kepentingan non kehutanan termasuk sawit dan pertambangan.
Ki Bagus dari Divisi Jaringan dan Simpul Jatam Nasional menuturkan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menjadi jalan bagi sejumlah pihak untuk melakukan proyek ekstraktif dan pengerukan alam secara serentak. Sebab, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada, terdapat 5.599 izin usaha pertambangan (IUP). Adanya IUP ini sangat rentan dengan transaksi ijon politik atau menggadaikan kekayaan alam untuk menanggulangi pembiayaan politik Pilkada.
Dari penelusuran Jatam, terdapat 1.359 IUP dengan luas konsensi mencapai 4,6 juta hektar di sembilan provinsi yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Selain komoditi tambang mineral dan batubara, di sembilan provinsi tersebut juga terdapat 11 wilayah kerja panas bumi atau geothermal.
Pelemahan instrumen pencegahan
Deputi Program Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (ICEL) Grita Anindarini mengatakan, disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maupun UU 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kian melemahkan instrumen pencegahan dan pencemaran lingkungan hidup. Ke depan, kerja-kerja pengelolaan risiko juga akan semakin berat karena adanya pelemahan instrumen ini.
“ UU Cipta Kerja maupun UU Mineral dan Batu Bara memberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk wilayah yang sudah ditetapkan sebagai kegiatan pertambangan meski ada bencana alam di wilayah tersebut. Kelemahan instrumen tata ruang sangat nyata dalam kebijakan-kebijakan saat ini,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Peneliti Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno. Produk-produk hukum yang ada saat ini berpotensi meningkatkan risiko bencana akibat kegiatan ekstraktif. Hal ini menyimpulkan banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari faktor manusia.