Pertaruhan Vaksinasi
Muncul asa saat vaksinasi berjalan, pandemi segera berakhir. Namun, dalam sejarah, tiada vaksin yang menghentikan pandemi. RI kini memasuki masa pertaruhan mengatasi pandemi dengan vaksinasi.
Ada harapan ketika vaksin disuntikkan, pandemi Covid-19 segera berakhir sehingga kita bisa kembali hidup normal. Namun, vaksin bukanlah peluru perak dan dalam sejarah tak ada pandemi yang bisa berakhir hanya olehnya. Kita perlu mendudukkan vaksin sesuai dengan proporsinya dalam menghadapi pandemi ini.
Vaksin biasanya memerlukan penelitian dan pengujian selama bertahun-tahun sebelum mencapai uji klinik, dan tambahan waktu lagi untuk evaluasi hasilnya sebelum kemudian dipakai. Namun, hanya dalam setahun, para ilmuwan dan perusahaan sukses menghasilkan sejumlah produk vaksin Covid-19. Hingga Minggu (17/1/2021), sebanyak 68 vaksin dalam uji klinis pada manusia dan 20 vaksin telah mencapai tahap akhir pengujian.
Sebanyak 8 vaksin telah disuntikkan melalui otorisasi penggunaan darurat (EUA), 2 vaksin disetujui untuk penggunaan penuh, dan hanya 1 vaksin yang dibatalkan setelah uji klinik. Ini merupakan prestasi besar dalam 220 tahun sejarah penemuan vaksin.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyetujui penggunaan darurat vaksin Covid-19 CoronaVac buatan Sinovac Biotech, China, pada Senin (11/1/2021). Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito, persetujuan diberikan karena hasil analisis terhadap efikasi atau kemanjuran vaksin CoronaVac dari uji klinis di Bandung menunjukkan vaksin ini mampu menurunkan angka kejadian Covid-19 hingga 65,3 persen.
Vaksin Sinovac pun dinyatakan memenuhi persyaratan dari panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pemberian persetujuan penggunaan darurat (emergency use of authorization/EUA). Standar efikasi vaksin yang ditetapkan WHO minimal 50 persen. Selain efikasi, sesuai dengan kriteria WHO, vaksin Sinovac dianggap telah memenuhi aspek keamanan serta memiliki mutu memenuhi standar cara pembuatan obat yang baik.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Bisa Registrasi Vaksinasi Covid-19 lewat Whatsapp
Berbekal EUA ini, vaksinasi Covid-19 di Indonesia dimulai pada Rabu (13/1/2021), ditandai dengan penyuntikan pertama kepada Presiden Joko Widodo, diikuti oleh sejumlah tokoh lain, termasuk pesohor dari kalangan artis dan tenaga kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berharap Indonesia bisa menyelesaikan program vaksinasi dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya. Jika ditunda, hal itu akan membuat semakin banyak korban jiwa yang berjatuhan.
Selain mengurangi korban, vaksinasi ini, menurut juru bicara vaksinasi dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia, juga menjadi tumpuan mengendalikan pandemi. ”Dengan perhitungan efikasi vaksin 60 persen, kita akan menyuntik 70 persen populasi atau 181,5 juta jiwa dari sekitar 260 juta penduduk sebagai upaya menciptakan kekebalan komunitas. Kekebalan komunitas itu akan mencegah infeksi virus korona demi terkendalinya pandemi Covid-19,” ujarnya.
Untuk mendukung ini, tambah Nadia, Indonesia memerlukan 426 juta dosis vaksin hingga akhir 2021.”Diharapkan pada akhir Desember 2021, sebanyak 181,5 juta jiwa sudah mendapatkan vaksin,” katanya.
Manfaat dan keterbatasan
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prof Zubairi Djoerban mengatakan, vaksin Covid-19 sangat dibutuhkan dan diharapkan bisa menurunkan risiko kematian, terutama bagi tenaga kesehatan yang berada di garis depan. Efikasi 65,3 persen artinya ada kelompok orang yang terbukti tidak terlindungi jika terpapar virus ini sehingga diharapkan tidak menjadi parah hingga meninggal dunia.
Kekebalan komunitas itu akan mencegah infeksi virus korona demi terkendalinya pandemi Covid-19.
Demikian halnya, bukan berarti yang 34,7 persen sisanya tidak terlindungi. Dengan mendapatkan vaksinasi, meski tetap terinfeksi, penyakitnya tidak parah. Apalagi imunogenisitas vaksin 99,23 persen sehingga kalaupun tertular, antibodi diharapkan bisa melawan virus sehingga tidak menimbulkan keparahan.
Baca juga: Covid-19 Membesar seperti Bola Salju
”Kita tidak perlu membanding-bandingkan dengan vaksin lain. Selama vaksin yang ada sudah mendapat EUA BPOM, yang artinya memenuhi aspek keamanan dan efikasi, sebaiknya dipakai dulu,” kata Zubairi.
Ahli biologi molekuler lulusan Harvard Medical School, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, setuju, vaksin Covid-19 dibutuhkan untuk meringankan beban fasilitas kesehatan yang saat ini kewalahan.
Akan tetapi, dirinya pesimistis jika dianggap vaksin akan segera mengendalikan pandemi, apalagi mengakhirinya. ”Kita harus bersiap hidup bersama Covid-19, tetapi bagaimana caranya agar penyakit ini tidak menimbulkan keparahan dan kematian lebih banyak,” katanya.
Menurut dia, semua uji klinis vaksin Covid-19 saat ini hanya didesain untuk melihat dampaknya bagi pengurangan gejala dan keparahan, tetapi tidak didesain untuk membuktikan bisa mencegah infeksi dan penularan. ”Yang dibuktikan dari semua uji vaksin Covid-19 saat ini adalah kemampuan mencegah gejala pascainfeksi. Maka, terlepas dari angka efikasi sekian persen, itu kebal dari gejala, bukan infeksi,” kata Ahmad.
Baca juga: Badan POM Setujui Penggunaan Darurat Vaksin Covid-19 Buatan Sinovac
Oleh karena itu, meski risiko terkena gejala menjadi rendah, mereka yang telah divaksinasi masih berpotensi menularkan kepada yang lain yang belum kebagian vaksin. ”Ini perlu disampaikan kepada publik agar mereka yang telah divaksinasi tetap taat terapkan protokol kesehatan. Kita tidak boleh mengabaikan manfaat vaksin, tetapi tidak boleh terlalu membesarkan dan memberi harapan palsu,” katanya.
Menempatkan vaksin sesuai dengan kapasitas dan keterbatasannya menjadi sangat penting. Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, juga mengatakan, sepanjang sejarah, pandemi tidak bisa diakhiri hanya dengan vaksin.
Baca juga; Mutasi Baru SARS-CoV-2 yang Bisa Menyiasati Vaksin
”Penyakit cacar baru bisa dieradikasi setelah 220 tahun sejak vaksinnya ditemukan. Eradikasi ini tidak hanya oleh vaksin, tetapi juga perubahan perilaku masyarakat dan surveilans. Vaksin adalah pelengkap dalam pengendalian pandemi,” katanya.
Sementara itu, polio baru berhasil dikendalikan setelah 30 tahun penemuan vaksin polio. Itu pun sampai sekarang kita hanya berhasil mengeliminasi, bukan mengeradikasinya. Jika eradikasi artinya menghilangkan patogennya, kecuali di laboratorium, eliminasi hanya menghilangkan penularan di komunitas. Namun, patogennya sebenarnya masih ada. ”Sampai sekarang polio masih ada sekalipun tidak lagi menjadi wabah,” ungkapnya.
Sejauh ini, ada tiga kunci agar vaksin bisa efektif memutus penularan Covid-19, yaitu memiliki kemanjuran tinggi, kurva penularan atau angka reproduksi virusnya rendah, dan cakupannya luas. ”Kegagalan vaksinasi ebola beberapa tahun lalu karena kegagalan melandaikan kurva dan rendahnya cakupan, padahal efikasinya tinggi,” kata Dicky.
Untuk mencapai herd immunity, vaksin harus diberikan dalam jumlah yang cukup sebelum kemudian muncul infeksi ulang karena efek kekebalannya pada individu menghilang.
Faktor lain yang juga harus diperhitungkan adalah mutasi virus. Seperti diketahui, SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19 terus bermutasi. Hingga pertengahan Januari 2021 ini, menurut bank data genom virus di Nextrain.org, telah terjadi 15.898 kejadian mutasi pada tingkat asam nukleat yang menyebabkan 9.781 perubahan asam amino virus ini.
Sebagian besar mutasi itu dianggap tidak berpengaruh banyak pada struktur biologi virus. Namun, belakangan semakin banyak varian baru dari hasil mutasi yang mengkhawatirkan, salah satunya mutasi E484K dari varian baru di Afrika Selatan dan Brasil yang mengubah ”domain pengikat reseptor”, bagian penting dari protein lonjakan yang digunakan virus untuk memasuki sel manusia. Ini juga merupakan situs penting di mana antibodi penetral yang disebabkan oleh infeksi atau vaksinasi mengikat virus.
Sejumlah kajian telah menunjukkan, mutasi secara in vitro atau dilaboratorium terbukti berpotensi lolos dari respons imun. Ini tentu saja menjadi kabar buruk karena bisa menjadikan SARS-CoV-2 menyiasati respons imun yang dipicu oleh vaksin.
Kini, program vaksinasi sudah dijalankan dan kita harus totalitas mendukung untuk menyukseskannya. Namun, simultan dengan vaksinasi, ada beberapa pekerjaan rumah yang mendesak untuk diatasi.
Prioritas pertama saat ini adalah mengatasi ancaman kolapsnya fasilitas kesehatan, khususnya di Pulau Jawa, akibat membanjirnya pasien. Upaya segera untuk menambah kapasitas tempat tidur rumah sakit dan jumlah tenaga kesehatan, selain memperbaiki sistem informasi bagi pasien, dan layanan pra-klinis.
Baca juga: Ambruknya Layanan Kesehatan Butuh Solusi Segera
Akan tetapi,upaya di hilir ini tidak akan mencukupi jika laju penularan terus eksponensial. Maka, secara jangka menengah dan panjang, laju penularan dan penambahan kasus harus dikendalikan melalui penguatan surveilans dan perubahan perilaku. Surveilans itu meliputi peningkatan kapasitas tes, lacak, dan isolasi serta perawatan. Sementara perilaku, artinya masyarakat harus memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Tanpa pengendalian penularan, tidak hanya laju kasus dan kematian akan meningkat, tetapi program vaksinasi juga bisa gagal. Ditambah lagi, kasus yang tak terkendali memberi peluang munculnya mutasi-mutasi baru, yang bisa jadi lebih berbahaya.