Redistribusi Tanah Masih Rendah, Reforma Agraria Belum Optimal
Redistribusi tanah sebagai bagian dari agenda reforma agraria masih sangat rendah. Pemerintah dituntut lebih serius memenuhi janjinya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini pemerintah dinilai tidak mampu mengoptimalkan agenda reforma agraria yang bertujuan mengurangi ketimpangan dan menyelesaikan konflik struktural di tingkat tapak. Hal ini ditunjukkan dari masih adanya ketimpangan dan konflik agraria struktural. Realisasi reforma agraria yang dijalankan saat ini juga hanya sebatas membagikan sertifikat tanah.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat meluncurkan laporan kebijakan agraria selama 2020 bertajuk ”Status Reforma Agraria di Indonesia” secara daring, Rabu (13/1/2021).
Dewi mengemukakan, tidak optimalnya agenda reforma agraria salah satunya dapat dilihat dari program tanah obyek reforma agraria (TORA) yang realisasisnya tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat arus bawah. Sebaliknya, kebijakan dan realisasi TORA selalu diputuskan sepihak oleh pemerintah.
Tidak mungkin orang masuk menjadi subyek reforma agraria tanpa memiliki rencana ekonomi kerakyatan dan memiliki satu kelembagaan sosial ekonomi.
Dalam berbagai kesempatan, masyarakat kerap menyampaikan masukan dan tuntutannya kepada pemerintah terkait dengan reforma agraria ini. Sejumlah tuntutan itu di antaranya perbaikan situasi atas meningkatnya kondisi petani yang menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar (guremisasi) dan masyarakat miskin tak bertanah serta pengakuan wilayah adat atas klaim konsesi.
”Indikator suksesnya reforma agraria itu tidak pernah berbicara soal sejauh mana dampak dari capaian yang dirilis terhadap pengurangan jumlah petani gurem. Apakah petani gurem yang saat ini mencapai 16 juta rumah tangga sudah terintervensi dan memperoleh dampak positif dari proses reforma agraria yang dijalankan,” ujarnya.
KPA mencatat, hingga akhir 2020, dari 532 lokasi prioritas reforma agraria (LPRA), baru 13 desa di 6 wilayah LPRA seluas 1.955 hektar yang telah diredistribusikan kepada petani. Artinya, realisasi reforma agraria hanya mencapai 0,2 persen dari total LPRA. Sementara untuk realisasi klaim hak guna usaha (HGU) BUMN, konflik hutan tanaman industri (HTI), dan wilayah transmigrasi berkonflik lainnya belum ada perkembangan.
Sepanjang 2020, kata Dewi, realisasi reforma agraria juga masih menggunakan kerangka kerja yang sama dengan periode lalu dengan dua skema besar kebijakan legalisasi aset dan redistribusi tanah. Padahal, skema legalisasi aset atau sertifikasi tanah banyak dikritik masyarakat karena hal itu hanyalah sebuah tahapan akhir dan tidak menyelesaikan persoalan utama.
Dua skema reforma agraria tersebut juga tetap dijalankan pada periode 2020-2024 yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN 2020-2024 menargetkan 8,56 juta hektar lahan yang terbagi atas legalisasi aset (4,5 juta hektar) dan redistribusi tanah (4,067 juta hektar).
Guna optimalisasi ke depan, menurut Dewi, dibutuhkan sejumlah langkah, antara lain meminta presiden memimpin langsung pelaksanaan reformasi agraria yang paralel dengan penyelesaian konflik agraria struktural. Pada tataran regulasi, pemerintah juga perlu segera mengesahkan revisi peraturan presiden tentang reforma agraria sesuai dengan aspirasi dan tuntutan perbaikan dari bawah.
”Dari sisi implementasi, secara serius dan setara kementerian yang terlibat membuka partisipasi aktif masyarakat sipil dan gerakan reforma agraria dalam mendaftarkan lokasi prioritas. Mulai prioritaskan proses dari bawah ke atas dan buka ruang bagi masyarakat ataupun petani untuk mendaftarkan lokasi prioritas dan mengorganisasikan penerima manfaat,” tuturnya.
Sistem administrasi
Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, mengatakan, pihaknya melihat sejumlah aspek yang perlu dibenahi jika ingin mempercepat realisasi reforma agraria. Menurut dia, harus ada dukungan politik yang kuat dengan tidak hanya membentuk gugus tugas reforma agraria, tetapi juga membuat sistem administrasi sehingga memudahkan Ombudsman melihat dan menangani aduan masyarakat.
”Harus dibuat juga sistem requirement persyaratan tentang rencana ekonomi rakyat. Tidak mungkin orang masuk menjadi subyek reforma agraria tanpa memiliki rencana ekonomi kerakyatan dan memiliki satu kelembagaan sosial ekonomi. Selain itu, perlu dibuat juga sistem pengendalian dan evaluasi,” ucapnya.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Hardwinarto mengatakan, terkait dengan TORA, pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam prosedur pelaksanaannya juga telah diatur bahwa masyarakat dapat mengusulkan obyek reforma agraria dan dihimpun oleh bupati/wali kota, lalu diajukan ke pusat oleh gubernur.
”Setiap dua kali setahun KLHK juga mengeluarkan peta indikatif untuk TORA guna memetakan permukiman, lahan garapan, dan sebagainya. Peta indikatif ini pasti tidak sempurna luasnya wilayah kita sehingga muncul tim inventarisasi yang beranggotakan mulai dari pemerintah usat, daerah, hingga masyarakat,” katanya.
Sementara terkait dengan konflik agraria, Sigit mengakui bahwa penyelesaiannya tidak mudah. Masalah konflik agraria saat ini ditangani oleh Kantor Staf Presiden. Sementara dari KLHK, Sigit menyebut telah disusun waktu perencanaan untuk penyelesaian konflik agraria.