Melawan Kejahatan Lingkungan di Hulu Sarolangun
Dulu, kerusakan hutan di hulu Sarolangun terancam masuknya pertambangan gamping. Saat ancaman itu berhasil diatasi, tambang emas liar bertubi-tubi merusak hutan dan sungainya.
Ancaman tak henti-hentinya harus dihadapi masyarakat adat di hulu Sarolangun, Jambi. Dulu kerusakan hutan terancam masuknya pertambangan gamping. Saat ancaman itu berhasil diatasi, muncul lainnya yang lebih dahsyat. Tambang emas liar bertubi-tubi mencabik keasrian hutan beserta aliran sungai-sungainya.
Masuknya tambang emas liar tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menciptakan konflik sosial. Ketika warga berusaha mengusir, mereka menuai ancaman.
Pernah suatu kali operator tambang emas menolak pergi saat diusir, warga terpaksa membakar alat beratnya. Kejadian itu berbuntut intimidasi.
Kami marah karena sudah mati-mati-matian merawat hutan ini ternyata kayu-kayu dijarah, sungai dirusak, dan kandungan emasnya dicuri.
”Jalan masuk menuju desa kami dipalang oleh pekerja tambang keesokan harinya. Warga yang hendak menuju desa ditahan di muka palang dan diinterogasi,” kata Zawawi, Ketua Lembaga Pengelola Sumber Lubuk Bedorong, Jumat (8/1/2021).
Setelah warga melapor ke kepolisian sektor terdekat serta Kepolisian Resor Sarolangun, aparat turun tangan. Palang pun dibongkar.
Baca Juga: Warga Usir Petambang Emas Ilegal
Kekayaan alam yang terkandung di bentangan Bukit Barisan itu diketahui melimpah. Tahun 2013, ada perusahaan semen mengincar kawasan karst setempat, termasuk di dalamnya merupakan Hutan Adat Bukit Bulan, untuk eksploitasi gamping.
Warga di hulu Sungai Limun dan desa-desa sekitarnya menolak keras. Perjuangan mereka berbuah. Hutan adat dikeluarkan dari areal izin tambang.
Lebih lanjut, masyarakat adat mengusulkan legalitas pengelolaan pada Hutan Lindung Bukit Bulan dan Bukit Tinjau Limau. Tahun 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merestuinya lewat skema hutan adat seluas total 5.330 hektar.
Baca Juga: Tambang Liar Bayangi Kelestarian Hutan Adat
Empat tahun berselang, keasrian hutan terusik oleh keruhnya anak sungai yang alirannya bermuara ke Sungai Limun dan Batangasai. Saat ditelusuri lebih ke hulu, ternyata ada aktivitas tambang liar.
Pelakunya menggunakan eskavator untuk mengeruk emas di badan dan tepi sungai. Masyarakat pun mendatangi dan mengusir. Oleh karena pekerja tambang menolak pergi, terjadilah ketegangan. Warga membakar alat berat tersebut.
Pembakaran alat berat sempat menghentikan tambang liar. Air sungai kembali jernih, tetapi tidak berlangsung lama.
Agustus 2020, air sungai kembali keruh. Setelah diselidiki, ternyata ada alat berat yang kembali masuk dalam hutan. Bahkan, kali ini tak hanya emas yang dikeruk. Kayu-kayu besar dalam hutan turut djiarah.
”Kami marah karena sudah mati-mati-matian merawat hutan ini ternyata kayu-kayu dijarah, sungai dirusak, dan kandungan emasnya dicuri,” tambahnya.
Baca Juga: Berkali-kali Diusir, Tambang Liar Gempur Hutan Desa
Kemarahan warga tak dapat ditahan. lebih dari 100 warga berbondong-bondong ke dalam hutan untuk mengusir petambang liar. Alat berat kembali dibakar.
Namun, anehnya, petambang liar seperti tak kapok. Setelah warga pulang, tak lama berselang alat berat lainnya masuk ke hutan. Bahkan, kali ini tidak tanggung-tanggung. Jumlahnya lima unit sekaligus.
Karena menyadari gawatnya kondisi tersebut, masyarakat melaporkan ke pemda dan polres di Sarolangun, serta Polda Jambi, Dinas Kehutanan Jambi, hingga Kementerian LHK.
Merespons laporan itu, aparat membentuk tim operasi tim Gabungan Pemda Sarolangun, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta kepolisian resor dan TNI di wilayah Sarolangun. Pada jadwal yang telah ditentukan, rencana operasi bocor.
Saat tim gabungan tiba di lokasi, tak tampak lagi alat-alat berat. Hanya tersisa perlengkapan petambang, seperti ayakan emas, bahan bakar alat berat, dan sejumlah perlengkapan lain.
Melihat hasil tak sesuai target, tim gabungan pun balik arah. Namun, bagaikan bermain kucing-kucingan, petambang liar kembali membawa masuk alat berat ke dalam hutan. Kondisi inilah yang sungguh merisaukan masyarakat.
Baca Juga: Negara Didesak Serius Atasi Tambang Liar Emas
Hingga kini, lanjut Zawawi, masyarakat belum dapat memastikan aktor utama di balik aktivitas tambang emas ilegal tersebut. Namun, lima nama disebut-sebut turut memodali masuknya alat-alat berat untuk mengeruk emas.
Salah satunya, He, pegawai negeri sipil di Pemkab Sarolangun. Adapun empat lainnya berinisial Hr, Am, Za, dan AS yang merupakan warga lokal. Hr merupakan kakak kandung Kepala Desa Lubuk Bedorong Bayu Yustino, sedangkan Za merupakan kepala dusun.
”Nama-nama ini telah kami laporkan ke Polres Sarolangun,” katanya.
Kompas menghubungi Bayu melalui telepon, tetapi tidak diangkat. Pesan singkat yang Kompas kirimkan lewat aplikasi Whatsapp terbaca, tetapi tidak dibalas.
Terkait laporan warga, Kepala Polres Sarolangun Ajun Komisaris Besar Sugeng Wahyudiono mengatakan tengah mendalami kasus tersebut dan terkait keterlibatan mereka. ”Masih didalami oleh Satuan Reskrim (Polres Sarolangun). Sementara ini status mereka masih saksi,” ujarnya.
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Sarolangun Hudri mengatakan, aktivitas tambang ilegal sudah sangat meresahkan masyarakat setempat. Upaya penertiban pun telah sempat dilakukan bersama-sama masyarakat. Namun, petambang kembali datang. Untuk itu, penanggulangan tengah dicoba diupayakan lewat koordinasi aparat gabungan.
Baca Juga: Pembela Lingkungan Belum Terlindungi
Kepala Kesatuan Hutan Produksi Limun Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Limau, Sarolangun, Misriadi membenarkan adanya praktik tambang emas liar yang bertambah masif di wilayah hutan itu. ”Pasca-operasi gabungan sebanyak dua kali, petambang liar malah semakin nekat,” ujarnya.
Sebelumnya, Misriadi juga mengindikasikan petambang yang sempat lari berupaya menghimpun lagi sumber dayanya. ”Bahkan, kali ini mereka masuk dengan kekuatan alat berat yang dampaknya lebih masif merusak lingkungan,” lanjutnya. Menurut dia, untuk menuntaskan persoalan itu, perlu dukungan aparat dari pusat.
Baca Juga: Penyusutan Hutan di Jambi Ganggu Keseimbangan Ekosistem
Kandungan emas yang melimpah di wilayah hulu Jambi tertuang dalam buku The History of Sumatera, karya peneliti William Marsden. Ia menyebut kandungan emas yang sangat melimpah di Jambi diekspor melalui Padang.
Kekayaan itu menjadikan Jambi dikenal sebagai salah satu eksportir emas terbesar se-Sumatera. Sejak 1750, sebanyak 80 persen ekspor Jambi dikuasai komoditas emas. Temuan serupa di tempat lain sehingga mengangkat nama Sumatera dijuluki Suwarnadwipa alias Pulau Emas.
Mendulang emas yang menjadi tradisi di masa lalu, belakangan berganti alat dompeng. Sejak lima tahun terakhir, dompeng pun mulai digantikan eskavator. Meski berbiaya lebih mahal, hasil pengerukan emas dengan alat berat disebut-sebut lebih optimal.
Saat demam emas terus meluas, nyaris tak ada lagi aliran sungai yang jernih airnya. Sungai Sipa, Sungai Jernih, serta anak-anak Sungai Limun dan Batangasai merupakan sandaran akhir masyarakat di hulu.
Turun-temurun air sungai menjadi sumber kehidupan yang penting. Sebagai kepala sauk dan lubuk larangan. Kepala sauk berarti sungai, alias hulu sungai yang patut dijaga. Lubuk larangan adalah warisan pangan berkelanjutan bagi generasi anak-cucu.
Selain menjadi sumber air minum dan lubuk larangan, keberadaan sungai merupakan sarana transportasi, irigasi, hingga pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Adapun emas diperoleh lewat cara tradisional, yakni mendulang.
Baca Juga: Adat Menjaga Tak Silau oleh Emas
Wilayah itu juga memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Dari inventarisasi oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi pada 2005, teridentifikasi sebanyak 103 spesies flora, yang sebagian di antaranya berdiameter besar sehingga berpotensi sebagai penyerap karbon.
Tersebar pula 38 spesies burung dan 13 jenis mamalia. Sebagian di antara mamalia itu bahkan masuk Appendix I daftar CITES, yaitu macan dahan (Neofelis nebulosa), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctus malayanus), dan ungko (Hylobathes agillis). Keragaman hayati masih didapat karena kondisi hutan yang terjaga.
Menurut Zawawi, jauh sebelum dikukuhkan sebagai hutan desa, masyarakat pun selalu menjaga. Bahkan, ada kesepakatan di antara desa-desa di sekeliling hutan untuk sama-sama melindungi hutan itu.
Tokoh masyarakat setempat, Warman, menambahkan, kesepakatan bersama itu tertuang dalam bentuk surat pernyataan perlindungan hutan, yang ditandatangani bersama oleh para perangkat desa dan Tengganai Nan Balimo pada 8 April 2015. Surat kesepakatan serta rangkaian perjuangan itulah wujud kesungguhan masyarakat menjaga hutan.
”Tetapi, lihatlah sungai kami sekarang. Airnya sudah sangat keruh,” katanya. Pemerintah agar serius menindak persoalan itu.
Baca Juga: Nestapa Upaya Menjaga Lingkungan