Kematian akibat Gigitan Ular Melonjak Selama Pandemi
Tingkat kematian akibat gigitan ular di Indonesia selama kurun 2020 hingga awal 2021 mencapai 10 persen. Tingginya angka kematian itu disebabkan banyak korban terlambat mendapat penanganan medis.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menyebabkan risiko keterlambatan penanganan berbagai penyakit atau kejadian darurat lain yang membutuhkan penanganan segera, termasuk gigitan ular berbisa. Tingkat kematian akibat gigitan ular di Indonesia selama kurun 2020 hingga awal 2021 mencapai 10 persen.
”Sejak Januari 2020 sampai awal Januari 2021 ini ada sekitar 627 kasus gigitan ular di Indonesia yang dilaporkan. Sebanyak 62 orang di antaranya meninggal,” kata ahli gigitan ular berbisa yang juga Presiden Toxynologi Indonesia, Tri Maharani, Senin (11/1/2021).
Hal itu berarti sekitar 10 persen dari korban gigitan ular berbisa di Indonesia meninggal. Padahal, menurut Tri, tingkat kematian karena gigitan ular berbisa secara global rata-rata 2 persen.
Menurut Tri, kasus gigitan ular dan tingkat kematiannya cenderung meningkat selama masa pandemi. Pada 2019, kasus gigitan ular berbisa di Indonesia 587 dan yang meninggal 52 orang. ”Kasus gigitan ular dan korban jiwanya di lapangan kemungkinan jauh lebih banyak karena data ini hanya yang kami dapatkan berdasarkan laporan warga,” ujarnya.
Sementara pada 2018 jumlah kasus gigitan ular dilaporkan 782 orang dan yang meninggal 49 orang. Pada 2017 kasus gigitan ular 689 dan yang meninggal 42 orang.
”Meningkatnya risiko kematian kasus gigitan ular ini karena keterlambatan penanganan akibat penuhnya rumah sakit. Terakhir, kemarin ada pasien gigitan ular berbisa di Bogor yang hanya bisa dilayani sambil duduk di kursi roda karena UGD tidak ada tempat tidur lagi,” kata Tri.
Selain itu, ada dua kasus korban gigitan ular di Jakarta yang juga positif Covid-19. Hal ini mempersulit upaya penanganan, khususnya bagi tenaga kesehatan yang menanganinya. Sebelum melakukan tindakan, tenaga kesehatan harus lebih hati-hati, termasuk menyiapkan alat pengaman diri yang memadai.
Meningkatnya risiko kematian kasus gigitan ular ini karena keterlambatan penanganan akibat penuhnya rumah sakit.
Tri menambahkan, selama musim hujan, risiko kasus gigitan ular akan meningkat karena musimnya telur-telur ular menetas. Untuk ular kobra, habitatnya juga banyak di sekitar perumahan, seperti kerap ditemukan di Jakarta dan sekitarnya.
Ketersediaan serum
Selain keterlambatan penanganan, tingginya risiko kematian karena gigitan ular berbisa di Indonesia disebabkan minimnya ketersediaan jumlah dan jenis serum antivenom di rumah sakit di Indonesia. Sebagian besar ular berbisa di Indonesia belum ada serum antivenom yang tersedia di dalam negeri.
”Sampai saat ini Indonesia hanya memiliki tiga serum antibisa atau antivenom, yaitu untuk gigitan ular kobra (Naja sputatrix), ular belang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). Tiga serum ini biasanya dipakai polivalen untuk lima jenis gigitan ular karena kobra ada dua jenis, yaitu kobra jawa dan kobra sumatera, demikian juga welang ada dua jenis,” kata Tri.
Padahal, kita memiliki keragaman ular berbisa paling tinggi. Indonesia diketahui memiliki 77 spesies ular berbisa, termasuk ular laut. Jumlah ini sangat besar dibandingkan dengan negara lain, misalnya Malaysia hanya memiliki 30-40 spesies, Thailand 40 spesies, Taiwan 6 spesies, dan India 45 spesies.
Bahkan, Indonesia juga belum memiliki serum antibisa ular king kobra (Ophiophagus hannah), yang telah menelan banyak korban. ”Untuk menangani pasien gigitan king kobra, saya biasanya harus ambil sendiri ke Thailand dan kebanyakan memakai biaya sendiri,” kata Tri yang mendonasikan gajinya sebagai dokter untuk membantu para pasien gigitan ular di Indonesia.
Menurut Tri, Indonesia memiliki keragaman jenis ular berbisa sangat tinggi dan sebagian endemik sehingga tidak ditemukan serum antivenomnya di negara mana pun. Wilayah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan memiliki jenis ular berbisa yang mirip dengan daratan Asia sehingga antibisanya banyak diproduksi di Thailand dan negara Asia lain. Sementara Papua memiliki kemiripan jenis ular dengan Australia sehingga serumnya bisa diimpor dari Australia sekalipun harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Kondisi global
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020 menyebutkan, 4,5-5,4 juta orang di seluruh dunia digigit ular setiap tahun. Dari jumlah ini, 1,8-2,7 juta mengalami penyakit klinis dan 81.000 hingga 138.000 meninggal karena komplikasi.
India merupakan salah satu negara yang mengalami kasus gigitan ular terbanyak. Mereka yang berisiko tinggi terkena gigitan ular terutama pekerja pertanian perdesaan, penggembala, nelayan, pemburu, pekerja anak, dan orang yang tinggal di rumah yang dibangun dengan kondisi buruk.
Studi oleh Wilson Suraweera dari Centre for Global Health Research Unity Health Toronto di jurnal Epidemiology and Global Health pada Juli 2020 menyebutkan, India memiliki 1,2 juta kematian akibat gigitan ular dari tahun 2000 hingga 2019 atau rata-rata 58.000 per tahun. Hampir setengah dari korban berusia 30-69 tahun dan lebih dari seperempatnya merupakan anak-anak di bawah usia 15 tahun.
Peneliti reptil dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy, mengatakan, pada musim hujan tahun ini kasus kemunculan ular berbisa di sekitar perumahan warga di Jakarta dan sekitarnya, khususnya ular kobra, relatif kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ”Tidak sebanyak laporan tahun lalu, di mana puncaknya terjadi pada Desember,” katanya.
Menurut Amir, fenomena ini bisa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, khususnya faktor cuaca dan kelembaban ataupun perilaku orang. ”Selama pandemi, orang banyak di rumah sehingga mungkin kondisi rumah dan lingkungan sekitar lebih terjaga,” tuturnya.
Sekalipun demikian, masyarakat tetap mewaspadai hingga akhir musim hujan. ”Bisa jadi ada pergeseran waktu bertelur atau menetasnya. Namun, yang jelas daya adaptasi ular kobra Jawa di sekitar perumahan warga sangat bagus karena sumber pakannya banyak. Bahkan, lebih banyak di sekitar perumahan dibandingkan dengan di hutan,” ujarnya.