Pembungkaman Pejuang Lingkungan Marak di Bangka Belitung
Pembungkaman terhadap pejuang lingkungan masih terjadi di Bangka Belitung. Bahkan, beberapa pegiat harus mendekam di penjara karena dinilai vokal menyuarakan aspirasinya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
SUNGAI LIAT, KOMPAS — Pembungkaman terhadap pejuang lingkungan marak terjadi di Bangka Belitung. Bahkan, beberapa pegiat, masyarakat, dan aktivis harus mendekam di penjara karena dinilai vokal menyuarakan aspirasinya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung mencatat, setidaknya ada 10 orang yang dilaporkan ke ranah hukum pada 2020 karena bersuara menentang aktivitas yang merusak lingkungan.
Kasus terbaru yaitu diadilinya enam mantan ketua RT di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Mereka adalah M Yusuf, Samsul Efendi, Mulyadi, Robandi, Heti Rukmana, dan Adi Tama. Mereka didakwa menggunakan jabatannya untuk mengumpulkan warga guna memprotes aktvitas sebuah perusahaan tepung tapioka yang diduga mencemari lingkungan di kawasan permukiman tersebut.
Zaidan, kuasa hukum keenam mantan ketua RT tersebut, ketika dihubungi dari Palembang, Jumat (8/1/2021), menuturkan, kasus ini bermula dari inisiatif warga untuk memprotes aktivitas perusahaan tepung tapioka yang menyebabkan pencemaran lingkungan. ”Limbah yang mereka hasilkan membuat kondisi lingkungan di Kelurahan Kenanga menjadi bau,” ucapnya.
Itulah sebabnya, pada 24 Mei 2020, ujar Zaidan, ada seorang warga yang berinisiatif untuk mengumpulkan keluhan warga dengan menyebarkan surat undangan. Di dalam surat undangan tersebut terdapat tanda tangan dari sembilan ketua RT di kelurahan kenanga.
”Dalam surat undangan itu keberadaan mereka hanya sebatas mengetahui adanya kegiatan tersebut,” ujar Zaidan.
Namun, ada warga lain yang mengadukan enam dari sembilan ketua RT tersebut karena dugaan penyalahgunaan jabatan. Itu terjadi karena keenam orang itu sejak 22 April 2020 mengundurkan diri dari jabatan ketua RT.
”Memang keenamnya sudah mengundurkan diri. Namun, sampai Juni 2020, mereka masih menjalankan fungsi sebagai ketua RT,” ucap Zaidan.
Akibat laporan tersebut, keenam orang itu digiring ke Polres Bangka untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas perkara 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyalahgunaan jabatan. Tak lama setelah itu, mereka pun dijadikan tersangka dengan barang bukti stempel yang digunakan untuk cap undangan. Namun, untuk kasus ini, keenamnya tidak ditahan.
Hanya saja, ungkap Zaidan, ketika pihak kepolisian melimpahkan perkara ini ke Kejaksaan Negeri Bangka, keenamnya dikenai pasal tambahan, yakni Pasal 263 KUHP Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang pemalsuan dokumen yang dapat menimbulkan kerugian. ”Karena jeratan pasal inilah, keenamnya ditahan sembari menunggu proses persidangan,” ucapnya.
Penahanan ini tentu cukup mengherankan karena keenamnya tidak melakukan pemalsuan dokumen. ”Mereka tidak membuat surat undangan, tetapi hanya mengetahui bakal ada warga yang berkumpul,” ucap Zaidan. Selain itu, penahanan tersebut juga tidak mempertimbangkan kondisi dua terdakwa, yakni Yusuf dalam keadaan sakit dan Heti dalam keadaan mengandung dua bulan.
Ketika kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Sungai Liat, kasus ini pun disidangkan. Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Bangka pun membacakan dakwaan atas keenam tersangka, yakni Pasal 228 KUHP dan 263 KUHP.
Atas dakwaan tersebut, penasihat hukum keenam terdakwa mengajukan eksepsi karena surat dakwaan dinilai tidak lengkap sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum. Karena itu, mereka meminta agar dakwaan tersebut dibatalkan demi hukum.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Sungai Liat pun mengabulkan eksepsi tersebut. Mereka menilai surat dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap sehingga tidak dapat dijadikan dasar pemeriksaan bagi hakim. ”Karena itu, majelis hakim mengembalikan berkas tersebut kepada penuntut umum,” ucap Arief Kadarmo dari bagian Humas Pengadilan Negeri Kelas 1B Sungai Liat.
Sementara untuk dakwaan kedua terkait pemalsuan dokumen, ujar Arief, tidak diuraikan secara rinci surat apa yang dipalsukan, begaimana cara para terdakwa memalsukan surat tersebut, dan tidak diuraikan bagaimana pemalsuan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
”Atas dasar inilah keenam terdakwa dibebaskan dan berkas dakwaan pun dikembalikan,” ucapnya.
Namun, jaksa kembali membuat surat dakwaan baru dengan dasar perkara yang sama. Proses pesidangan dengan terdakwa yang sama kembali dilakukan pada 29 Desember 2020. Pada Selasa (5/1/2021), lanjut Arief, sidang sudah memasuki tahapan pembacaan eksepsi dari kuasa hukum terdakwa.
Heti Rukmana (28), salah satu terdakwa, mengaku kaget keputusannya untuk menandatangani undangan tersebut membuatnya harus mendekam di penjara selama 18 hari. Dirinya menduga, perkara ini tidak lepas dari adanya rencana warga untuk memprotes aktivitas perusahaan yang membuang limbah di permukiman mereka.
Memang dirinya sudah mengajukan pengunduran diri sebagai ketua RT pada April lalu. ”Namun, pihak kelurahan masih mempercayakan kepada kami untuk menangani urusan warga. Sampai Juni 2020, kami masih menerima gaji walau sudah mengundurkan diri,” katanya.
Bahkan, sebelum undangan ini, beberapa surat pernyataan juga sudah pernah dibuat dengan tanda tangan dan stempel yang sama, tapi anehnya surat pernyataan itu tidak dipersoalkan. ”Malah, surat undangan inilah yang diperkarakan,” ucap Heti.
Dia menduga perkara ini muncul karena ada intervensi dari beberapa pihak yang tidak suka terhadap rencana warga memprotes aktivitas pencemaran lingkungan yang ada di Kelurahan Kenanga. ”Namun, perkara hukum ini tentu tidak akan membuat kami berhenti bersuara,” kata Heti.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Jessix Amundian menuturkan, tidak hanya kasus ini, beberapa kasus kriminalisasi terhadap pegiat lingkungan juga terjadi di Bangka Belitung. Mulai dari penentangan terhadap aktivitas tambang, tambak, pengerukan di bibir pantai, dan juga aktivitas lain yang mengganggu lingkungan.
”Di sepanjang tahun 2020 saja, setidaknya ada 10 orang yang terseret kasus hukum akibat tindakan mereka yang menentang perusakan lingkungan,” ucapnya.
Walau banyak upaya kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, ujar Jessix, ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus berupaya menentang kegiatan yang dapat mengancam lingkungan. Itu karena kerusakan lingkungan dapat mengancam kehidupan mereka di masa kini dan masa depan.