Meskipun perlindungan bagi pembela lingkungan telah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, implementasi di lapangan masih lemah.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meskipun perlindungan bagi pembela lingkungan telah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, implementasi di lapangan masih lemah. Upaya mereka memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat seperti tercantum dalam konstitusi, masih dibayangi kekerasan dan kriminalisasi.
Pandemi Covid-19 pun tak memudarkan hal itu. Laporan Walhi pada Januari-Oktober 2020, terdapat 19 konflik dan kriminalisasi yang dialami pejuang lingkungan di 12 provinsi. Sementara catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) periode Januari-Agustus 2020, terdapat 50 kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM) bidang lingkungan yang tersebar di 14 provinsi.
Peneliti Elsam, Azka Fahriza menyampaikan, kerentanan kondisi pejuang lingkungan ini karena masih berjalannya pendekatan keamanan militeristik. Selain itu, struktur oligarki yang dipegang oleh kelompok elit dan pengusaha juga turut mendukung kerentanan pejuang lingkungan tersebut.
“Proyek-proyek pembangunan sepertinya masih terus akan digenjot tanpa mengindahkan kritik dan penolakan di level masyarakat yang terdampak proyek-proyek tersebut,” ujarnya di Jakarta, Minggu (10/1/2021).
Sejumlah contoh kriminalisasi terkini di antaranya, aktivis di Samosir, Sumatera Utara, Sebastian Hutabarat dipenjara atas tuduhan penghinaan. Ia sebelumnya dianiaya karena mengkritik tambang galian C di kawasan Danau Toba.
Contoh lain, enam mantan ketua RT di Kelurahan Kenanga, Sungai Liat, Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menghadapi pengadilan. Mereka didakwa menggunakan jabatannya untuk mengumpulkan warga guna memprotes aktivitas perusahaan yang diduga mencemari lingkungan di kawasan permukiman tersebut serta tuduhan pemalsuan dokumen.
Tak memadai
Perlindungan terhadap pembela HAM bidang lingkungan tertuang di sejumlah aturan, salah satunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam Pasal 66, kelompok masyarakat tersebut tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Peneliti Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman memandang, ketentuan Pasal 66 tidak cukup memadai untuk melindungi pejuang lingkungan dibanding masifnya serangan, kekerasan, dan kriminalisasi. Pasal 66 UU PPLH itu juga dianggap sebagai aturan formalitas pasal di atas kertas dan bertolak belakang dengan komitmen perlindungan hak warga negara.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, LPSK masih kerap terkendala dalam mendampingi korban di kasus konflik lingkungan dan agraria. Sebab, mereka kerap dijebak atau dikriminalisasi sehingga seolah-olah menjadi pelaku tindak pidana.
Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga, mengatakan saat ini tantangannya yaitu memastikan pemerintah termasuk Polri menjalankan tugasnya dalam kerangka perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. "Selain itu, juga bagaimana meningkatkan kesadaran dari masyarakat untuk berjuang tanpa kekerasan,” ucapnya.
Di sisi lain, ia mengatakan hingga kini belum ada aturan turunan dari Pasal 66 UU PPLH. Aturan itu berfungsi sebagai pedoman lapangan. Diharapkan, turunan berupa peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan segera disahkan. (MTK/RAM/NSA/DEA)