Pejuang Lingkungan Hidup di Sumatera Utara Terus Terancam
Kisah pejuang lingkungan yang selalu mendapat ancaman hingga kriminalisasi tidak ada habisnya di Sumut. Para pejuang lingkungan diteror, diancam, dikriminalisasi, hingga dianiaya. Ancaman pun membungkam suara kritis.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kisah pejuang lingkungan yang selalu mendapat ancaman hingga kriminalisasi tidak ada habisnya di Sumatera Utara. Para pejuang lingkungan diteror, diancam, dikriminalisasi, hingga dianiaya. Ancaman bagi pejuang lingkungan hidup sebagai upaya membungkam suara kritis.
”Daftar pejuang lingkungan hidup yang diancam dan dikriminalisasi di Sumut terus bertambah panjang. Ini ancaman besar bagi konservasi lingkungan hidup dan demokrasi,” kata Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Doni Latuparissa, Sabtu (9/1/2021).
Sejumlah kasus ancaman terhadap pejuang lingkungan hidup di Sumut yakni kasus kematian pengacara Walhi, Golfrid Siregar; ancaman kriminalisasi terhadap mantan Direktur Walhi Sumut Dana Tarigan; dan kriminalisasi dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Onrizal.
Terbaru, awal tahun ini, pejuang lingkungan hidup Danau Toba, Sebastian Hutabarat, dipenjara atas tuduhan penghinaan. Sebastian juga sebelumnya dianiaya karena mengkritik tambang galian C di kawasan Danau Toba.
Menurut Doni, kematian Golfrid hingga kini masih diselimuti banyak misteri. Ia ditemukan terkapar di Jalan Terowongan Titi Kuning bersama sepeda motornya, Kamis, 3 Oktober 2019, dini hari. Golfrid kritis dan meninggal setelah dirawat di rumah sakit.
Kepolisian Daerah Sumut pun akhirnya menyimpulkan Golfrid meninggal karena kecelakaan lalu lintas. ”Namun, menurut kami kesimpulan itu terlalu dini dan minim bukti,” kata Doni.
Doni mengatakan, kematian Golfrid tidak terlepas dari aktivitasnya yang merupakan kuasa hukum Walhi Sumut dalam sejumlah kasus gugatan lingkungan hidup. Golfrid juga Koordinator Pengacara Lingkungan Hidup Sumut, lembaga bentukan Walhi Sumut. Ia juga Manajer Kajian Hukum Walhi Sumut.
Doni menyebut sejumlah kejanggalan hingga kini belum terjawab, seperti adanya luka memar di wajah dan retak di kepala meski tidak ada luka gores di tubuh. Saat ditemukan, celana panjang yang dikenakan Golfrid juga berlumur lumpur, padahal dia terjatuh di jalan aspal. Sepeda motornya juga tidak ada kerusakan parah.
Ancaman lain juga dihadapi dosen Fakultas Kehutanan USU, Onrizal. Ia beberapa kali dipanggil penyidik Polda Sumut karena mengunggah di media sosialnya tautan berita tentang ancaman yang dihadapi populasi orangutan Tapanuli akibat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan.
”Ini bukan saja ancaman kepada diri saya, melainkan juga pada lingkungan hidup, kebebasan akademik, dan demokrasi,” kata Onrizal.
Kasus Onrizal bermula saat dia menjadi saksi gugatan izin lingkungan hidup terhadap PLTA Batang Toru pada 2019. Gugatan itu diajukan oleh Walhi Sumut dengan Golfrid sebagai kuasa hukumnya.
Onrizal dihadirkan sebagai saksi karena tanda tangannya dipalsukan dalam dokumen adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTA Batang Toru. ”Majelis hakim ketika itu meminta saya melaporkan pemalsuan itu ke kepolisian,” kata Onrizal.
Namun, laporan tersebut tak pernah ditanggapi karena Onrizal tidak bisa memberikan dokumen asli amdal itu. ”Yang terjadi justru saya dilaporkan karena unggahan saya tentang penyelamatan orangutan Tapanuli,” kata Onrizal.
Belakangan, Onrizal mengetahui bahwa dia dilaporkan oleh pegawai perusahaan humas yang bekerja sama dengan PT North Sumatera Hydro Energi, perusahaan pengembang PLTA Batang Toru.
Unggahan Onrizal tersebut adalah tautan artikel dari alert-conservation.org. Artikel itu berisi tentang surat terbuka dari 25 ilmuwan dunia yang meminta agar Presiden Joko Widodo menghentikan proyek PLTA Batang Toru. Proyek itu dinilai mengancam populasi orangutan Tapanuli yang jumlahnya tinggal 800 individu lagi.
”Artikel itu berbasis ilmu pengetahuan. Kalau ada yang tidak setuju seharusnya didiskusikan di ruang akademik. Bukan melaporkan ke polisi,” kata Onrizal.
Onrizal pun sangat dirugikan dengan laporan itu. Panggilan pertama untuk pemeriksaan sebagai saksi dikirimkan ke rumahnya setelah jadwal yang tertera sudah lewat. Panggilan kedua bahkan langsung dikirim ke Kampus USU.
Onrizal pun akhirnya memenuhi panggilan tersebut dan diperiksa polisi sebagai saksi pada Februari 2020. Status kasus itu pun dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. ”Namun, hingga kini saya tidak tahu bagaimana kelanjutan kasus itu,” kata Onrizal.
Kasus terbaru adalah pemenjaraan aktivis lingkungan hidup Danau Toba, Sebastian Hutabarat. Ia ditangkap tim gabungan kejaksaan setelah dijatuhi vonis satu bulan penjara di tingkat banding. Ia dituduh menghina pemilik tambang galian C di Kabupaten Samosir, Jautir Simbolon.
”Beginilah potret hukum kita. Kami sangat prihatin kala seseorang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup Danau Toba, tetapi harus berakhir dengan pemenjaraan,” kata Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan.
Maruap mengatakan, Sebastian bersama Johannes Marbun, aktivis dari YPDT, awalnya dianiaya oleh pemilik tambang pada Agustus 2017. Jautir pun telah divonis satu bulan penjara atas kasus itu. Sebastian juga dilaporkan balik atas tuduhan penghinaan. Padahal, Sebastian hanya mengkritik galian C karena mengancam lingkungan hidup Danau Toba.