Komnas HAM Akui Perlindungan bagi Pembela Lingkungan Masih Lemah
Meski perundangan menyatakan perlindungan bagi pembela lingkungan, hal itu belum berjalan. Selain mendorong aturan teknisnya, Komnas HAM mengimbau pembela lingkungan berjuang tanpa kekerasan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun hak pembela lingkungan sudah diakui dalam peraturan perundang-undangan, implementasi di lapangan masih lemah. Aparat penegak hukum masih kurang memahami regulasi tersebut. Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM juga terus mendorong agar pembela lingkungan untuk mengedepankan perjuangan tanpa kekerasan.
Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (10/1/2021), mengatakan, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui hak pembela hukum. Dalam pasal 66 UU 32/2009 disebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Bahkan, Komnas HAM sendiri juga memasukkan pembela lingkungan sebagai pembela hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, penerapan aturan itu di lapangan masih lemah. Masih banyak pembela lingkungan yang dikriminalisasi.
Catatan Komnas HAM, program pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik agraria. Selain itu, juga karena adanya kebijakan penetapan kawasan hutan dan penerbitan izin-izin yang berlangsung sejak tahun 1970.
Sepanjang 2012-2019 ada 547 konflik agraria diadukan dan ditangani Komnas HAM. Sebanyak 84 di antaranya terkait dengan proyek infrastruktur. Hal tersebut, menurut Sandrayati, menunjukkan bahwa konflik agraria meningkat akibat pembangunan infrastruktur yang meluas. Eskalasi konflik pun meningkat dan akhirnya berimplikasi pada pelanggaran HAM, baik hak ekonomi, sosial, budaya, maupun hak sipil dan politik.
”Pada tahun 2020, konflik agrarian akibat pembangunan infrastruktur proyek strategis nasional di antaranya pembangunan pelabuhan baru Makassar, Sirkuit MotoGP di Mandalika, Lombok, NTB, dan pengembangan kawasan wisata Danau Toba, Sumatera Utara,” kata Sandrayati.
Dia menambahkan, konflik agrarian diprediksi akan terus meningkat eskalasinya dengan adanya UU Sapu Jagat (omnibus law), yaitu UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Berbagai aturan kemudahan bagi investor baik dalam memperoleh, mengakumulasi tanah, dianggap melemahkan perlindungan atas HAM.
”Aturan di UU memang sudah ada untuk melindungi pembela lingkungan. Namun, aturan turunan yang berfungsi sebagai pedoman lapangannya belum ada. Di sisi lain, aparat penegak hukum seperti kepolisian juga tidak memiliki SOP khusus untuk menangani konflik agraria,” ujar Sandrayati.
Dia berharap, ke depan peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan yang menjadi peraturan turunan UU 32/2009 segera disahkan. Aturan itu diharapkan menjadi pedoman dalam melindungi aktivis pembela lingkungan.
Pemerintah juga didorong untuk bersinergi dengan pemangku kepentingan untuk mengkaji lebih dalam aturan perlindungan pembela lingkungan. Diperlukan desain komprehensif dan langkah-langkah strategis bersama agar aturan tersebut tidak menjadi macan kertas.
Saya berpesan kepada para aktivis, jangan terjebak pada situasi dan utamakan penyelesaian tanpa kekerasan. (Hasto Atmojo Suroyo)
”Sekarang, tantangannya adalah bagaimana memastikan pemerintah termasuk Polri menjalankan tugasnya dalam kerangka perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Selain itu, juga bagaimana meningkatkan kesadaran dari masyarakat untuk berjuang tanpa kekerasan,” kata Sandrayati.
Terkendala
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, LPSK masih kerap terkendala dalam mendampingi korban di kasus konflik lingkungan dan agraria. Sebab, para pelaku kerap dijebak atau dikriminalisasi sehingga seolah-olah menjadi pelaku tindak pidana.
Ketika dinyatakan sebagai tersangka, LPSK tidak bisa mendampingi. Sebab, LPSK hanya bisa mendampingi saksi dan korban.
”Saya berpesan kepada para aktivis, jangan terjebak pada situasi dan utamakan penyelesaian tanpa kekerasan. Jika mereka ditetapkan sebagai tersangka, akan sulit juga bagi LPSK untuk mendampingi,” kata Hasto.
Hasto mengakui, lembagai lembaga negara LPSK memiliki keterbatasan. Berbeda dengan lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga independen yang bisa bersikap proaktif dalam mendampingi saksi dan korban.
Sesuai aturan, LPSK hanya bisa mendampingi saksi dan korban yang terancam jiwanya dalam kasus pidana. LPSK tidak bisa masuk dalam kasus perdata. Jika memang ada ancaman jiwa yang nyata, seperti kasus pembakaran rumah dalam sengketa lahan di Nusa Tenggara Barat (NTB), LPSK akan masuk mendampingi korban.
”Ada kompleksitas dalam pendampingan kasus-kasus lingkungan dan agraria. Apalagi, jika korban dijadikan tersangka. LPSK, kan, ranahnya di kasus pidana, yaitu mendampingi saksi dan korban,” kata Hasto. (DEA)