Membangun Asa Menjaga Kelangsungan Mamalia Darat Terbesar
Sebagai fauna payung dalam penyelamatan belantara dan seisinya, pelestarian gajah di Indonesia sangat berarti. Upaya-upaya konservasi agar terus didukung dengan langkah-langkah nyata.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Meski upaya perlindungan telah dilakukan, sepanjang 2020 masih terdapat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang mati akibat faktor manusia. Melalui strategi konservasi dan resolusi penanganan konflik yang optimal, belum ada kata terlambat untuk menyelamatkan mamalia darat terbesar yang masih hidup di dunia ini dari ancaman kepunahan.
Badan Konservasi Dunia (IUCN) sejak 2012 mengategorikan gajah sumatera sebagai satwa dengan populasi kritis atau sangat terancam punah (critically endangered/CR). Ini membuat gajah sumatera menjadi satu-satunya subspesies gajah di dunia yang berada dalam kategori paling terpuruk. Meski belum kritis, seperti gajah sumatera, populasi gajah kalimantan, menurut IUCN, juga masuk dalam kategori terancam (endangered/EN).
Dalam Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES), gajah sumatera dan gajah kalimantan juga dimasukan dalam kelompok Appendix I di Indonesia sejak 1990. Kedua spesies ini tidak boleh diperdagangkan, termasuk gading dan organ tubuh lainnya.
Meski demikian, kondisi gajah sumatera yang sangat terancam punah tampaknya tidak membuat sejumlah pihak, khususnya masyarakat, memperkuat aksi konservasi guna menyelamatkan jenis mamalia darat terbesar di dunia ini. Sebaliknya, sampai saat ini masih banyak gajah sumatera dan kalimantan yang mengalami kematian akibat faktor atau konflik dengan manusia.
Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat, sepanjang 2020 terdapat 19 kematian gajah liar dengan lokasi terbanyak di Aceh, Jambi, dan Riau. Mayoritas gajah tersebut mati karena jerat listrik, racun, perburuan, dan seling baja. Dari jumlah tersebut, hanya tiga gajah yang mati alami.
Kematian gajah liar pada 2020 meningkat dibandingkan tahun 2019 yang tercatat sembilan kematian. Apabila direkap selama satu dekade atau 2011-2020, jumlah kasus kematian gajah mencapai 189 individu.
Dalam upaya konservasi ke depan, Ketua FKGI Donny Gunaryadi menekankan pentingnya kerja sama antarkementerian terkait dengan rencana aksi konservasi gajah. Pun, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk pengelolaan yang aktif juga perlu ditingkatkan.
”Kami berharap ada wilayah-wilayah yang menjadi koridor dan esensial gajah. Populasi yang kritis juga diharapkan bisa diselamatkan. Ada beberapa wilayah yang sudah diidentifikasi dan ada kantong-kantong yang perlu identifikasi lebih lanjut,” ujarnya, Selasa (29/12/2020) lalu.
Sebagai forum kelembagaan, Donny berharap FKGI dapat mengawal implementasi minimal 80 persen strategi yang dirancang dalam strategi dan rencana aksi konservasi (SRAK) gajah 2020-2030 yang telah ditetapkan Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem KLHK.
Sejumlah indikator capaian itu, di antaranya, terbangunnya sistem data dan informasi konservasi gajah, penurunan 75 persen konflik manusia dan gajah di lima provinsi prioritas, serta penurunan tingkat kematian gajah. Selain itu, indikator lainnya ialah meningkatnya angka kelahiran, rehabilitasi minimal 200.000 hektar habitat gajah, serta meningkatnya dukungan masyarakat, pemerintah, ataupun pihak lainnya.
Strategi konservasi
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Exploitasia mengatakan, salah satu upaya meningkatkan populasi gajah kalimantan dapat dilakukan dengan memperluas penyebaran wilayah gajah di perbatasan Indonesia-Malaysia. Hal ini perlu segera ditetapkan mengingat upaya tersebut belum masuk ke dalam rencana tindakan mendesak (RTM) penyelamatan gajah.
Indra juga menyatakan pentingnya strategi konservasi di luar habitat asli (eksitu) bidang genetik agar keragaman genetik gajah tetap terjamin. KLHK mencatat, populasi gajah eksitu di dalam negeri mencapai 483 individu dan 7 individu di luar negeri.
Akan tetapi, pada 2020 hanya dua gajah yang tercatat lahir di konservasi eksitu. Angka kelahiran ini menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019 terdapat empat kelahiran, 2018 lima kelahiran, dan 2017 empat kelahiran.
”Tantangan kita adalah bagaimana kita mampu menciptakan kantong-kantong gajah baru untuk anakan-anakan yang mungkin lahir di kegiatan konservasi eksitu. Kita harus bekerja sama dengan pengelola lembaga konservasi. Sebab, selama ini kita belum banyak berkomunikasi dengan lembaga konservasi, baik di Indonesia maupun luar negeri,” tuturnya.
Selain itu, kata Indra, diperlukan juga terobosan-terobosan yang lebih banyak dalam upaya penanganan konflik antara manusia dan gajah. Salah satu upaya penanganan konflik ketika adanya interaksi adalah dengan melakukan penggiringan dan translokasi gajah.
Setelah itu, dilakukan juga mitigasi kepada masyarakat melalui pembentukan tim wildlife rescue unit (WRU) dan masyarakat mitra polisi hutan (MMP).
Tahun ini, lanjut Indra, potensi penanganan konflik coba dilakukan dengan cara membangun pembatas hijau (green barrier) yang merupakan batas alam jelajah gajah dengan permukiman masyarakat. Di sisi lain, diperlukan juga desain untuk hidup berdampingan antara gajah dan manusia sehingga terwujud harmonisasi pembangunan tanpa mengesampingkan upaya konservasi dan pelestarian gajah.
”Saat ini KLHK sedang menyusun instruksi presiden pengarusutamaan keanekaragaman hayati. Sekretaris kabinet menyambut baik permohonan KLHK menyusun inpres ini. Nantinya setiap sektor wajib meletakan posisi konservasi keanekaragaman hayati sebagai bagian kebijakan sektor,” ungkapnya.
Sebuah langkah, meski kecil, tetap harus dijalankan dan diupayakan karena sedikit banyak bisa membangun asa pelestarian mamalia darat terbesar itu.