Antara Manfaat dan Risiko Kebiri Kimia
Aturan teknis hukuman kebiri kimia bagi penjahat seksual terhadap anak akhirnya terbit. Namun, hukuman yang diharapkan menimbulkan efek jera bagi para pelaku itu masih memiliki kelemahan.
Wacana dan perdebatan soal hukuman kebiri kimia bagi penjahat seksual terhadap anak mulai bergulir pada 2014. Ide itu muncul sebagai respons atas banyaknya kasus kejahatan seksual anak selama beberapa tahun sebelumnya.
Dalam catatan Kompas, kasus besar kejahatan seksual anak itu antara lain kasus Babe atau Baekuni di Jakarta pada 2010 yang membunuh 14 anak karena menolak disodomi. Ada pula kasus Codet atau Davis Suharto yang memerkosa delapan anak umur 7-12 tahun di Bali juga pada 2010.
Selain itu, ada kasus Emon alias Andri Sobari di Sukabumi, Jawa Barat, pada 2014 dengan jumlah korban mencapai 118 anak berumur 6-10 tahun, dengan 36 anak di antaranya disodomi. Pada tahun yang sama, ada kasus pelecehan seksual anak taman kanak-kanak di Jakarta International School, Jakarta Selatan. Ada pula kasus pemerkosaan terhadap remaja putri umur 14 tahun oleh 14 lelaki di Bengkulu pada 2016.
Baca juga: Anak Makin Rentan Jadi Korban Eksploitasi Seksual di Masa Pandemi
Rentetan kasus itu membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Aturan ini memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual anak dengan pidana penjara antara 5-15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Selain hukuman pidana penjara, penjahat seksual anak juga bisa mendapat hukuman tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Untuk pelaku yang pernah dihukum kasus serupa atau korbannya lebih dari satu, terluka berat, hingga meninggal, pelaku bisa diberi tambahan hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Aturan teknis hukuman itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Aturan yang ditandatangani pada 7 Desember 2020 itu membuat sanksi kebiri kimia kini sudah bisa dilaksanakan.
Berisiko
Hukuman tambahan kebiri kimia itu menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Semua pihak sepakat penjahat seksual anak harus dihukum berat. Namun, kebiri kimia dianggap terlalu berisiko, menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, serta tidak efektif menekan kejahatan seksual anak.
Kebiri atau kastrasi kimia adalah tindakan medis dengan menyuntikkan obat-obatan antiandrogen untuk mengurangi kadar hormon testosteron dalam tubuh hingga dorongan seksual seseorang turun. Kebiri kimia dianggap jauh lebih beradab dibandingkan dengan pengebirian fisik dengan membedah dan mengangkat kedua testis atau buah zakar.
Hormon testosteron diidentikkan dengan hormon laki-laki. Hormon ini mengatur mulai dari hasrat seksual, pembentukan massa otot, hingga tanda seks sekunder laki-laki saat memasuki pubertas. Secara umum, makin bertambah umur makin rendah pula kadar testosteron dalam tubuh.
Baca juga: Pro dan Kontra Hukuman Kebiri
Sebagian besar hormon ini dihasilkan testis, tetapi ada juga yang dihasilkan di kelenjar anak ginjal (suprarenalis). Produksi testosteron bisa menjadi berlebihan akibat adanya tumor di testis, kelenjar suprarenalis, atau otak. Kelainan hormon atau genetika juga bisa memicu kelebihan testosteron.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) Wimpie Pangkahila, Rabu (6/1/2021), mengatakan, selain menekan hasrat seksual, kebiri juga akan menghilangkan kemampuan ereksi serta menekan produksi sel spermatozoa hingga menjadi mandul. ”Kastrasi kimia memberi efek sama dengan kebiri fisik tanpa perlu membuang kedua testis,” katanya.
Obat antiandrogen yang digunakan sebenarnya tidak dibuat untuk tujuan pengebirian. Obat ini banyak digunakan bagi penderita kanker prostat, alat kontrasepsi perempuan, dan untuk menekan pertumbuhan rambut pada tempat tak semestinya pada wanita.
Persoalannya, pemberian obat antiandrogen untuk kebiri kimia itu akan mempercepat penuaan tubuh, mengurangi kerapatan massa tulang dan otot, serta meningkatkan lemak tubuh yang meningkatkan risiko berbagai penyakit.
Pengaruh obat antiandrogen pun sementara. Saat pemberian obat dihentikan, dorongan seksual dan kemampuan ereksi orang yang dikebiri akan muncul lagi.
”Jika kemudian orang yang dikebiri kimia itu mendapat pengobatan testosteron, kondisinya akan pulih kembali,” katanya.
Efek sementara obat antiandrogen itu rentan menimbulkan kerumitan baru. Belum terintegrasinya data penduduk dan tidak adanya penandaan khusus membuat penjahat seksual anak yang dikebiri itu bisa berobat ke ahli andrologi tanpa dokter tahu bahwa pasiennya adalah orang yang sedang dihukum kebiri. Dalam PP No 70/2020, kebiri dilaksanakan setelah terpidana menjalani hukuman pidana pokok.
Baca juga: Kebiri Kimia Beri Efek Jera pada Pelaku Kekerasan Seksual
Masalah lainnya, dorongan seksual tidak hanya dipengaruhi hormon testosteron. Kondisi kesehatan umum, psikologis, dan pengalaman seksual masa lalu turut membentuk dorongan seksual seseorang. Hal itu berarti, ”Orang yang dikebiri tetap bisa memiliki dorongan seksual, terlepas mereka mampu atau tidak melakukan hubungan seksual,” ucap Wimpie.
Meski orang yang dikebiri sulit ereksi dan tidak bisa melakukan penetrasi, mereka tetap bisa menyalurkan hasrat seksualnya melalui cara lain. Situasi ini dinilai psikiater konsultan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, Kamis (7/1/2021), bisa memunculkan kekerasan seksual baru.
Dalam setiap kejahatan seksual, akan selalu ada agresivitas pelaku yang menyertai. ”Kebiri kimia tidak akan menurunkan agresivitas pelaku,” tambah Nalini.
Sebaliknya, tertekannya dorongan seksual pelaku akibat kebiri justru bisa meningkatkan agresivitasnya hingga mereka bisa melakukan berbagai tindakan kekerasan lain, bukan hanya kekerasan seksual.
Selain itu, motivasi penjahat seksual melakukan aksinya tidak melulu soal seks. Kejahatan seksual bisa didorong keinginan pelaku untuk berkuasa, mendominasi, hingga melampiaskan amarah, kebencian, dendam, dan permusuhan yang terpendam.
Rasa rendah diri yang besar membuat mereka sulit memiliki hubungan seks yang sehat dan wajar. Semua masalah itu berkaitan dengan pola tumbuh kembang mereka di masa lalu.
Tidak efektif
Berbagai penyebab dorongan dan perilaku seksual tersebut membuat kalangan medis meragukan efektivitas hukuman kebiri kimia dalam menekan kasus-kasus kejahatan seksual anak. Kebiri kimia hanya mengendalikan satu penyebab dorongan seksual seseorang, yaitu hormon testosteron, tetapi tidak menyelesaikan masalah psikologis yang dihadapi pelaku.
Karena itu, Ikatan Dokter Indonesia pada 2016, saat Perppu No 1/2016 disahkan, pernah menolak menjalankan hukuman kebiri karena tidak sesuai dengan etika profesi yang justru mengharuskan mengobati, bukan menganiaya. Namun, pemerintah berkelit bahwa proses kebiri kimia akan dilakukan oleh lembaga pemerintah, bukan organisasi profesi.
Studi Joo Yong Lee dan Kang Su Cho yang dipublikasikan di Journal of Korean Medical Science, Februari 2013, menemukan kebiri fisik hanya mengurangi 2-5 persen kejahatan seksual. Sementara kebiri kimia yang menggunakan obat antiandrogen dosis rendah hanya bisa menurunkan kadar testosteron dalam tingkat rendah juga hingga kejahatan seksual yang bisa ditekan pun sedikit. Faktor psikologis yang menjadi pemicu kejahatan seksual justru tidak tertangani.
Hukuman kebiri kimia juga diyakini akan membutuhkan biaya besar. Bukan hanya untuk obat-obatan antiandrogen yang digunakan, melainkan juga berbagai pemeriksaan medis, biologis, dan psikis untuk menilai apakah hukuman kebiri yang sudah dijatuhkan pengadilan pada pelaku bisa dilaksanakan.
Daripada menghabiskan usaha dan biaya besar untuk menghukum pelaku, lanjut Nalini, proses rehabilitasi korban perlu lebih menjadi perhatian. Jumlah mereka sejatinya sangat besar. Stigmatisasi membuat banyak korban tidak berani bersuara meski mereka harus menanggung stres, depresi, serta berbagai gangguan jiwa berat lainnya hingga keinginan bunuh diri.
”Hingga kini, proses rehabilitasi dan penyembuhan trauma korban kekerasan seksual tidak berjalan baik,” katanya.
Bersamaan dengan rehabilitasi itu, pemberatan hukuman bagi penjahat seksual perlu ditegakkan. Kalaupun hukuman mati seperti yang ada pada UU dijatuhkan terhadap penjahat seksual anak, proses eksekusi harus dilakukan secepatnya hingga bisa menimbulkan efek jera. Dengan demikian, hukuman kebiri kimia yang lebih bernuansa balas dendam dan tak efektif menekan kejahatan seksual anak bisa dihindarkan.