Seruan dan Aksi dari Rumah Ibadah bagi Keberlanjutan Bumi
Agama sejatinya tidak hanya terkait dengan doktrin, lebih jauh, agama memberikan makna yang lebih luas terkait alam dan manusia serta menghasilkan aksi nyata dalam menanggulangi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Perubahan iklim yang telah menjadi permasalahan lintas negara dan generasi tidak bisa diatasi hanya dengan tindakan dari kelompok lingkungan atau penentu kebijakan semata. Peran gerakan moral yang diserukan pemimpin agama atau kepercayaan juga dapat menjadi upaya bersama dalam menyadarkan masyarakat pentingnya menjaga lingkungan dan mengatasi perubahan iklim.
Ajaran setiap agama yang kompleks sejatinya tidak hanya menuntun masyarakat beribadah secara linier kepada Sang Pencipta. Akan tetapi, agama juga memberikan arahan bagi penganutnya untuk peka dan memperbaiki kondisi yang menjerumus pada keburukan, tak terkecuali isu kerusakan lingkungan.
Di Indonesia, agama mengambil banyak peran dan tuntunan yang lebih mudah diterima serta diikuti oleh penganutnya dibandingkan regulasi yang dikeluarkan oleh negara. Kondisi ini menjadi sebuah jalan bagi para pemimpin agama di Indonesia menyerukan kepada umatnya untuk melakukan gerakan moral yang bisa memperbaiki lingkungan. Sebab, merusak lingkungan hingga menyebabkan dampak buruk secara luas tidak sejalan dengan ajaran agama mana pun.
Pada akhir Desember 2020 secara daring, para pemuka agama dari agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu menyerukan pentingnya menjaga lingkungan untuk mengatasi perubahan iklim. Tidak hanya bersifat seruan dan imbauan, sejumlah tempat ibadah juga melakukan aksi nyata mengatasi perubahan iklim untuk mendorong masyarakat melakukan hal serupa.
Salah satu upaya yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) adalah dengan mencetuskan gerakan ekomasjid atau masjid ramah lingkungan. Gerakan ekomasjid merupakan bagian dari program Siaga Bumi yang dideklarasikan pada September 2015.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Hayu Prabowo menyampaikan, program Siaga Bumi dicetuskan pada 2015 seiring Kesepakatan Paris, perjanjian global untuk mengatasi perubahan iklim. Selain itu, program ini juga merespons adanya kejadian kebakaran hutan dan lahan berskala besar di Indonesia yang terjadi pada 2015.
Gerakan ekomasjid menekankan bahwa masjid bukan hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, tak terkecuali isu lingkungan hidup. Ekomasjid juga mengembangkan fasilitas ramah lingkungan seperti energi listrik surya dan biogas, panen air hujan, tungku bakar sampah, sumur resapan, keran hemat air wudu, hingga pembangkit listrik dari sampah. Dari data di situs resmi ecomasjid.id, sampai saat ini sudah terdapat 206 ekomasjid yang tersebar di seluruh Indonesia.
”Kami punya pengurus masjid hampir 400 orang dan 1.000 sukarelawan. Setiap masjid dengan sejumlah program ramah lingkungan akan dinilai dan ada peringkatan agar program tersebut bisa terlihat secara kasat mata. Program ini bisa dicontoh juga bagi rumah ibadah lain,” ujar Hayu.
Upaya menanggulangi perubahan iklim juga dilakukan MUI dengan cara mengeluarkan fatwa tentang lingkungan hidup. Tercatat MUI telah mengeluarkan enam fatwa di antaranya terkait dengan pembakaran hutan dan lahan, pertambangan ramah lingkungan, daur ulang air, zakat untuk pembangunan sarana air, pengelolaan sampah, dan perlindungan satwa langka.
”Fatwa ini perlu karena dalam Islam itu bertindak atas hukum yang ada dalam Al Quran dan hadist karena pada zaman Rasulullah dulu tidak ada mengenai pembakaran hutan dan lahan. Dari fatwa ini kemudian dibuat buku pedoman dan kumpulan khotbah serta disosialisasikan kepada umat melalui ekomasjid,” tuturnya.
Rumah ibadah lain
Selain ekomasjid, komunitas agama Buddha juga menginisiasi ekowihara sebagai rumah ibadah ramah lingkungan. Perwakilan dari agama Buddha, Jo Priastana mengatakan, inspirasi terbentuknya ekowihara berasal dari ajaran Buddha yang menekankan bahwa manusia dan Bumi adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga penting untuk senantiasa menjaga alam.
Pendeta Jimmy Sormin dari perwakilan agama Kristen menyampaikan, dalam pertemuan-pertemuan gereja, gereja didorong untuk selalu menjadi kontributor untuk konservasi, restorasi, maupun edukasi bagi warga gereja maupun warga sekitar terkait pentingnya keberlanjutan Bumi. Sejumlah gereja juga menjalankan gerakan ramah lingkungan dengan program mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang sampah (recycle).
”Kami juga membuat green-school yang bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut. Secara virtual kami kumpulkan pelayan gereja di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut dan diberikan pelatihan, advokasi kerusakan lingkungan, hal-hal teologis, hingga keterampilan dalam merestorasi gambut,” tuturnya.
Sementara dari perwakilan agama Hindu, Kanjeng Raden Haryo Tumenggung (KRHT) Astono Chandra Dana mengatakan, sejumlah pura saat ini juga telah melakukan gerakan hidup bersih dan sehat. Diharapkan ajaran di dalam pura tersebut dapat mengubah pola hidup umat untuk turut menerapkan pola hidup sehat dan menjaga lingkungan. Sebab, dalam Hindu, pura tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sarana sosial masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Perspektif agama
Perwakilan dari Gereja Katolik Romo Yohanes I Wayan Marianta mengatakan, saat ini telah banyak organisasi, pegiat, gerakan lingkungan yang menyuarakan isu perubahan iklim. Namun, di sisi lain, ia juga memandang bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini juga kian meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan aktor yang lebih banyak untuk terlibat dalam gerakan lingkungan, salah satunya di sektor agama.
”Ada dua yang memungkinkan agama menjadi promotor gerakan lingkungan. Pertama, hampir semua agama sudah menyatakan diri memiliki doktrin yang mendorong untuk peduli terhadap lingkungan. Kedua, agama memiliki pengaruh yang besar di Indonesia karena tahu bahwa agama memiliki modal sosial yang besar,” ungkapnya.
Meski demikian, sampai sekarang literatur ilmiah tentang gerakan lingkungan yang berbasis agama masih minim. Yohanes menilai, hal ini karena belum banyak yang melakukan riset terkait peran agama dalam gerakan lingkungan. Di samping itu, gerakan berbasis agama juga dianggap masih sebatas doktrin dan belum menghasilkan aksi nyata.
Dalam komunitas Katolik, kata Yohanes, isu tentang lingkungan telah banyak tertuang dalam sebuah ajaran. Bahkan, pada 2015, Pemimpin Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus menerbitkan Surat Gembala Laudato Si. Dalam surat tersebut menekankan bahwa Bumi merupakan rumah bersama yang harus senantiasa dipelihara dan dijaga.
Seruan menanggulangi permasalahan lingkungan dari rumah ibadah yang dilakukan tersebut memberikan satu kesimpulan. Agama sejatinya tidak hanya terkait dengan doktrin, lebih jauh, agama memberikan makna yang lebih luas terkait alam dan manusia serta menghasilkan aksi nyata dalam menanggulangi perubahan iklim.