Mutasi Baru Parasit Malaria Resisten terhadap Obat
Penanggulangan malaria masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adanya mutasi baru parasit malaria ”Plasmodium falciparum” yang meningkatkan resistensi terhadap obat Sulfadoksin-pirimetamin.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mutasi baru parasit malaria Plasmodium falciparum telah meningkatkan resistensi atau kekebalan terhadap obat Sulfadoksin-pirimetamin yang digunakan untuk mencegah penyakit mematikan ini pada perempuan hamil dan anak-anak. Temuan ini menjadi tantangan terbaru upaya mengeliminasi penyakit yang menewaskan sekitar 435.000 orang per tahun.
Kajian Taane Clark dan rekannya di London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) yang dipublikasikan di jurnal PLOS Genetics pada 31 Desember 2020 menyebut, mutasi baru yang meningkatkan resistensi terhadap obat yang digunakan untuk mencegah malaria pada perempuan hamil dan anak-anak sudah umum dijumpai di negara-negara endemis penyakit ini.
Sulfadoksin-pirimetamin (SP) digunakan secara global sebagai pengobatan lini pertama untuk malaria setelah terjadi resistensi luas terhadap klorokuin. Meskipun mulai digantikan kombinasi artemisinin, saat ini SP masih digunakan sebagai terapi pencegahan intermiten malaria pada kehamilan dan pada anak kecil sebagai bagian kemoprofilaksis malaria musiman di sub-Sahara Afrika.
”Munculnya parasit yang resisten terhadap SP sebagian besar didorong oleh akumulasi mutasi pada gen dihydrofolate reduktase (pfdhfr) dan dihydropteroate synthetase (pfdhps), dan pada saat bersamaan terjadi amplifikasi tambahan pada gen pfgch1 pembatas laju jalur folat dan promotor,” tulis Clark dalam kajiannya.
Sebelumnya, susunan genetik dan prevalensi amplifikasi tersebut tidak sepenuhnya dipahami. Clark dan tim kemudian menganalisis seluruh data sekuens atau pengurutan genom dari 4.134 isolat P falciparum di 29 negara endemik malaria.
Munculnya parasit yang resisten terhadap SP sebagian besar didorong oleh akumulasi mutasi pada gen dihydrofolate reduktase (pfdhfr) dan dihydropteroate synthetase (pfdhps).
Mereka menemukan setidaknya sepuluh versi berbeda dari pfgch1, yang terjadi pada sekitar seperempat sampel dari Asia Tenggara dan pada sepertiga sampel dari Afrika, di mana strain yang membawa mutasi mungkin sedang meningkat.
Dalam kajian ini, sampel di Asia Tenggara yang diperiksa adalah Thailand dan telah ditemukan ada mutasi itu. Sementara di Indonesia, kajiannya belum dilakukan sehingga belum diketahui apakah hal itu juga terjadi di sini.
Pertumbuhan jumlah parasit malaria dengan mutasi pfgch1 dinilai peneliti sangat mengkhawatirkan karena mutasi meningkatkan resistensi terhadap SP dan dapat mendorong evolusi strain baru yang resisten. Akibatnya, pertumbuhan mereka dapat mengancam upaya pemanfaatan SP untuk pencegahan malaria pada kelompok rentan.
Dengan identifikasi mutasi pfgch1 ini melalui studi baru ini, para ilmuwan dapat memantau keberadaan mereka dalam populasi parasit, untuk memahami di mana SP dapat digunakan secara efektif, dan di mana tingkat resistensi obat sudah terlalu tinggi. ”Kita perlu memahami bagaimana mutasi ini bekerja dan memantaunya sebagai bagian dari program pengawasan malaria,” kata Clark.
Colin Sutherland, anggota tim peneliti dan Direktur LSHTM Malaria Center, mengatakan, kombinasi SP masih menjadi satu-satunya pengobatan obat antimalaria yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pengobatan pencegahan intermiten pada populasi yang rentan karena keamanannya pada ibu hamil dan bayi serta tindakannya yang lama.
Namun, mutasi P falciparum dengan amplifikasi pfgch1 dapat meningkatkan kebugaran parasit dengan substitusi pfdhfr dan pfdhps, mengintensifkan persistensi resistensi SP, dan berpotensi mengancam kemanjuran rejimen ini untuk pencegahan malaria pada kelompok rentan.
Pemantauan polimorfisme dalam genom P falciparum yang terkait dengan resistensi obat antimalaria dapat digunakan untuk mengontrol dan mencegah malaria, mendukung strategi eliminasi, serta memandu pilihan pengobatan. Pengawasan sangat penting untuk obat-obatan seperti SP.
Sebagaimana diketahui, malaria menyebabkan sekitar 435.000 kematian setiap tahun, terutama pada anak-anak di sub-Sahara Afrika. Adapun data tren kasus positif malaria dan jumlah penderita malaria (annual parasite incidence/API) menunjukkan, keseluruhan kasus malaria tahun 2019 di Indonesia sebanyak 250.644 orang. Kasus tertinggi sekitar 86 persen terjadi di Provinsi Papua sebanyak 216.380 kasus.