Jepang Kembangkan Satelit dari Kayu untuk Kurangi Sampah Antariksa
Jepang sedang mengembangkan satelit berbahan kayu yang rencananya akan diluncurkan tahun 2023. Pemilihan kayu sebagai material penyusun satelit diharapkan akan mengurangi jumlah sampah antariksa yang terus meningkat.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Jepang tengah mengembangkan satelit yang terbuat dari material kayu. Selama ini, satelit umumnya terbuat dari logam, khususnya aluminium dan campurannya. Kayu dipilih karena dianggap lebih ramah lingkungan, yaitu tidak melepaskan material berbahaya saat terbakar di atmosfer dan tidak menghasilkan kepingan atau serpihan yang mengkhawatirkan saat jatuh ke permukaan bumi.
Proyek ini sedang dikerjakan perusahaan Sumitomo Forestry bersama sejumlah peneliti dari Universitas Kyoto, Jepang. Jika semua proses berjalan lancar, satelit kayu ini diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2023. Satelit ini akan menjadi satelit pertama di dunia yang terbuat dari kayu.
Keunggulan kayu sebagai material penyusun satelit itu diharapkan akan mengurangi jumlah sampah antariksa yang terus meningkat seiring makin berkembangnya penggunaan teknologi luar angkasa. Terlebih, penggunaan satelit mikro yang disusun dalam konstellasi tertentu kini makin berkembang karena biayanya yang jauh lebih murah dibandingkan satelit geostasioner.
Meski sampah antariksa menjadi keprihatinan banyak kalangan karena meningkatkan risiko kecelakaan satelit operasional, hingga kini belum ada solusi yang tepat dan biaya terjangkau untuk mengatasinya.
Satelit-satelit yang masuk kembali ke atmosfer bumi dan terbakar akan menghasilkan partikel alumina berukuran kecil dan akan tetap berada di atsmofer bagian atas bumi selama bertahun-tahun.
”Satelit-satelit yang masuk kembali ke atmosfer bumi dan terbakar akan menghasilkan partikel alumina berukuran kecil dan akan tetap berada di atsmofer bagian atas bumi selama bertahun-tahun,” kata profesor di Universitas Kyoto yang juga antariksawan Jepang, Takao Doi, kepada BBC, Senin (28/12/2020). Kondisi itu akan berdampak pada lingkungan bumi.
Saat ini, tim sedang mengembangkan rekayasa model satelit. Setelah selesai, tim akan memproduksi model terbang satelit.
Sementara itu, material kayu yang digunakan untuk satelit ini dikembangkan melalui proses riset yang dilakukan oleh tim dari Sumitomo Forestry, bagian dari Sumitomo Group. Namun, juru bicara perusahaan mengatakan, formula dari kayu yang digunakan adalah rahasia. Meski demikian, dipastikan kayu yang digunakan tahan terhadap perubahan temperatur dan intensitas sinar matahari yang ekstrem di luar angkasa.
Dikutip dari Nikkei, Kamis (24/12/2020), kayu tidak dapat menghalangi gelombang elektromagnetik ataupun medan magnet bumi. Kondisi itu membuat sejumlah instrumen yang diletakkan di dalam satelit, seperti antena atau alat kontrol sikap satelit, bisa diletakkan dalam struktur yang lebih sederhana.
Di luar satelit kayu, tim dari Sumitomo Forestry dan Universitas Kyoto juga akan mengembangkan struktur di luar angkasa yang terbuat dari kayu. Riset itu akan dilakukan mulai Maret 2024.
Satelit pertama buatan manusia, Sputnik milik Uni Soviet (sekarang Rusia), diluncurkan ke luar angkasa pada 4 Oktober 1957. Sejak saat itu hingga kini, mengutip data Museum Sejarah Alam (NHM) London, Inggris, ada sekitar 2.000 satelit aktif dan 3.000 satelit yang sudah tidak berfungsi di luar angkasa.
Studi Euroconsult memperkirakan ada 990 satelit diluncurkan setiap tahunnya hingga satu dekade ke depan. Itu berarti pada tahun 2028, akan ada 15.000 satelit, baik yang aktif maupun tidak berfungsi, mengelilingi bumi.
Meningkatnya jumlah satelit itu tidak bisa dilepaskan dari makin besarnya kebutuhan manusia akan layanan telekomunikasi, siaran televisi, navigasi, hingga prakiraan cuaca. Selain itu, dengan adanya satelit mikro, biaya pembuatan dan peluncuran satelit menjadi makin murah.
Repotnya, banyaknya satelit yang tidak berfungsi itu menjadi sampah luar angkasa yang tetap berputar-putar mengorbit bumi. Sebagian satelit mati biasanya akan terus mengalami penurunan ketinggian akibat bergesekan dengan atmosfer bumi hingga akhirnya masuk kembali ke atmosfer bumi dan terbakar habis. Namun, proses itu butuh waktu lama.
Seperti yang terjadi di Fa’a’a, Kepulauan Windward, Polinesia Perancis, 29 Agustus 2020. Ketika itu, bekas satelit Orbiting Geophysics Observatory 1 (OGO-1) milik Badan Penerbangan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) masuk kembali ke bumi dan habis terbakar di udara. Satelit itu terakhir beroperasi pada 1969 dan sistem satelit dimatikan pada 1971 hingga akhirnya menjadi satelit mati.
Selain sisa satelit, sampah antariksa itu juga bisa berasal dari sisa peluncur yang ditinggalkan, buangan sisa-sisa misi, hingga bagian dari sebuah wahana yang hancur berkeping-keping. Sejumlah tabrakan antara satelit aktif dan puing atau satelit mati lainnya serta uji coba senjata antisatelit yang dilakukan sejumlah negara makin memperbanyak jumlah sampah antariksa.
NASA menyebut ada sekitar 34.000 puing sampah antariksa yang berukuran lebih dari 10 sentimeter. Adapun sampah antariksa yang berkurang lebih dari 1 milimeter mencapai 128 juta keping.
Banyaknya sampah antariksa akan berakibat fatal bagi kehidupan Bumi yang kini makin tergantung dengan teknologi, khususnya satelit. Meski sampah antariksa itu berukuran sangat kecil, seperti ukuran debu dari bekas cat wahana antariksa, sampah tersebut dapat merusak satelit aktif yang ada karena sampah itu bergerak dengan kecepatan 36.000 kilometer per jam atau sekitar 10 kilometer per detik.
Karena itu, berbagai pihak menggagas berbagai upaya untuk mengurangi sampah antariksa. Namun, berbagai teknologi yang diusulkan umumnya berbiaya mahal, seperti dengan menjaring atau menarik sampah antariksa dengan magnet. Dengan demikian, upaya membuat satelit dari kayu diharapkan bisa mengurangi jumlah sampah antariksa hingga luar angkasa bisa menjadi tempat yang berkelanjutan bagi teknologi manusia.